HUKUM PIDANA KEJAHATAN CYBER CRIME
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Kebutuhan
akan teknologi Jaringan Komputer semakin meningkat. Selain sebagai media
penyedia informasi, melalui Internet pula kegiatan komunitas komersial menjadi
bagian terbesar, dan terpesat pertumbuhannya serta menembus berbagai batas
negara. Bahkan melalui jaringan ini kegiatan pasar di dunia bisa diketahui
selama 24 jam. Melalui dunia internet atau disebut juga cyberspace,
apapun dapat dilakukan. Segi positif dari dunia maya ini tentu saja menambah
trend perkembangan teknologi dunia dengan segala bentuk kreatifitas manusia.
Namun dampak negatif pun tidak bisa dihindari. Tatkala pornografi marak di
media Internet, masyarakat pun tak bisa berbuat banyak.
Seiring
dengan perkembangan teknologi Internet, menyebabkan munculnya kejahatan yang
disebut dengan "CyberCrime" atau kejahatan melalui jaringan
Internet. Munculnya beberapa kasus "CyberCrime" di Indonesia, seperti
pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang
lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah
yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Sehingga dalam kejahatan
komputer dimungkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik formil
adalah perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa ijin,
sedangkan delik materil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi
orang lain (berdasarkan makalah Pengamanan Aplikasi Komputer Dalam Sistem
Perbankan dan Aspek Penyelidikan dan Tindak Pidana). Adanya CyberCrime telah
menjadi ancaman stabilitas, sehingga pemerintah sulit mengimbangi teknik
kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer, khususnya jaringan internet
dan intranet.
Mengingat kejahatan itu setua usia
kehidupan manusia, maka tingkat dan ragam kejahatan juga mengikuti realitas
perkembangan kehidupan manusia. Kecenderungannya terbukti, bahwa semakin maju
dan modern pula jenis dan modus operandi kejahatan yang terjadi ditengah
masyarakat. Hala ini seolah-olah membenarkan suatu adagium, bahwa “di mana ada
masyarakat, di situ ada kejahatan”.
Faktanya, adagium “dimana ada
masyarakat, di situ ada kejahatan” memang terbukti. Realitas perkembangan
kehidupan masyarakat di satu sisi menampakan potret yang sebenarnya, bahwa
setiap tahapan perkembangan yang terjadi di tengah perubahan sosial bisa
diniscayakan diikuti dengan berbagai kenyatan lain yang kurang menyenangkan,
sebab realitas yang tidak menyenangkan ini adalah berbentuk perilaku
menyimpang.
Sulit diingkari, bahwa di dalam
setiap perubahan, mestilah ada komunitas yang gagal mengadaptasikan diri dengan
transformasi yang berorientasi pada penegakan nilai-nilai positif. Kegagalan
beradaptasi ini merupakan cermin dari kondisi pluralitas masyarakat, yang
memang diantara pelaku sosial ini tidak selalu sama kapailitas ekonomi, moral,
dan psikologisnya. Ada individu dan komunitas yang gagal menyesuaikan diri atau
takluk dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Norma hukum hadir dalam kehidupan
manusia menjadi sangat penting, karena dimensi fungsionalnya yang bukan hanya
mencegah tetapi juga menindak perilaku yang bercorak sebagai “serigala” yang
melanggar dan mengorbankan harkat kemanusian, suatu simbol dari tindakan kriminalitas
yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok manusia yang menciptakan kondisi
kontra-produktif, yang mengakibatkan kehidupan didunia ini padat atau marak
dengan perubahan-perubahan yang bercorak asusila, merugikan sesama, dan
membahayakan masa depan peradaban manusia.
Di era globalisasi ini , berbagai
corak perubahan ditawarkan atau dijual oleh pasar dunia dan bangsa manapun,
sehingga masyarakat yang berada di perbedaan belahan bumi tetap menuai dampak
sesuai dengan informasi dan perubahan yang dipenetrasikan. Salah satu dampak
yang menyeruak disela-sela perubahan global adalah tampilannya kejahatan
mayantara(cyber crime).
Kejahatan mayantara tersebut dapat
disebut sebagai “cost” atau harga
mahal dari suatu perubahan masyarakat global yang tingkat perkembangannya
melebihi eksistensi hukum. Kejahatan mayantara,yang populer disebut juga
kejahatan cyber space merupakan
cermin dari suatu kondisi masyarakat yang selalu berkejaran antara keinginan
dengan tarikan pengaruh global yang tidak sedikit memproduk dan menawarkan
“perubahan corak sampah” (merugikan).
Kejahatan mayantara (cyber crime) telah menunjukan tampilan
riilnya dalam jagad produk teknologi canggih misalnya internet atau komputer.
Realitas ini menunjukan bahwa tawaran kemajuan di era globalisasi, slain
mendatangkan keuntungan atau nilai-nilai positif, juga mengandung muatan yang
membahayakan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Masalah-masalah kejahatan cyber
crime
2.
Undang-undang yang mengatur tentang
cyber crime
3.
Cara mengatasi kejahatan cyber crime
C.
TUJUAN
Semoga
analisis tentang kejahatan cyber crime ini dapat bermanfaat bagi saya dan yang
membacanya.
BAB II
DASAR TEORI
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) telah mengatur hubungan-hubungan hukum tentang kejahatan yang berkaitan
dengan komputer (computer crime) yang kemudian berkembang menjadi cyber crime.
Setidaknya ada dua pendapat yang berkembang sejalan dalam menangani kasus
kejahatan yang berhubungan dengan komputer yang secara tidak langsung juga
berkaitan dengan masalah cyber crime yakni;
1. KUHP mampu
untuk menangani kejahatan di bidang komputer (computer crime).
Madjono
Reksodiputro, pakar kriminolog dari Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa
kejahatan komputer sebenarnya bukanlah kejahatan baru dan masih terjangkau oleh
KUHP untuk menanganinya. Pengaturan untuk menangani kejahatan komputer
sebaiknya diintegrasikan ke dalam KUHP dan bukan ke dalam undang-undang
tersendiri.
2.
Kejahatan yang berhubungan dengan
komputer (computer crime) memerlukan ketentuan khusus dalam KUHP atau
undang-undang tersendiri yang mengatur tindak pidana dibidang komputer.
a.
Sahetapy, tentang bahwa hukum pidana
yang ada tidak siap menghadapi kejahatan komputer, karena tidak segampang itu
menganggap kejahatan komputer berupa pencurian data sebagai suatu pencurian.
Kalau dikatakan pencurian harus ada barang yang hilang. Sulitnya pembuktian dan
kerugian besar yang mungkin terjadi melatarbelakangi pendapatnya yang
mengatakan perlunya produk hukum baru untuk menangani kejahatan komputer agar
dakwaan terhadap pelaku kejahatan tidak meleset.
b.
J. Sudama Sastroandjojo, menghendaki
perlu adanya ketentuan baru yang mengatur permasalahan tindak pidana komputer.
Tindak pidana yang menyangkut komputer haruslah ditangani secara khusus, karena
cara-caranya, lingkungan, waktu dan letak dalam melakukan kejahatan komputer
adalah berbeda dengan tindak pidana lain.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam KUHP tentang cyber crime masing bersifat global. Namun berdasarkan
tingkat kemungkinan terjadinya kasus dalam dunia maya (cyber) dan kategorisasi
kejahatan cyber menurut draft convention on cyber crime maupun pendapat para
ahli, penulis mengkategorikan beberapa hal yang secara khusus diatur dalam KUHP
dan disusun berdasarkan tingkat intensitas terjadinya kasus tersebut yaitu;
a. Ketentuan
yang berkaitan dengan delik pencurian.
b.
Ketentuan mengenai perbuatan
perusakan / penghancuran barang
c.
Delik yang berkaitan dengan
pornografi
diatur dalam
Pasal 282 KUHP
d.
Ketentuan yang berkaitan dengan
penipuan.
e.
Perbuatan mengakses ke suatu sistem
jaringan tanpa ijin tersebut
f.
Kejahatan terhadap ketertiban umum.
g.
Ketentuan yang berkaitan dengan
delik penghinaan.
h.
Delik tentang pemalsuan data dengan
sarana komputer dapat diancam dengari pidana berdasarkan Pasal 263
i.
Ketentuan yang berkaitan dengan
perbuatan membocorkan rahasia negara (termasuk didalamnya perbuatan dengan
menggunakan sarana internet)
j.
Delik tentang perbuatan membocorkan
rahasia perusahaan,
k.
Tentang delik membocorkan rahasia
negara dan perusahaan melalui sarana komputer
l.
Delik tentang perjudian
BAB III
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN CYBER CRIME
YANG DIANUT INDONESIA
Unit
cyber crime Kepolisiaan RI menggunakan parameter berdasarkan dokumen kongres
PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offlenderes di Havana,
Cuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, menyebutkan ada 2 istilah
yang dikenal :Cybercrime
in a narrow sense (dalam arti sempit) disebut
computer crime: any illegal behaviour directed by means of electronic operation
that target the security of computer system and the data processed by them.Cyber crime in a broader sense (dalam
arti luas) disebut computer
related crime: any illegal behaviour committed by means on relation to, a
computer system offering or system or network, including such crime as illegal
possession in, offering or distributing information by means of computer system
or network. Dari beberapa pengertian di atas,
cybercrime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan
memakai jaringan komputer sebagai sarana/ alat atau komputer sebagai objek,
baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.
B. CONTOH
KASUS CYBERCRIME DI INDONESIA
1. Pencurian dan penggunaan
account Internet milik orang lain.
Salah satu kesulitan dari sebuah ISP (Internet Service Provider) adalah adanya
account pelanggan mereka yang “dicuri” dan digunakan secara tidak sah. Berbeda
dengan pencurian yang dilakukan secara fisik, “pencurian” account cukup
menangkap “userid” dan “password” saja. Hanya informasi yang dicuri. Sementara
itu orang yang kecurian tidak merasakan hilangnya “benda” yang dicuri. Pencurian
baru terasa efeknya jika informasi ini digunakan oleh yang tidak berhak. Akibat
dari pencurian ini, penggunan dibebani biaya penggunaan acocunt tersebut. Kasus
ini banyak terjadi di ISP. Namun yang pernah diangkat adalah penggunaan account
curian oleh dua Warnet di Bandung.
2. Membajak situs web. Salah
satu kegiatan yang sering dilakukan oleh cracker adalah mengubah halaman web,
yang dikenal dengan istilah deface. Pembajakan dapat dilakukan dengan
mengeksploitasi lubang keamanan. Sekitar 4 bulan yang lalu, statistik di
Indonesia menunjukkan satu (1) situs web dibajak setiap harinya.
3. Probing dan port scanning.
Salah satu langkah yang dilakukan cracker sebelum masuk ke server yang
ditargetkan adalah melakukan pengintaian. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan
“port scanning” atau “probing” untuk melihat servis-servis apa saja yang
tersedia di server target. Sebagai contoh, hasil scanning dapat menunjukkan
bahwa server target menjalankan program web server Apache, mail server
Sendmail, dan seterusnya. Analogi hal ini dengan dunia nyata adalah dengan
melihat-lihat apakah pintu rumah anda terkunci, merek kunci yang digunakan,
jendela mana yang terbuka, apakah pagar terkunci (menggunakan firewall
atau tidak) dan seterusnya. Yang bersangkutan memang belum melakukan kegiatan
pencurian atau penyerangan, akan tetapi kegiatan yang dilakukan sudah
mencurigakan. Apakah hal ini dapat ditolerir (dikatakan sebagai tidak
bersahabat atau unfriendly
saja) ataukah sudah dalam batas yang tidak dapat dibenarkan sehingga dapat
dianggap sebagai kejahatan? Berbagai program yang digunakan untuk melakukan
probing atau portscanning ini dapat diperoleh secara gratis di Internet. Salah
satu program yang paling populer adalah “nmap” (untuk sistem yang berbasis
UNIX, Linux) dan “Superscan” (untuk sistem yang berbasis Microsoft Windows).
Selain mengidentifikasi port, nmap juga bahkan dapat mengidentifikasi jenis
operating system yang digunakan.
4. Virus. Seperti
halnya di tempat lain, virus komputer pun menyebar di Indonesia. Penyebaran umumnya
dilakukan dengan menggunakan email. Seringkali orang yang sistem emailnya
terkena virus tidak sadar akan hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat
lain melalui emailnya. Kasus virus ini sudah cukup banyak seperti virus
Mellisa, I love you, dan SirCam. Untuk orang yang terkena virus, kemungkinan
tidak banyak yang dapat kita lakukan. Akan tetapi, bagaimana jika ada orang
Indonesia yang membuat virus (seperti kasus di Filipina).
5. Denial of Service (DoS) dan
Distributed DoS (DDos) attack. DoS attack
merupakan serangan yang bertujuan untuk melumpuhkan target (hang, crash)
sehingga dia tidak dapat memberikan layanan. Serangan ini tidak melakukan
pencurian, penyadapan, ataupun pemalsuan data. Akan tetapi dengan hilangnya
layanan maka target tidak dapat memberikan servis sehingga ada kerugian
finansial. Bagaimana status dari DoS attack ini? Bayangkan bila seseorang dapat
membuat ATM bank menjadi tidak berfungsi. Akibatnya nasabah bank tidak dapat
melakukan transaksi dan bank (serta nasabah) dapat mengalami kerugian
finansial. DoS attack dapat ditujukan kepada server (komputer) dan juga
dapat ditargetkan kepada jaringan (menghabiskan bandwidth). Tools untuk
melakukan hal ini banyak tersebar di Internet. DDoS attack meningkatkan
serangan ini dengan melakukannya dari berberapa (puluhan, ratusan, dan bahkan
ribuan) komputer secara serentak. Efek yang dihasilkan lebih dahsyat dari DoS
attack saja.
6. Kejahatan yang berhubungan
dengan nama domain. Nama domain (domain
name) digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan dan merek dagang. Namun
banyak orang yang mencoba menarik keuntungan dengan mendaftarkan domain nama
perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya dengan harga yang lebih
mahal. Pekerjaan ini mirip dengan calo karcis. Istilah yang sering digunakan
adalah cybersquatting. Masalah lain adalah menggunakan nama domain saingan
perusahaan untuk merugikan perusahaan lain. (Kasus: mustika-ratu.com) Kejahatan
lain yang berhubungan dengan nama domain adalah membuat “domain
plesetan”, yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain.
(Seperti kasus klikbca.com) Istilah yang digunakan saat ini adalah
typosquatting.
7. IDCERT (Indonesia Computer Emergency Response
Team). Salah satu cara untuk mempermudah
penanganan masalah keamanan adalah dengan membuat sebuah unit untuk melaporkan
kasus keamanan. Masalah keamanan ini di luar negeri mulai dikenali dengan
munculnya “sendmail worm” (sekitar tahun 1988) yang menghentikan sistem email
Internet kala itu. Kemudian dibentuk sebuah Computer Emergency Response Team
(CERT). Semenjak itu di negara lain mulai juga dibentuk CERT untuk menjadi point of contact
bagi orang untuk melaporkan masalah kemanan. IDCERT merupakan CERT Indonesia.
8. Sertifikasi perangkat
security. Perangkat yang digunakan untuk
menanggulangi keamanan semestinya memiliki peringkat kualitas. Perangkat yang
digunakan untuk keperluan pribadi tentunya berbeda dengan perangkat yang
digunakan untuk keperluan militer. Namun sampai saat ini belum ada institusi
yang menangani masalah evaluasi perangkat keamanan di Indonesia. Di Korea hal
ini ditangani oleh Korea Information Security Agency.
C. UNDANG-UNDANG DI INDONESIA YANG BERHUBUNGAN
DENGAN CYBERCRIME
Menjawab
tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang
diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap
perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif
penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan
korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum
memiliki Undang – Undang khusus/ cyber law yang mengatur mengenai cybercrime
walaupun rancangan undang undang tersebut sudah ada sejak tahun 2000 dan
revisi terakhir dari rancangan undang-undang tindak pidana di bidang teknologi
informasi sejak tahun 2004 sudah dikirimkan ke Sekretariat Negara RI oleh
Departemen Komunikasi dan Informasi serta dikirimkan ke DPRnamun dikembalikan
kembali ke Departemen Komunikasi dan Informasi untuk diperbaiki. Tetapi,
terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi
para pelaku cybercrime terutama untuk kasuskasusyang menggunakan komputer
sebagai sarana, antara lain:
1. Kitab
Undang-Undang Hukum PidanaDalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para
penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan terhadap pasal-pasal
yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu
Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus pasal- pasal yang dapat
dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain :
-
Pasal 362 KUHP yang
dikenakanuntuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik
orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang
diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan
transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barangdikirimkan,
kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena
pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
-
Pasal 378 KUHP dapat dikenakan
untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk atau
barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk
membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada
kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang
dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut
menjadi tertipu.
-
Pasal 335 KUHpelaku biasanya
mengetahui rahasia korban.
-
Pasal 311 KUHP dapat
dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet.
Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang
suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list
sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
-
Pasal 303 KUHP dapat
dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di
Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
-
Pasal 282 KUHP dapat
dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yangbanyak beredar
dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit
sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain
tersebut diluar negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan
merupakan hal yang ilegal.
-
Pasal 282 dan 311 KUHP dapat
dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar
di Internet , misalnya kasus Sukma Ayu-Bjah.
-
Pasal 378 dan 262 KUHP dapat
dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah
ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu
kreditnya merupakan curian.
-
Pasal 406 KUHP dapat
dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain,
seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan
sebagaimana mestinya
2. Undang-Undang
No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.komputer bekerja untuk melakukan
fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan
dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer
berlaku selama 50 tahun (Pasal 30).guna menggandakan serta menjual
software bajakan dengan harga yang sangat murah. Misalnya, program anti virus
seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Penjualan dengan harga
sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan
yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp
5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan
“dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan
program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 72 ayat (3) yaitu: “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus jutarupiah) “.
3. Undang-Undang
No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau
penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan,
gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan segala
fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena
dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun
film dengan sistem elektromagnetik.Penyalahgunaan Internet yang mengganggu
ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan
Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan
milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
-
Akses ke jaringan
telekomunikasi
-
Akses ke jasa
telekomunikasi
-
Akses ke jaringan
telekomunikasi khusus.
Apabila
anda melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU
www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah)”
(enam ratus juta rupiah)”
4. Undang-Undang No 8 Tahun1997 tentang Dokumen
PerusahaanDengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret
1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan
atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas
dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang
dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk – Read Only Memory (CD
– ROM), dan Write – Once – Read – Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12
Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.
5. Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian
UangUndang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang
penyidik untuk Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk
memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa
harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang
Perbankan.
Dalam
Undang-Undang Perbankan identitas dan data perbankan merupakan bagian dari
kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik membutuhkan informasi dan data
tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah mengirimkan surat dari Kapolda
ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur Bank Indonesia. Prosedur tersebut
memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang
diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian Uang proses tersebut lebih cepat
karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah
tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga
data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses
penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank,berbentuk:
aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana
dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku
berdasarkan data– data tersebut. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat
bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu
alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
6. Undang-Undang
No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain Undang-Undang
No. 25 Tahun 2003 Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik
sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti
elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat
ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor
intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk
menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku
mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan
melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room
selain mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan
propaganda melalui bulletin board atau mailing list.
D. KEBIJAKAN
KRIMINALISASI CYBERCRIME
Kebijakan
kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang
semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana
(perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi
merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan
sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari
“kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.
Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut di atas, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:
1. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.[8] Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.
Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global). Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI mencatat ada 21 undang-undang dan 25 RUU yang akan terkena dampak dari undang-undang yang mengatur cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum stabil secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime dari negara lain. Harmonisasi ini telah dilaksanakan baik dalam RUU PTI, RUU IETE, RUU ITE, RUU TPTI maupun dalam RUU KUHP. Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cyber crime ini diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.
3. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana. Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya. Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang kembali kasus Imam Samudera – terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.
4. Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili.
5. Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime. Apakah pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri.
E. PENANGANAN CYBERCRIME DI INDONESIA
1. Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban.
2. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime. Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
3. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.
5. Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut.
F. CYBERCRIME DAN PENEGAKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang - Undang khusus/ cyber law yang mengatur mengenai cybercrime Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasuskasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain:
1.
Kitab
Undang Undang Hukum Pidana
Dalam upaya menangani kasus-kasus
yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan
terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya
digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus
pasal - pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain :
a.
Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk
kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain
walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil
dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan
transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan,
kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena
pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
b.
Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk
penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang
dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk
membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada
kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang
dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut
menjadi tertipu.
c.
Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk
kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan
oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang
membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui
rahasia korban.
d.
Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk
kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet. Modusnya adalah
pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang
tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang
mengetahui cerita tersebut.
e.
Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk
menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan
penyelenggara dari Indonesia.
f.
Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk
penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah
diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk
menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar
negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang
ilegal.
g.
Pasal 282 dan 311 KUHP dapat
dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar
di Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa.
h.
Pasal 378 dan 262 KUHP dapat
dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah
ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu
kreditnya merupakan curian.
i.
Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada
kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website
atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
2.
Undang-Undang
No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Menurut
Pasal 1 angka (8) Undang - Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program
komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,
skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat
dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi
khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam
merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku
selama 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/ software yang sangat mahal
bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para
pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga
yang sangat murah.
Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.
Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.
3.
Undang-Undang
No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut
Pasal 1 angka (1) Undang - Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah
setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam
bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem
kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi
tersebut, maka Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah
satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap
informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik.
Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat
dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang- Undang ini, terutama bagi para
hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada
Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah,
atau memanipulasi:
a. Akses ke
jaringan telekomunikasi
b. Akses ke
jasa telekomunikasi
c. Akses ke
jaringan telekomunikasi khusus
Apabila anda melakukan hal tersebut seperti yang
pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan Pasal 50
yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”
4. dokumen yang
dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD
- ROM), dan Write - Once -Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12
Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.
5.
Undang-Undang
No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang
ini merupakan Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk
mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui
Internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan
waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang
termasuk dalam pencucian uang (Pasal 2 Ayat (1) Huruf q). Penyidik dapat
meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data
perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai
dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan
identitas dan data perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga
apabila penyidik membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus
dilakukan adalah engirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke
Gubernur Bank Indonesia. Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk
mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian
Uang proses tersebut lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada
Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan
Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih
cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku, karena data
yang diberikan oleh pihak bank, berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah
rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana dilakukan transaksi maka
penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data– data tersebut.
Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital
evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu.
6.
Undang-Undang
No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti
elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti
elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat
ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor
intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk
menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku
mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan
melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room
selain mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan
propaganda melalui bulletin board atau mailing list.
7.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik.
Undang-undang
ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun
sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis
pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau
cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan
menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna
mencapai sebuah kepastian hukum.
8.
Undang-Undang Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Namun, masyarakat lebih mengenal nama
Undang-Undang cyber crime, atau undang-undang tentang kejahatan di dunia maya.
Dengan-undang ini, di harapkan mampu membawa efek jera bagi para pelakunya,
karena Indonesia selama ini di kenal sebagai salah satu negara pembobol kartu
kredit terbesar di dunia serta tingkat pembajakan software tertinggi. Selain
ancaman hukuman penjara, undang-undang cyber crime juga mengenakan sanksi denda
dengan nominal cukup tinggi. Berikut ini beberapa pasalnya:
a.
Pidana 1
tahun dan denda Rp 1 miliar Pasal 26: Setiap orang dilarang
menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi,
perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik.
b.
Pidana
empat tahun penjara dan denda Rp 1 miliar Pasal 27 (1): Setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan
informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik.
c.
Pidana
enam bulan dan denda Rp 100 juta Pasal 22: (1) Penyelenggara agen
elektronik tertentu wajib menyediakan fitur pada agen elektronik yang
dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi
yang masih dalam proses transaksi. Pasal 25: Penggunaan setiap informasi
melalui media elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang
harus dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan
d.
Pidana
enam bulan atau denda Rp 100 juta Pasal 23 (2): Pemilikan dan
penggunaan nama domain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didasarkan
pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan
tidak melanggar hak orang lain. (Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena tindak pidana)
e.
Pidana
delapan tahun penjara dan denda Rp 2 miliar
-
Pasal 27 (3): menggunakan dan atau
mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak,
untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi pertahanan
nasional atau hubungan internasional yang dapat menyebabkan gangguan atau
bahaya terhadap Negara dan atau hubungan dengan subyek hukum internasional.
-
Pasal 28 (1): Setiap orang dilarang
melakukan tindakan yang secara tanpa hak yang menyebabkan transmisi dari
program, informasi, kode atau perintah, komputer dan atau sistem elektronik
yang dilindungi negara menjadi rusak.
-
Pasal 30 ayat (1): Setiap orang
dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik
milik pemerintah yang dilindungi secara tanpa hak.
-
Pasal 30 ayat (2): Setiap orang
dilarang menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya,
komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara, yang
mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak.
-
Pasal 30 ayat (3): Setiap orang
dilarang menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya,
komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh masyarakat, yang
mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak.
-
Pasal 30 ayat (4): Setiap orang
dilarang mempengaruhi atau mengakibatkan terganggunya komputer dan atau sistem
elektronik yang digunakan oleh pemerintah.
-
Pasal 33 ayat (2): Setiap orang
dilarang menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses
(password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan
menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan
komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan atau dilindungi oleh
pemerintah.
-
Pasal 34: Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan dalam rangka hubungan internasional dengan maksud merusak
komputer atau sistem elektronik lainnya yang dilindungi negara dan berada di
wilayah yurisdiksi Indonesia.
f.
Pidana 20
tahun dan denda Rp 10 miliar Pasal 27 (2): Setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan
informasi milik pemerintah yang karena statusnya harus dirahasiakan atau
dilindungi.
g.
Pidana 10
tahun dan denda Rp 2 miliar
-
Pasal 31 (1): Setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa
hak atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan atau memperoleh
informasi keuangan dari Bank Sentral, lembaga perbankan atau lembaga keuangan,
penerbit kartu kredit, atau kartu pembayaran atau yang mengandung data laporan
nasabahnya.
-
Pasal 31 (2): Setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu
pembayaran milik orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk
memperoleh keuntungan.
-
Pasal 33 (1): Setiap orang dilarang
menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau
informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos
komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan yang
akibatnya dapat mempengaruhi sistem elektronik Bank Sentral, lembaga perbankan
dan atau lembaga keuangan, serta perniagaan di dalam dan luar negeri.
-
Pasal 35: Masyarakat dapat
mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menggunakan teknologi
informasi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menjawab
tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang
diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap
perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif
penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan
korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum
memiliki Undang - Undang khusus/ cyber law yang mengatur mengenai cybercrime
Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat
dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasuskasus yang
menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain: Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
B.
SARAN
Sebagai warga negara yang
baik kemajuan teknologi dalam hal perkembangan komputer dan internet yang
telah menyeluruh di dunia ini harapannya
semoga menjadi dampak yang positif bagi bangsa indonesia.
Semoga dengan adanya undang-undang IT akan meminimalis dari pelaku
kajahatan cyber crime.
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi,Barda.(2005).tindak pidana mayantara.rajawali
pers.Jakarta
Wahid,A.&
M.Labib.(2005).kejahatan mayantara (cyber
crime).refika aditama.Bandung
Comments
Post a Comment
komen sangat di harapkan boss.