TINDAK PIDANA TERORISME



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama. Oleh sebab itu, perang melawan terorisme menjadi komitmen semua negara dan semua agama di dunia. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerjasama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung (support infrasructure). PBB telah mengeluarkan beberapa konvensi dan resolusi untuk melawan terorisme.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi berbagai konvensi tersebut dan sudah tentu harus melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dalam perang melawan terorisme. Dengan peristiwa 11 September 2001, upaya pemberantasan terorisme telah diangkat menjadi prioritas utama dalam kebijakan politik dan keamanan secara global. Aksi terjadinya teror bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu No. 1/2002, Perpu No. 2/2002 dan Inpres No. 4/2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam No. Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme.
Hampir semua negara telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya pengungkapan para pelaku teror dan mengajukan para pelaku teror ke sidang pengadilan serta mengungkap jaringannya. Dengan tertangkapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas, dimana teroris lokal telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan teroris global. Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan terorisme mengharuskan kita untuk melakukan sinergi dan upaya secara komperhensif dengan pendekatan multi-agency, multi-internasional dan multi-nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme.
Indonesia berkomitmen untuk menjalankan kebijakan kontra-terorisme sebagai penegakan hukum, bukan perang. Pendekatan penegakan hukum untuk menghadapi terorisme domestik dapat diterima secara normatif ataupun strategis. Melalui proses penegakan hukum, kontra-terorisme tak hanya mencapai tertangkapnya teroris atau digagalkannya skenario aksi teror, tetapi juga menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa setiap pelaku teror harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada publik serta menunjukkan bahwa negara tidak terkalahkan dalam perang moralitas atau clash of wills melawan para teroris. Artinya, tujuan dan cita- cita negara tidak pernah bisa digantikan dengan tujuan dan cita-cita para teroris. Pendekatan penegakan hukum merupakan sebuah bentuk upaya menghentikan kemunculan aksi terorisme, dan pada saat yang sama merupakan kampanye pemerintah dalam mendemoralisasi gerakan teroris, ataupun mereka yang berpotensi bergabung dengan para teroris.
Sebagian negara demokrasi maju telah memiliki ”buku putih”-nya sendiri untuk memetakan ancaman dan prinsip-prinsip kontra-terorisme. Karakter reaksioner kebijakan kontra-terorisme Indonesia masih ”pendekatan tempur” berupa operasi pengejaran, penyergapan, penangkapan, dan pembunuhan para pelaku dan pendukung jaringan terorisme oleh kepolisian.
Pendekatan tempur yang kerap berakhir dengan kematian pelaku teror dapat dijustifikasikan dengan fakta bahwa para pelaku teror selalu siap dengan senjata api di tangannya. Namun, terbunuhnya pelaku teror berarti informasi jaringan teror yang sangat berharga untuk pengejaran tuntas semua pelaku dan pendukung jaringan terorisme dengan sendirinya hilang. Di sisi lain, pendekatan tempur tidak secara tuntas mengakhiri jaringan terorisme, justru memberikan kesempatan kepada para pelaku dan pendukung teror yang lain untuk menghilang sementara. Pada saat yang sama kebenaran tentang gerakan terorisme yang diterima masyarakat tidak pernah utuh, terdistorsi oleh dramatisasi media ataupun kesimpangsiuran berbagai sumber.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas ,maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1        Apakah yang melatar belakangi kasus Terorisme yang di atur dalam uu no 1 tahun 2002.
2        Bagaimana dampak dan menangani kasus Pidana Terorisme.

C.    Tujuan
Adapun tujuan penyusun membuat makalah  ini adalah untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat di kemukakan sebagai berikut:
1.       Agar dapat mengetahui apakah yang melatar belakangi kasus Terorisme yang di atur dalam uu no 1 tahun 2002.
2.       Agar mengetahui bagaimana dampak dan menangani kasus Pidana Terorisme.




BAB II
DASAR TEORI
A.    Pengertian
1.      Definisi tindak pidana teroris
Sebelum membahas pengertian Tindak Pidana Terlebih dahulu penulis akan menguraikan pengertian tentang tindak pidana atau perbuatan pidana. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai perkataan strafbaar feit tersebut.
Istilah strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana. perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pidana berarti hukuman.Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukansetiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan danbersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai denganperundang-undangan.

2.      Definisi Terorisme Menurut para ahli
Menurut Black’s Law Dictionary,Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk:
a)      mengintimidasi penduduk sipil.
b)      memengaruhi kebijakan pemerintah.
c)      memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan
Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain.
Menurut US Central Intelligence Agency (CIA)Terorisme Internasional adalah Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing .
Menurut US Departements of State and Defense.Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk memengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara .
Menurut States of the South Suppression of Terrorism. Terorisme meliputi:
a.       Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970.
  1. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal, 23 September 1970.
  2. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai di New York, 14 Desember 1973.
  3. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi.
  4. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik.
Menurut Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, memengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk dan mengambil bentuk:
a.       Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum.
  1. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain.
  2. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat.
  3. Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut.
  4. Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional.
  5. Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme.
Menurut Konvensi ini, bahwa perjuangan dengan cara apapun juga untuk melawan pendudukan dan agresi asing untuk kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri, seduai dengan asas-asas hukum internasional, tidak merupakan Tindak Pidana Terorisme .
Menurut Organisation of African Unity (OAU), 1999. Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana “negara anggota” dan bisa membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan atau menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang, atau menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau dimaksudkan untuk:
a.       mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan, atau memengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan atau untuk mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu atau untuk bertindak menurut prinsip-prinsip tertentu, atau
  1. mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik, atau
  2. menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara.
  3. promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha, ancaman, konspirasi, pengorganisasian atau perekrutan seseorang dengan niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan pada paragraph 1) sampai 3).
Menurut Conway Henderson (International Relations Cobflict and Cooperaion at the turn of 21th Century), menyatakan bahwa: Terorisme adalah suatu aksi kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau jaringan, dimaksudkan untuk menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh ketakutan dan bisa muncul tanpa motif apapun .
3.      Sejarah Terorisme
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.
Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.
Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.[3]
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia.[4] Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh.[5] Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.[6]
Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang memopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:
a.       kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
  1. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
  2. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.
Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan.[8] Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal "damai". Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
a.       ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
  1. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
  2. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
  3. serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.
4.      Pembagian Terorisme
Pembagian Kaum Teroris menurut Oemar Kader ( Konsultan Perencana Anti Teroris Pemerintah Federal AS ) yaitu :
1)      Jenis Etnonasionalis, dipersatukan oleh bahasa, agama, dan wawasan teritorial. Contoh : IRA ( Tentara Republik Irlandia ), PLO ( Pejuang Pembebasan Palestina ), ETA dan lain lain.
2)      Jenis Motivasi Idiologis , digerakkan oleh motivasi idiologi. Contoh :Brigade Merah, Pasukan maut sayap kanan di Amerika Latin, Tupamaros Uruguay.
Dewan Hubungan Luar Negeri – Council on Foreign Relation (organisasi nasional yang bekerja untuk kemakmuran dan perdamaian di Amerika dan menjalin hubungan dengan semua negara di dunia, bermarkas di Washington), membagi enam ragam terorisme, mencakup : terorisme nasionalis , terorisme religius, state sponsored terrorism , terorisme sayap kiri, terorisme sayap kanan dan terorisme anarkhis.
a.      Terorisme nasionalis.
Terorisme nasionalis bercita-cita membentuk negara terpisah untuk bangsa mereka. Contoh pergerakan tipe ini, antara lain : IRA, LEHI, Irgun, EOKA.
b.      Terorisme Religius.
Pergerakan terorisme religius mempergunakan kekerasan untuk tujuan-tujuan yang mereka anggap diperintahkan oleh Tuhan. Terorisme tipe ini ditemui pada semua agama besar, juga pada sekte-sekte ( cult ) kecil. Bagi teroris religius, kekerasan adalah sebuah tindakan suci atau amanat/tugas dari Ilahi. Agama disini berperan sebagai sebuah kekuatan yang meligitimasi penggunaan kekerasan. Contoh pergerakan teroris tipe ini mencakup : Hamas di Palestina, Hisbullah di Lebanon, kelompok Yahudi yang terafiliasi dengan Rabbi Mei Kahane, ekstrimis-ekstrimis Yahudi seperti Barauch Goldstein ( yang menembaki jemaah muslim di Masjid Hebron tahun 1994 ) dan Yigal Amir ( yang membunuh PM Yitzhak Rabin tahun 1995 ) sekte Aum Shinrikyo di Jepang. Hampir semua pakar yang mendalami terorisme sepakat bahwa tipe terorisme ini tengah tumbuh pesat. Hoffman mencatat bahwa pada tahun 1995, dari 56 kelompok teroris internasional yang diketahui aktif, setengahnya digerakkan oleh motivasi religius.
c.       State Sponsored Terrorism.
Tipe terorisme ini mendapatkan dukungan yang aktif dan seringkali secara diam-diam ( clandestine support ) dari negara-negara tertentu. Amerika Serikat menuding Iran sebagai sponsor utama terorisme saat ini; disamping Kuba, Irak, Libya, Korea Utara, Sudan dan Syria. Contoh kelompok teroris yang dianggap disponsori negara mencakup Hizbullah (disponsori Iran), Abu Nidal Organization ( disponsori Irak ), Japanese Red Army ( yang disinyalir acap bekerja dalam basis kontrak untuk Libya ). Salah satu kasus awal terorisme tipe ini adalah ketika pemerintah Iran mempergunakan milisi independent dalam kasus penyanderaan di kedutaan besar Amerika Serikat di Teheran pada tahun 1979.
d.      Terorisme Sayap Kiri.
Tipe terorisme ini secara jelas menyasar kapitalisme dan berkeinginan untuk menggantinya dengan rezim komunis atau sosialis. Kebanyakan pengikut pergerakan teroris ini miskin dan terobsesi ; inspirasi mereka adalah keyakinan ideologis yang mendalam dan cenderung fanatis. Mereka melihat terorisme sebagai respon terhadap ketidakadilan sosial yang mereka alami. Kelompok-kelompok ini biasanya mempersepsikan sipil sebagai entitas ( kelompok ) yang menderita dibawah eksploitasi kapitalis, karena seringkali mereka membatasi pemakaian kekerasan dan memfokuskan diri pada taktik-taktik seperti penculikan konglomerat atau pengeboman monumen sebagai tindak simbolis. Terorisme tipe ini banyak ditemui pada akhir dekade 1960-an dan sepanjang dasawarsa 1970-an ; mencakup kelompok-kelompok revolusioner yang tampil pada gelombang ketiga, seperti American Weather Underground, Baader-Meinhof Groups (German Red Army Faction), Italian Red Brigades, French Direct Action, dan 17 November Group.
e.       Terorisme Sayap Kanan.
Dinilai sebagai tipe terorisme yang paling senseless ( tak berprikemausiaan) dan cenderung merujuk pada kekerasan jalanan. Umumnya yang menjadi target teror adalah imigran dan pengungsi dari negara berkembang. Terorisme tipe ini sarat dengan muatan rasisme, xenophobic (kebencian terhadap orang asing) . Banyak ditemui di Eropa, terutama Jerman Timur dan Negara-negara bekas anggota Blok Timur. Ideologi yang dianut mengarah ke fasisme dan mengimajinasikan Nazi sebagai model ideal. Biasanya teroris-teroris yang tercakup dalam kategori ini bersembunyi di balik slogan-slogan nasionalis. Terdapat kecenderungan bahwa terorisme sayap kanan meningkat dimasa kontemporer ( berbanding terbalik dengan terorisme sayap kiri yang justru mengalami penurunan tajam ).
f.       Terorisme Anarkhis.
Tipe terorisme ini ditemui sebagai fenomena global pada gelombang pertama terorisme di mana kelompok revolusioner berupaya menjatuhkan pemerintah melalui rangkaian aksi pengeboman dan pembunuhan pejabat / kepala negara.
Menurut Konvensi PBB Tahun 1937 , Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditunjukan langsung kepada Nrgara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme , Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1)      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6) .
2)      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7) . Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
a.       Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
b.      Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
c.       Menggunakan kekerasan.
d.      Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
Taktik. Yang sering dilakukan oleh para teroris adalah:
a.       Bom. Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini sering terjadi aksi teror yang dilaksanakan dengan menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan hal ini kedepan masih mungkin terjadi.
b.      Pembajakan. Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok teroris. Pembajkan terhadap pesawat terbang komersial pernah terjadi di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda Indonesia di Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan pembajakan pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan massa yang akan datang, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
c.       Pembunuhan. Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih digunakan hingga saat in. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggungjawab atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat keamanan. Dlam sepuluh tahun terakhir tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris seluruh dunia.
d.      Penculikan. Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik personel, sepperti yang dilakukan oleh kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan imbalan berupa uang atau tuntutan p[olitik lainnya.
e.       Penyanderaan. Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali meimiliki pengegertian yang sama. Penculik biasanya meennan korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang, sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera di tempat umum ataupun di dalam hutan seperti yang dilakukan oleh kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan politik lebih sering dilemparkan pada kasus penyanderaan ini.
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Analisis Kasus uu no 1 tahun 2002
1.      Kasus Bom Bali
Pengeboman Bali 2005 adalah sebuah seri pengeboman yang terjadi di Bali pada 1 Oktober 2005. Terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.
Pada acara konferensi pers, presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan telah mendapat peringatan mulai bulan Juli 2005 akan adanya serangan terorisme di Indonesia. Namun aparat mungkin menjadi lalai karena pengawasan adanya kenaikan harga BBM, sehingga menjadi kurang peka.
Tempat-tempat yang dibom:
a)       Kafé Nyoman
b)       Kafé Menega
Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Inspektur Jenderal (Purn.) Ansyaad Mbai, bukti awal menandakan bahwa serangan ini dilakukan oleh paling tidak tiga pengebom bunuh diri dalam model yang mirip dengan pengeboman tahun 2002. Serpihan ransel dan badan yang hancur berlebihan dianggap sebagai bukti pengeboman bunuh diri. Namun ada juga kemungkinan ransel-ransel tersebut disembunyikan di dalam restoran sebelum diledakkan.
Komisioner Polisi Federal Australia Mick Keelty mengatakan bahwa bom yang digunakan tampaknya berbeda dari ledakan sebelumnya yang terlihat kebanyakan korban meninggal dan terluka diakibatkan oleh shrapnel (serpihan tajam), dan bukan ledakan kimia. Pejabat medis menunjukan hasil sinar-x bahwa ada benda asing yang digambarkan sebagai "pellet" di dalam badan korban dan seorang korban melaporkan bahwa bola bearing masuk ke belakang tubuhnya.




Menjadi terkenal tidak selamanya melahirkan empathy dan citra positif dari orang lain. Iman Samudra, Amrozi, Ali Gufron, Ali Imran tiba-tiba menjadi terkenal, bahkan sangat terkenal. Namun menjadi terkenalnya mereka sangat berbeda dengan terkenalnya David Beckam ( pemain sepak     bola ), Muhamad Ali ( petinju legedaris ), Cat Steven ( penyanyi ) dan nama lain yang juga terkenal dan melegenda. Banyak orang menjadi terkenal karena prestasinya yang luar biasa dan sebagian menjadi terkenal karena dinilai melakukan kejahatan yang luar biasa. Mereka sama-sama melakukan sesuatu yang luar biasa namun dalam makna yang sangat berlawanan.
Imam Samudra, Amrozi, Ali Gufron ( Mukhlas ), dan Ali Imran ( yang selanjutnya disebut empat     serangkai ), sejak kecil menjalani proses tumbuh kembang dalam keluarga yang sederhana, terdidik dalam lingkungan yang religius, dipenuhi cinta dan kasih sayang yang tulus dari orang tua tiba-tiba melakukan tindakan yang mengagetkan semua orang bahkan mengagetkan orang tua dan saudara-saudara mereka sendiri. Reaksi pertama yang muncul dari orang tua, sasudara-saudara dan orang-orang yang pernah kenal dengan Imam Samudra, Amrozi, Ali Gufron dan Ali Imran, hampir semuanya meyangsikan dan tidak percaya kalau peristiwa bom Bali dilakukan oleh orang-orang yang pada masa kanak-kanak dan remajanya terkenal santun dan bahkan tidak berani melihat darah. Oleh karena itu, upaya untuk menggali latar belakang hidup, cita-cita dan nilai-nilai hidup yang diyakini oleh " Empat serangkai bom Bali " menjadi pendorong untuk mengetahui " Kekuatan dan Faktor " apa yang merubah mereka dari remaja kampung yang santun dan lugu menjadi pemuda yang memiliki keberanian yang luar biasa untuk memusuhi Amerika, bahkan dengan melakukan perang dan kekerasan yang meluluh lantakkan nilai-nilai kemanusiaan bahkan nilai-nilai agama yang mereka anut.

IMAM SAMUDRA ( Si cerdas  yang sangat kritis).
Kecerdasan Imam Samudra nampak dan diketahui sejak masa kanak-kanak. Ketika menempuh pendidikan di Sekolah Dasar, Imam Samudra selalu menjadi yang terbaik ( juara ) di kelasnya. Di SMP, tidak hanya selalu menjadi " Sang Juara " akan tetapi potensinya sebagai " Sang Pemimpin " mulai terasah. Ia terlibat aktif hampir disemua kegiatan ekstrakulikuler di sekolahnya. Imam Samudra tidak hanya menjadi Ketua OSIS disekolahnya bahkan akhirnya terpilih menjadi Ketua Ikatan OSIS ( Ikosis ) se Keresidenan Banten. Imam Samudra bukan lagi remaja yang biasa-biasa saja tapi sudah tumbuh menjadi remaja yang memiliki magnet kharisma bagi teman-teman seusianya.
Imam sudah mulai tidak mau menghormati bendera Merah Putih karena dinilai salah kaprah. Sikap kritis dan pembelaan terhadap Islam yang didasari pada kesadaran kebenaran nilai-nilai  Islam semakin banyaknya membaca buku-buku yang bersifat ideologis dan perlawanan terhadap kedhaliman yang ia baca. Interaksi Imam Samudra dengan orang-orang yang memiliki paham / ideologi jihad ( khususnya dengan Ustad Jabir ), semakin menggelorakan semangatnya untuk berjihad.

AMROZI ( Tampan dan Murah senyum )
Amrozi dikenal masyarakat luas melalui media elektronik maupun media cetak sebagai pelaku bom Bali yang paling tampan dan murah senyum. Namun senyumannya pernah membuat pemerintah Australia marah dan tersinggung. Amrozi dianggap tidak memiliki perasaan bersalah bahkan melukai perasaan keluarga korban bom Bali.
Amrozi memiliki latar belakang dan proses tumbuh kembang menjadi remaja yang cukup berbeda dibandingkan Imam Samudra, Ali Imran dan Ali Ghufron. Amrozi kurang berhasil dalam menempuh pendidikan sekolah dan lebih mengutamakam hobinya dalam balap motor. Dalam menempuh kehidupan rumah tangga, Amrozi juga kurang berhasil. Ia menikah sampai 3 kali. Masa remajanya yang nakal dan kehidupan rumah tangganya yang gagal ( pernikahan pertama dan kedua ) disebabkan Amrozi belum memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
MUCHLAS ( Sipendidik yang rindu mati syahid )
Amrozi dan Ali Imran merupakan adik kandung dari Muhklas, keduanya terlibat dalam kasus bom Bali. Muhklas menjadi figur penting bagi kedua adiknya. Ia berhasil merubah Amrozi dari remaja nakal menjadi  seorang pejuang ( Mujahid ) dan mempengaruhi Ali Imran sehingga tertarik ikut jihad di Afganistan.
Sejak sekolah dasar hingga lulus PGA ( Pendidikan Guru Agama ), Muhklas selalu menjadi bintang. Bahasa Arabnya bagus dan daya ingatnya cukup kuat. Berawal dari rasa takjub pernah manjadi terkesima pada seorang ( teman sekelas di Madrasah Ibtidaiyah ) yang mampu berceramah dengan sangat menarik dan fasih berbahasa Arab dan Inggris, menyebabkan Muhklas ingin belajar di Pesantren Al Mukmin Ngiruki, tempat dimana temannya tersebut menimba ilmu. Karena kecerdasan dan bakatnya menjadi guru ( yang terasah sewaktu sekolah PGA ) nampak menonjol, maka Mukhlas akhirnya diangkat menjadi Ustad dan serta mengajar di Pesantren bersama Ustad Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir.
Ketika Muhklas kuliah di Universitas Islam Surakarta, Muhklas tertarik himbauan jihad ke Afganistan. Ia tinggalkan bangku kuliah dan lebih memilih jihad ke Afganistan. Selama di Afganistan, ia sempat bertemu denngan Osama Bin Laden, bahkan sempat beberapa lama berada dalam satu gua. Sepulang dari Afganistan Muhklas kembali ke Malaysia. Di Malaysia akhirnya Muhklas menikah dengan anak kenalanya dan berhasil mendirikan Pondok Pesantren. Selama memimpin Pondok Pesantren, Muhklas sempat berkenalan dengan beberapa tokoh yang pada akhirnya diketahui sebagai orang-orang yang terlibat pada berbagai teror bom dibeberapa tempat di Indonesia. Setelah menghadapi berbagai masalah di Malaysia, Muhklas lari ke Thailand dan akhirnya kembali ke Indonesia.
Keinginannya untuk terus berjihad melawan musuh-musuh Islam, kembali bergelora ketika diajak oleh Imam Samudra dan Amrozi untuk menyerang kepentingan dan orang Amerika beserta sekutunya yang sedang berada di Bali.

ALI IMRON ( si bungsu yang terpengaruh kakak-kakaknya )
Kegemarannya naik motor sama dengan kakaknya Amrozi, namun Ali Imron merasa tidak setampan Amrozi. Dalam kehidupan keluarganya, ia merasa lebih dekat ke Muhklas. Dalam hal pendidikan, Ali Imran tidak sehebat Muhklas namun juga tidak sejelek Amrozi. Selepas menyelesaikan pendidikan SMA, Ali Imron ingin sekali bertemu dengan Muhklas yang sudah berada di Malaysia. Sesampainya di Malaysia dan setelah bertemu dengan Muhklas Ali Imron menjadi tertarik untuk jihad ke Afganistan. Keinginannya kesampaian dan akhirnya ikut berjihad di Afganistan selama 3 tahun.
Pengalaman hidup di Pakistan dan Afganistan sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Ia ingin hidup sesuai syariat Islam dan sangat membenci orang-orang non muslim yang memusuhi Islam. Mungkin karena ada ikatan keluarga dengan Muhklas dan Amrozi, Ali Imran akhirnya terlibat dalam kasus bom Bali. Ia mangaku hanya ikut-ikutan, dan dalam perkembangan selanjutnya menganggap yang dilakukan oleh Imam Samudra, Amrozi dan Muhklas adalah sesuatu yang salah bila ditinjau dari adab berjihad. Ali Imran menjadi satu-satunya pelaku bom Bali yang menyesali perbuatannya dan meminta ma'af pada keluarga korban.
2.      Latar Belakang Terorisme
a.      Apakah karena kemiskinan yang merajarela menjadi penyebabnya ?
Di mata sosiolog, terorisme tumbuh subur ditengah kemiskinan yang kian merajalela. Peran pemerintah menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat perlu ditingkatkan.
“Akar persoalannya adalah kemiskinan menjadi sumber masalah yang terbesar. Kesenjangan yang makin mencolok perlu diperketat agar kaum kelas bawah tidak terpuruk. Kalangan bawah yang makin terpuruk mudah disisipi ideologi dan gampang diprovokasi
Selain, itu menurut Alfitri, kekecewaan masyarakat kepada institusi penegak hukum juga makin nyata. Ia menduga bom bunuh diri yang dilakukan di Mapolresta Cirebon bermaksud menunjukkan kekecewaan mereka.
“Kekecewaan yang semula diarahkan ke institusi negara saat ini bergeser diarahkan ke institusi formal kepolisian juga penegak hukum yang dianggap melakukan rekayasa dan keadilan,” ujarnya.
Karena itu, penting sekali peran pemerintah dalam pemberantasan terorisme secara persuasif. Dengan menjamin kesejahteraan rakyat dan menjamin keadilan bagi rakyat, pemerintah telah menutup simpul jaringan teroris berikutnya.
“Artinya adalah refleksi publik yang luar biasa dimana keadilan masyarakat sangat jauh. Tidak ada upaya lain selain melakukan tindakan radikal. Harus diperhatikan akar masyarakat orang mengambil cara radikal. Harus dibenahi posisi keadilan bagi masyarakat harus dikedepankan,” tuturnya.
b.      Apakah karena tumbuhnya Ideologi yg radikal dan ekstrime yang semakin menjadi akhir-akhir ini ?
Tak Mudah Mematahkan Ideologi Radikal Teroris Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo mengatakan, akar penyebab terorisme adalah ideologi radikal/ekstrim yang sulit dipatahkan dan adanya penyimpangan terhadap ajaran agama.
Untuk mengatasinya perlu memantapkan ketahanan nasional/rakyat, memperbaiki sektor pendidikan, bimbingan agama secara benar dan tepat, serta berdayakan dan galakan intelijen teritorial dengan memberdayakan wilayah yaitu deteksi dini, kewaspadaan dini.
Karena itu, aparat keamanan bersama rakyat harus tegas memberantas terorisme tanpa kompromi, dengan memberdayakan kembali Desk Anti Teror Pusat dan Daerah, pedomani buku tentang Hubungan dan Tata Kerja Desk Anti Teror Pusat dan Daerah, hasil dari Rapat Koordinasi Teknis Intel/Pengamanan I Tahun Anggaran 2009.
“Tajamkan kegiatan intelijen/intel teritorial, diteksi dini, sistim laporan cepat dan cegah dini, berdayakan aparat intel dan mitra Babinsa sehingga rakyat secara sadar berani melaporkan keberadaan teroris dan berani melawan atau bahkan menangkapnya,” kata Agustadi Sasongko, Selasa 4 Agustus 2009. (Dispenad) .

c.       Apakah karena didasari adanya penyimpangan dalam ajaran agama ?
Ideologi Radikal & Agama Keliru Akar Terorisme
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan akar masalah terorisme di Indonesia diakibatkan banyak faktor, dari mulai ideologi radikal, pemahaman yang keliru soal agama hingga kemiskinan.
“Kita sudah tahu, bahwa ada sejumlah akar penyebab terjadinya terorisme. Penyebab pertama, adalah ideologi yang radikal. Ini muncul di mana-mana, bisa muncul di mana-mana, bangsa atau negara manapun, jenis masyarakat apapun. Ini yang menjadi akar penyebab dari aksi-aksi terorisme,”
Kedua, kata SBY, penyimpangan terhadap ajaran agama. Keliru mana jalan menuju surga dan mana menuju negara. Ketiga, kondisi kehidupan yang susah, ekstrim susah, sulit, absolut, dan keterbelakangan. “Namun bagaimanapun saya sepakat, kondisi ekstrim itu tetap memberikan kemungkinan pengaruh, provokasi, dan arbitrasi,” papar Presiden.
Menurut SBY, strategi untuk mengatasi terorisme harus dikaitkan dengan akar masalah penyebabnya. Pertama, pendidikan. Pendidikan agama yang bisa mencegah perilaku menyimpang dari ajaran agama, akal sehat, dan norma-norma dari semua masyarakat yang baik.
“Saya berharap saudara semuanya paling depan untuk betul-betul peduli, mengerti, menguasai tetang dinamika pendidikan yang ada di wilayahnya. Pendidikan apapun, memastikan bahwa metodologinya semua tidak mengarah pada ideologi ekstrimisme dan kekerasan,” terang Kepala Negara.
Upaya lainnya untuk memerangi terorisme adalah melalui pembangunan. Dengan pembangunan, kemiskinan, kebodohan, isolasi bisa dihilangkan. Pembangunan harus utuh pada sisi-sisi yang paling fundamental di masyarakat.
“Ini mesti kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Saya banyak membaca buku-buku terorisme di banyak negara, termasuk pengakuan mereka yang melakukan radikalisme di negara kita. Itu bisa kita kenali alam pikiran mereka, cara berpikirnya, konsep tentang surga dan neraka,” tutur Presiden.
Hal itu, sambung dia, tidak bisa dihadapi dengan cara teknologi, senjata, atau cara apapun. Ini berkaitan dengan the minds of the people. “Pendidikan dan bimbingan keagamaan sebuah pasangan yang baik untuk mengatasi masalah ini,” kata SBY .
3.      Dampak Terorisme
a.      Pengaruh Terorisme terhadap Sistem Politik Indonesia
Isu terorisme adalah isu yang sedang dan sudah menjadi sorotan dunia internasional saat ini, disamping adanya isu lain seperti Global Warming. Isu ini mulai menyebar setelah adanya penyerangan terhadap gedung WTC di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Amerika pun menjadi bengis bagaikan beruang yang telah diganggu tidurnya. Amerika pun mengumandangkan niatnya untuk memberantas terorisme. Maka Amerika memulai dengan melakukan penyerangan ke Afganistan untuk memburu Osama Bin Laden yang di tuduh sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kejadian di Gedung WTC. Lalu meneruskan ke Iraq dengan alasan memburu Saddam Husein dengan alasan bahwa Saddam Husein adalah orang yang mengancam perdamaian dunia.
Di Indonesia, terjadi demo di berbagai daerah. Banyak tuntutan yang ada seperti melakukan tindakan boikot terhadap produk-produk Amerika dan bahkan sampai meminta untuk memutus hubungan diplomasi dengan Amerika. Tapi entah mengapa itu semua tidak dapat terealisasikan hingga saat ini.
Namun disamping itu semua, sebenarnya ada dampak besar lain yang sangat fatal akibatnya bagi indonesia, yaitu munculnya paham Terorisme. Munculnya “kaum-kaum sensitif” yang menganggap bahwa serangan di Afganistan dan Iraq itu lebih kepada niat Amerika untuk menghancurkan Islam daripada niat Amerika untuk menghancurkan atau memberantas terorisme. Kaum-kaum sensitif tadi pun mulai berulah di Indonesia dengan melakukan tindakan teror di negara mereka sendiri, Indonesia. Dan terjadilah Bom Bali I.
Lalu apakah aksi teror yang terjadi tersebut mengganggu kestabilitasan Indonesia dan mengacaukan sistem politik Indonesia? Jawabannya adalah Benar. Mengapa demikian? Marilah kita telusuri satu persatu.
1)      Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya sistem adalah bagian dari beberapa bagian sistem atau subsistem yang melaksanakan fungsinya masing-masing dan diantara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling berkaitan. Begitu pula dengan sistem politik Indonesia yang terdiri dari beberapa sistem yang menjalani fungsinya masing-masing.
Namun ketika satu kepincangan terjadi dalam subsistem Indonesia, maka keseluruhan subsistem atau sistem tadi mengalami gangguan. Dalam kaitannya dengan masalah terorisme, kepincangan yang terjadi adalah dibidang pertahanan. Contohnya, saat terjadi pemboman di Bali yang menelan ratusan korban dari penduduk dalam dan luar negri.
Walaupun kepincangan yang terjadi di bidang pertahanan, namum berdampak pada bidang-bidang lainnya. Karena terjadinya pemboman di Bali, Indonesia menghadapi permasalahan dalam bidang diplomasi, terutama dengan negara-negara yang menjadi korban dalam tindakan teror tersebut seperti Australia, Amerika, Jepang, dan negara lainnya. Setelah terjadi kepincangan di bidang diplomasi, akan berdampak pula pada bidang lainnya, seperti larangan negara Amerika dan Australia kepada warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia khususnya Bali saat itu, mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang datang ke Bali sehingga juga mengurangi pemasukan negara dari bidang pariwisata. Dan Bali saat itu pun mengalami perekonomian yang sangat sulit. Karena memang sebagian besar masyarakat Bali berpenghasilan dari wisatawan-wisatawan yang berkunjung kesana. Hal yang tidak disangka juga, ternyata berdampak pula ke bidang pendidikan. Seperti, Madina University, Saudi Arabia, yang biasanya memberikan beasiswa penuh untuk penuntut ilmu yang ingin belajar disana setiap tahunnya dari Indonesia, menutup kesempatan tersebut dengan alasan terjadinya pemboman di Bali tersebut. Sehingga jelaslah yang dari awalnya terjadi kerusakan pada satu subsistem, mengakibatkan kerusakan pada sistem yang lainnya. Oleh karena ituah masalah terorisme khususnya pemboman tersebut mengganggu sistem perpolitikan di Indonesia. Ini juga sesuai dengan pendapat David Easton yang mengatakan bahwasanya ada tiga hal mendasar dari sistem politik, yang salah satunya adalah ditandai dengan adanya saling ketergantungan antarunit yang berada didalamnya.
2)      Didalam sistem politik, terdapat input yang berguna untuk memberi masukan didalam sistem politik. Karena sistem politik disusun untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat yang berada dibawahnya. Namun permasalahannya untuk Indonesia yang memiliki berbagai macam tuntutan karena latar belakang masyarakat yang sudah berbeda-beda, dan kebutuhan yang berbeda pula. Dan kadang kebutuhan tersebut tidak seluruhnya bisa dipenuhi, dan akhirnya rakyat menuntut.
Namun kadang ada sikap pemerintah yang tidak menganggap serius tuntutan tersebut, hingga akhirnya ada beberapa golongan yang nekat, sehingga terjadilah tindak terorisme tersebut. Jadi kesimpulannya input dan masukan yang tidak dipenuhi serta tidak dapat perhatian khusus bisa mengakibatkan masyarakat nekat untuk melakukan tindakan teror.
Dari tulisan yang telah saya paparkan di atas, terlihatlah bahwa Terorisme itu memang bisa mengganggu sistem perpolitikan suatu negara. Dan hendaknya masing-masing negara mampu mengatur suatu sistem perpolitikan dengan apik sehingga hal-hal seperti ini tidak kita temui lagi.

b.      Teror Bom Ganggu Tingkat Kunjungan Wisatawan

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) menyatakan bahwa bom buku yang belakangan ini marak berpotensi mencoreng citra keamanan dan berdampak pada pertumbuhan sektor pariwisata Indonesia.
“Bom-bom ini walaupun skalanya sangat kecil tapi berpotensi menganggu citra Indonesia dari segi keamanan,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kemenbudpar, I Gde Pitana, di Jakarta, Jumat (18/3).
Ia mengatakan, beberapa tahun lalu, Indonesia sempat dikenal sebagai negara sarang teroris tetapi pemerintah telah cukup berhasil menghapus citra itu.
Karena itu, Pitana menyesalkan maraknya pengiriman bom buku yang saat ini meresahkan masyarakat. “Muncul modus operandi baru pengiriman bom melalui buku, ini kemungkinan membuat citra kita `down` lagi,” katanya.
Pitana berharap bom buku tidak meluas ke daerah lain dan dapat dilokalisir di Jakarta. “Dari sisi pariwisata, Jakarta memang bukan tujuan untuk “leisure” tetapi cenderung merupakan turis bisnis sehingga pengaruh terhadap wisman kecil,” katanya.
Namun, jika hal itu meluas ke tempat lain misalnya Bali maka dampaknya akan sangat serius memukul pertumbuhan pariwisata Indonesia.
Apalagi selama ini hampir 65 persen turis ke Bali untuk tujuan “leisure” dan wisatawan yang datang sangat sensitif terhadap isu keamanan.
“Tapi saya optimistis walaupun citra kita bisa menurun tetapi tidak akan mempengaruhi jumlah turis yang datang ke Indonesia,” katanya.
Menurut dia, dalam kaitannya dengan bom buku seluruh pihak harus memberikan informasi yang up date, jujur, dan terbuka jika ada pertanyaan seputar bom buku dari masyarakat di luar negeri.
“Kita harus informasikan bahwa bom hanya terjadi di Jakarta dalam skala yang kecil sedangkan daerah-daerah lain tetap aman untuk dikunjungi,” katanya.(Ant/RIZ)
4.      KONDISI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME YANG DIHARAPKAN.
Pemerintah beserta aparat keamanan dan birokrasi memiliki sikap arif, penuh ketenangan berfikir sehingga mendapatkan cara-cara yang tepat dan akurat dalam menangani terorisme. Masyarakat telah menjadi kesatuan pandang dalam menyikapi melawan terorisme. Kemampuan aparat keamanan telah dapat kerjasama dengan seluruh komponen bangsa. Penegakan hukum dapat diwujudkan dan telah dilengkapi dengan perangkat peraturan perundang-undangan, kerjasama internasional tidak menimbulkan pro dan kontra pemahaman. Kesadaran masyarakat secara aktif berbuat dan melakukan deteksi dini, identifikasi dini dan penangkalan terhadap perkembangan ancaman terorisme yang dilandasi rasa tanggung jawab dan kesadaran yang tinggi, sebagai bangsa yang bermartabat.
Dengan landasan Wawasan Nusantara yang tangguh, bangsa Indonesia diharapkan memiliki sikap mental dan perilaku yang mampu mendeteksi, mengidentifikasi, menilai dan menganalisis sejak dini secara hati-hati terhadap berbagai bentuk ancaman terutama teroris internasional di Indonesia.
Tinjauan Dari Aspek Politik. Aksi teror tidak tidak mengenal diskriminatif target, membuat keharusan membangun sistem keamanan terhadap manusia dan obyek vital baik militer maupun non militer di banyak negara. Dampak terorisme di bidang politik, antara lain :
Gangguan terhadap kehidupan demokrasi, roda pemerintahan tidak berjalan lancar, Pemerintah yang lemah bisa jatuh. Berbagai kerja sama internasional dikembangkan untuk mendesak langkah kooperatif dalam melawan terorisme. Perang melawan terorisme, perdebatan politik terjadi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, antara upaya membangun sistem keamanan dengan pembatasan kebebasan di satu sisi dan antara sistem keamanan nasional dengan multi nasional di sisi lainnya. Lepas dari pertarungan politik dalam dan luar negeri, sentimen baru melawan terorisme telah membuka babak baru perkembangan arah poltik dunia. Indonesia perlu mewaspadai dan harus ada upaya pencegahan adalah ketika para teroris internasional memanfaatkan kondisi politik atau sosial budaya dalam negeri saat ini, masih rentan terhadap SARA, keniscayaan kebhinekaan NKRI terancam. Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme berlangsung diwarnai nuansa politis. Hal demikian masih dalam kewajaran, karena masyarakat Indonesia sedang dalam transisi perubahan menuju masyarakat yang demokratis, bebas menyatakan pendapatnya. Wacana politik apapun yang terjadi, yang penting adalah politik kontrol tidak membiarkan peredaran bahan peledak, pengawasan keimigrasian dan kepabeanan merupakan langkah politik praktis yang tepat pada saat ini serta di masa datang.
Tinjauan Dari Aspek Ekonomi. Jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel-sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya. Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka institusi intelijen sangat diperlukan di dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir.
Tinjauan Dari Aspek Sosial Budaya dan Agama. Aksi terorisme belum dapat dihentikan, artinya sekalipun perang melawan terorisme gencar dilaksanakan dan agenda hubungan internasional untuk komitmen bersama melawannya, serangan terorisme terus berlangsung. Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun untuk melawan terorisme tidak salah bila menggunakan metoda lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan peneyebaran ajaran radikalisme. Keberhasilan Indonesia dalam membongkar sejumlah aksi teror selama ini, tidak berarti pada kesimpulan akhir bahwa penganut agama Islam memiliki pemiikiran sama terhadap pemahaman terorisme yang berkembang di Indonesia. Perang melawan terorisme harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah pada memenangkan pikiran dan hati masyarakat untuk tidak simpati dan tidak mendukung gagasan para teroris. Hal demikian harus dilaksanakan secara serempak dengan memusatkan faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial lainnya. Gerakan reformasi politik dan ekonomi sedang berlangsung di Indonesia, namun hasilnya belum maksimal bahkan aksi-aksi ketidak puasan terhadap tatanan politik dan ekonomi bermunculan berupa unjuk rasa anarkhis.
Tinjauan Dari Aspek Kemajuan Teknologi. Bagi kaum teroris menjalin komunikasi dengan dunian luar melalui internet, merupakan sarana utamanya, melalui pembuatan situs online maka komunikasi lintas negara dapat dilakukan dengan leluasa tanpa diketahui siapa, apa dan bagaimana, kecuali hanya kelompok jaringannya yang dapat mengerti. Teknologi cyber (dunia maya) dimanfaatkan untuk tindak kejahatan cyber crime dengan istilah hacking, carding dan hosting serta penyebar luasan artikel melalui situs jihad. Sebagai contoh carding, pencurian data dan dana kartu kredit melalui jaringan internet. Inilah yang disebut pergeseran modus dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Untuk mencegah cybercrime antara lain dapat dilakukan dengan cyberpatrol di dunia maya juga. Namun hingga kini, aparat keamanan dan intelijen masih banyak kekurangan yang dihadapi, belum memiliki pegangan security management, termasuk peralatan pengamanannya. Disamping itu kelemahan lain yang harus ditinggalkan yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi lainnya seperti bea cukai, imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan sangat diperlukan guna pencegahan terorisme di Indonesia.
Tinjauan Dari Aspek Kebijakan. Untuk melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran kewenangan maupun pelaksanaan kontra terorisme yang bersifat umum dan menyeluruh. Diperlukan cakupan dua bidang kebijakan namun bersamaan dalam melawan terorisme di Indonesia, yaitu :
Kebijakan utama yang merupakan pencegahan untuk menghilangkan peluang bagi tumbuh suburnya terorisme di dalam sendi kehidupan masyarakat pada aspek keadilan, demokrasi, kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, budaya KKN, kekerasan dan sebagainya. Kebijakan yang melahirkan aturan-aturan untuk mempersempit peluang terjadinya aksi teror dalam artian mempersempit ruang maupun sumber daya teroris.
Kebijakan yang merupakan instrumen yang menitik beratkan pada aspek penindakan diwujudkan dalam deteksi dini, cegah dini dan respon cepat terhadap indikasi dan aksi-aksi teror, yang menuntut profesionalitas dan proporsionalitas bagi instrumen penindak yang diberi wewenang. Penindakan terhadap teror harus dilakukan, namun tetap menjunjung tinggi regulasi mengenai code of conduct atau rule of engagement, sehingga apapun tindakan yang dilakukan melawan terorisme akan terbebas dari persoalan pro dan kontra dalam opini masyarakat.
Kebijakan, strategi, metoda, teknik, taktik dan pendekatan untuk mengatasi terorisme yang diterapkan tentunya akan berbeda dari satu negara dibanding negara lainya, mengingat adanya perbedaan pula bentuk atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh adanya motif-motif terorisme seperti separatis, anarkhis, dissidents, nasionalis, marxist revolusioner atau religius. Perbedaan penanganan juga disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, budaya, adat/istiadat, hukum, sumber daya serta kemampuan satuan anti teror yang tersedia. Indonesia dalam memerangi terorisme harus mempertimbangkan kondisi yang berlaku terutama bidang hukum, sosial dan budaya bangsa, bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif.
Tinjauan Dari Aspek Implementasi Penanggulangan Terorisme. Impelementasi memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upaya-upaya reprsif, preventiv, preemtif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infra struktur pendukung. Terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan terorisme bahwa pertama, langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror di kawasan khususnya Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Kedua, adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum untuk menangani terorisme untuk kepentingan kelompok penguasa dalam rangka mengembalikan kekuasaan otoriter seperti sebelumnya. Kedua hal tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik memerangi terorisme. Diperlukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan bahwa pertama, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah adalah tidak diskriminatif, kedua, perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketiga, kerja sama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan agar tidak timbul korban yang tidak berdosa. Sebaliknya diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan bila menemukan indikasi atau kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan terorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yan dilakukan dalam implementasi strategi serta besaran, luas dan kompleksitas dampal teorisme, untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dan Organisasi/Satuan Anti Teror. Bahwa perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitas
5.      KONSEPSI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME
a.       Kebijakan.
Pemerintah melakukan pencegahan dan penanggulangan ancaman terorisme internasional maupun lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional dalam rangka melindungi keselamatan WNI, dengan :
1)      menghormati HAM,
2)      meninjau kembali Undang-Undang Pemberantasan Terorisme untuk mencapai kepastian hukum,
3)      tindakan yang tidak diskriminatif tanpa melihat etnis maupun agama,
4)      melakukan kerja sama internasional,
5)      meningkatkan kewaspadaan dan keberanian masyarakat luas untuk melaporkan indikasi kegiatan terorisme, - melakukan koordinasi lintas instansi, lintas nasional secara silmultan melalui langkah represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi,
6)      dan menyentuh akar terorisme melalui langkah resosialisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat”
6.      Strategi.
Dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas dan untuk mewujudkan kemampuan segenap komponen bangsa dalam deteksi dini, penangkalan dini, dan pencegahan dini serta tindakan dini terhadap segala bentuk ancaman aksi Terorisme, maka dikembangkan strategi digunakan :
a.       Strategi Jangka Pendek :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan deteksi dan penangkalan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia.
Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah:
1)      Terwujudnya kesamaan dan kesatuan persepsi tentang Terorisme
2)      Terbentuknya kepribadian komponen bangsa yang pancasilais,
3)      Terbentuknya jiwa nasionalisme yang tinggi
4)      Terwujudnya disiplin nasional
b.      Strategi Jangka Panjang :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penindakan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia.
Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah:
1)      Meningkatnya sikap keberanian dan kemampuan segenap komponen bangsa.
2)      Terbentuknya komitmen yang kuat untuk melakukan langkah-langkah penindakan dini.
3)      Terwujudnya perangkat nasional yang mampu menjalankan fungsi dan peranannya sesuai dengan kewenangan.
4)      Meningkatnya peran serta segenap komponen bangsa terhadap aksi Terorisme di Indonesia.
5)      Meningkatnya kerjasama internasional.
c.       Upaya dalam Strategi Jangka Pendek :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat pemerintah.
1)      Untuk mewujudkan kesamaan persepsi bangsa tentang Terorisme.
a)      Pemerintah dengan tegas segera mengeluarkan statement secara resmi dalam rangka menghadapi Terorisme di Indonesia seperti “Pernyataan perang melawan Segala bentuk ancaman Terorisme di dunia.
b)      Pemerintah melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman Terorisme di Indonesia.
c)      Pemerintah melakukan pemekaran daerah di beberapa propinsi untuk mempermudah pengawasan.
2)      Untuk membentuk kepribadian komponen bangsa yang pancasilais, diupayakan melalui:
a)      Edukasi formal, sejak dini mulai dan pendidikan pra sekolah hingga Perguruan Tinggi.
b)      Edukasi non formal, melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi
3)      Untuk membentuk jiwa nasionalisme diupayakan melalui kegiatan:
a)      Pendidikan formal, harus dilakukan oleh Pemerintah terhadap masyarakat sejak pra sekolah sampai Perguruan Tinggi
b)      Pendidikan non formal, Pemerintah melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi
4)      Untuk mewujudkan Disiplin Nasional diupayakan melalui:
a)      Pendidikan formal, harus dilakukan pemerintah dengan memberikan muatan materi pengetahuan pada kurikulum pendidikan meliputi mata pelajaran Kewarganegaraan, Kewiraan, Tata Krama dan Budi Pekerti sesuai dengan tingkat pendidikan mulai dan tingkat pendidikan dasar sampai dengan universitas
b)      Pendidikan non formal, dilakukan oleh pemerintah dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi dengan materi penyajian tentang Peraturan Perundang-Undangan
d.      Upaya dlm Strategi Jangka Panjang :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia.
1)      Untuk memelihara dan meningkatkan keberanian komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan:
a)      Sosialisasi tentang bahaya dan ancaman Terorisme
b)      Melakukan dialog interaktif dan komunikasi secara intensif

2)      Untuk membentuk komitmen yang kuat bagi segenap komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan:
a)      Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang prosedur pencegahan dan penindakan dini
b)      Menyelenggarakan pelatihan pencegahan dan penindakan dini
c)      Membangun kesadaran akan tanggung jawab dan komitmen bersama.
d)     Melakukan pengawasan dan pengaturan kegiatan
e)      Meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa
f)       Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat dieksploitasi
g)      Meningkatkan pengamanan dan pengawasan
h)      Melakukan pengetatan pemberian dokumen
i)        Melaksanakan penertiban administrasi
3)      Mewujudkan perangkat nasional yang mampu menjalankan fungsi dan peranannya dengan melakukan refungsionalisasi dan revitalisasi sebagai berikut:
a)      Aparat Intelijen. Refungsionalisasi dan revitalisasi aparat Intelijen dengan membuat aturan perundang-undangan yang mengatur masalah tentang InteIen di Indonesia.
b)      Tentara Nasional Indonesia (TNI). Diperlukan kekuatan hukum, sarana prasarana, anggaran yang memadai didukung dengan mekanisme dan prosedur operasional yang jelas.
c)      Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perlu diupayakan peningkatan kemampuan profesionalisme Polri khususnya pencegahan dan penanggulangan Tindak Pidana Terorisme,
d)     Criminal Justice System (CJS) dengan kegiatan:
1.      Melakukan langkah-langkah untuk penyamaan persepsi
2.      Melaksanakan pelatihan, pertemuan, seminar dan dialog
3.      Meningkatkan kerjasama penanganan kasus
e)      Desk Koordinasi Pemberantas-an Terorisme (DKPT). Melalui upaya
1)      Mengkoordinasikan dan mengendalikan operasional lembaga-lembaga nasional yang bertugas, berkewajiban dan berwenang memberantas Terorisme di Indonesia.
2)      Perlu disusun peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir semua kepentingan perangkat nasional dan dapat dioperasionalkan secara Iebih terkoordinasi, sinergik dan holistik dalam rangka pemberantasan Terorisme di Indonesia.
f)       Memperkuat dan memperta-hankan serta meningkatkan kerjasama
g)      Melakukan pengawasan terhadap lalu lintas serta mendeteksi terhadap kemungkinan para teroris memperoleh bahan peledak dan senjata.
h)      Memutus hubungan para teroris dengan sindikat kriminal lainnya.
i)        Mengembangkan prosedur dan mekanisme untuk mencegah adanya tempat pelarian dan tempat persembunyian para teroris.
j)        Meningkatkan pengamanan pada kepentingan-kepentingan internasional,.
k)      Memperluas pelaksanaan kerjasama dibidang investigasi, penuntutan dan ekstradiksi.
4)      Untuk meningkatkan peran serta segenap komponen bangsa ditempuh melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kegiatan:
a)      Melakukan komunikasi dan dialog
b)      Menggalakkan Siskamswakara di seluruh wilayah Indonesia dengan upaya:
1.      Meningkatkan penertiban administrasi
2.      Menggalakkan ketentuan wajib lapor
3.      Membina sistem pengamanan swakarsa,
4.      Menyiagakan perangkat tanggap darurat
5)      Meningkatkan kerjasama internasional,
a)      Menjelaskan secara bijak dan diplomatis kepada dunia Internasional
b)      Menindaklanjuti MOU yang telah disepakati bersama
Pokok-pokok kebijakan yang yang menjadi pedoman dalam memerangi terorisme adalah sebagai berikut :
1)      Perang melawan terorisme merupakan kebutuhan mendesak yang dilaksanakan untuk melindungi kedaulatan NKRI dan keselamatan warga negara Indonesia serta warga negara lain yang berada di Indonesia.
2)      Dalam pelaksanaan pemberantasan aksi terorisme, harus tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tindakan yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia.
3)      Dalam penggunaan kekuatan pertahanan, yakni TNI untuk menumpas terorisme, tidak bersifat diskriminatif, dalam arti bahwa siapapun yang melakukan perbuatan teror akan dihadapi tanpa melihat latar belakang etnis, agama dam golongannya.
4)      Terorisme yang bersifat internasional maupun lokal atau yang saling bekolaborasi, dalam mengatasinya dilakukan upaya secara terpadu dan terkoordinasi secara lintas instansi dan lintas negara.
Dalam melaksanakan pokok-pokok kebijakan di atas, secara konkrit penanganan ancaman terorisme dapat bersifat mendahului (preemtif), mencegah (preventif), dan menindak (represif). Upaya represif dilaksanakan melalui suatu kegiatan operasi untuk menghancurkan aksi teroris yang berada di wilayah NKRI maupun di luar wilayah RI. Peran intelijen dalam kegiatan operasi untuk menghancurrkan aksi terorisme sangatlah tinggi agar negara tidak selalu “kecolongan”, namun kesemuanya perlu dukungan dan kerjasama antar sesama aparat intelijen, baik yang ada di TNI maupun intelijen yang ada di Polri, selain itu peran serta masyarakat jelas paling utama.
Terorisme bukan hanya kejahatan yang mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat internasional. Harmonisasi global dapat terkoyak karena bisa jadi masing-masing negara saling mencurigai dan mengecam negara yang lain, karena ada diantara tersangka atau pelakunya berasal dari negara tersebut. Misalnya, ketika pelaku teroris atau pelaku teroris adalah warga negara Indonesia, tentulah yang ikut digugat adalah negara Indonesia. Menyikapi adanya analisa ancaman tersebut maka perlu upayya proaktif dengan menyiapkan sistem pembinaan terhadap satuan penanggulangan teror. Hal ini untuk mengantisipasi adanya tugas-tugas dalam memerangi aksi-aksi terorisme tersebut, yang mana penanggulangan teror merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Sedangkan dari operasi ini bbukan hanya menjadi tanggung jawab satuan penanggulangan teror, tapi juga melibatkan berbagai satuan atau institusi dari luar unsur militer, antara lain satuan penanggulangan dari kepolisian, direktorat imigrasi, bea cukai, Departemen Perhubungan dan Badan Intelijen Negara.
B.     Mengapa Teroris senang di Indonesia ?
Ada tiga alasan, mengapa teroris memilih Indonesia sebagai tempat melakukan aksinya. Ketiga ancaman itu adalah lemahnya hukum,, rendahnya pendidikan dan suburnya kemiskinan. Mengikuti logika awam, kita memang bisa sangat emosional dengan kejahatan terorisme di Indonesia yang ddidalangi Dr Azahari dan Noordin M Top. Mereka tidak mungkin dapat dengan leluasa beroperasi di Indonesia tanpa berbagai kemudahan. Berbagai kemudahan itulah yang harus menjadi pelajaran atas kejahatan yang diotaki dua warga Malaysia itu.
Kita dapat berdebat panjang tentang kebenaran ketiga alasan tersebut, namun juga tidak sepenuhnya meleset. Pendidikan yang rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi, jelas merupakan ladang yang empuk bagi siapapun untuk berjualan ideologi, keyakinan atau bahkan mimpi-mimpi. Lalu alasan hukum, fakta menunjukkan setelah Undang-Undang No 11/PNPS/1963 tentang Tindak Pidana Subversi (UU Subversi) dicabut, Indonesia menjadi sasaran empuk para teroris. Sejak bom malam natal pada tahun 2000, bom seakan tidak berhenti menjadi horor di negeri ini, antara lain Bom Bali I (2002), Bom JW Marriot (2004), Bom Bali II (2005). Kini UU Subversi telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme).
Pelaku teroris di Indonesia memiliki sifat dan ciri tersendiri. Aksi teroris dianggap sebagai perjuangan menegakkan aqidah, perang jihad melawan negara-negara kafir dengan menggunakan sel terputus. Ketika selesai melakukan aksinya tidak berani secara terbuka untuk mengklaim bahwa dialah sebagai pelakunya seperti halnya pelaku teror di luar negeri.
Selain itu, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sering digunakan sebagai kedok untuk melakukan perjuangannya dengan berbaur bersama masyarakat dalam rangka penyamaran sehingga pelaku teroris sulit ditangkap dan terkadang dilindungi oleh kelompok-kelompok masyarakat yang berpaham sama. Hal lain yang dilakukan kelompok teroris ini adalah dengan sengaja menggunakan tameng Islam agar terjadi benturan antar negara.
Negara barat akan menuduh pelaku teror adalah kelompok Islam sehingga disaat demikian akan muncul solidaritas Islam di seluruh dunia untuk melakukan perlawanan dalam bentuk apapun terhadap negara-negara barat. Di Indonesia sendiri, hal ini menjadi polemik di kalangan masyarakat yang pada akhirnya masyarakat menjadi kurang bahu-membahu untuk turut serta dalam memberantas dan mencegah aksi terorisme.






BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pencegahan dan penanggulangan terorisme membutuhkan suatu kejasama secara menyeluruh. Selain kualitas dan kuantitas aparat yang telah dibentuk pemerintah juga perlu adanya dukungan terhadap kepedulian masyarakat, karena dengan melibatkan masyarakat penanggulanan dan pencegahan secara dini terhadap seluruh aksi atau kegiatan terorisme dapat dengan mudah diatasi.
Sistem pertahanan dan keamanan semesta dimana TNI dan Polri merupakan elemen utama dalam menghadapi aksi kejahatan terotisme harus selalu melakukan koordinasi dengan instansi-instansi pemerintah lainnya atau dengan swasta atau elemen sipil lainnya karena dukungan dan koordinasi dalam mendeteksi dan mengatasi berbagai permasalah teroris akan mudah diatasi.Didalam pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia dibutuhkan suatu badan ekstra semacam lembaga anti terorisme nasional yang pengawakannya ditangani secara terpadu antara TNI dan Polri serta unsur masyarakat dengan dibawah satu komando pengendali.
Selain peningkatan kerjasama baik antara lembaga didalam negeri perlu juga adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga anti terorisme yang berada diluar negeri yang tentunya didasari oleh kerangka hukum, karena dengan dasar hukum yang kokoh akan menjadi dasar kebijakan nasional dan tindakan kita dalam memerangi terorisme. Selain itu dengan dasar hukum yang kuat diharapkan mampu melindungi berbagai kepentingan baik kepentingan publik maupun hak-hak asasi manusia.

B.     Saran
Rangkaian tindakan terorisme di Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dan harta serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mengungkap dan mendeteksi secara dini setiap aksi terorisme disarankan :\
Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antara aparat baik TNI maupun Polri serta dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai tingkat RT dan RW. Pemerintah perlu melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman terorisme yang dimulai dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda serta kepada lapisan masyarakat paling bawah.
Pemerintah bersama DPR perlu segera melakukan penyempurnaan-penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan tindakan tindak pidana terorisme karena hal ini merupakan fondasi hukum yang kokoh dalam melindungi segala kepentingan masyarakat maupun hak-hak asasi manusia.
Pemerintah perlu segera meningkatkan kerjasama dengan negara-negara didunia dalam mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan terorisme karena kegiatan terorisme di Indonesia sangat berkaitan dengan kegiatan terorisme internasional.


Comments

Popular posts from this blog

contoh sosiometri(non tes )

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

makalah perkawinan adat