HUKUM PIDANA PEMERKOSAAN 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dewasa
ini tindak kejahatan grafiknya semakin meningkat baik secara kualitas maupun
kuantitasnya.Yang memprihatinkan lagi kejahatan
yang dilakukan oleh sebagian orang tersebut bukan kejahatan biasa, tetapi cenderung mengarah pada tindakan
criminal yang sangat merugikan kaum wanita, yang tidak sesuai dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat
dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan yang dapat
diancam pidana Perilaku yang menyimpang bahkan melanggar hukum cukup kompleks
dan beragam. Perilaku yang menunjukan dekadensi moral manusia telah di lakukan.
Perilaku menyimpang anak yang sering terjadi adalah penggunaan obat-obatan
terlarang dan tindak kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bahkan
bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong
dibawah umur (anak-anak). Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung
dilingkungan perusahaan, perkantoran atau tempat-tempat tertentu yang
memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun
juga dapat terjadi di lingkungan keluarga.
Pemerkosaan bukan hanya sebagai penyakit
masyarakat tetapi juga merusak masa depan serta pemaksaan kehendak terhadap
korban dan mengoyak hak asasi manusia. Perkosaan tidak hanya merupakan masalah
antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan masalah
hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk
penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Jadi
terhadap pelaku kasus perkosaan harus dihukum seberat-beratnya tanpa
terkecuali. Lemahnya hukum terhadap para pelaku pemerkosaan menyebabkan jumlah
kasus kejahatan ini terus meningkat serta hukuman yang dijatuhkan terhadap para
pelaku tidak membuat jera.
Hal
yang lebih memprihatinkan lagi adalah kecenderungan makin maraknya tindak pidana
perkosaan yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tetapi juga menimpa
anak-anak di bawah umur dan dilakukan oleh anak. Tindak Pidana perkosaan
tersebut telah diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.Permasalahan
yang semakin berkembang ini perlu segera ditanggulangi dan diselesaikan yang
bukan hanya menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi juga membutuhkan peran
serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Penyelesaian permasalahan
tersebut harus selalu mengacu pada pemenuhan hak dan pemberian perlindungan
bagi anak.
1.2 Rumusan Masalah
1. Hal
Apa saja yang menjadi pemicu tindak pemerkosaan?
2. Bagaimana
sanksi atau hukuman bagi pelaku pemerkosaan menurut hukum?
3. Bagaimana
Dampak pemerkosaan dan cara mencegah tindak pemerkosaan?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu
untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum pidana dan untuk menambah wawasan serta
ilmu pengetahuan tentang tindak pemerkosaan,Serta
Bagaimana
upaya – upaya hukum dalam menyelesaikan tindak pidana pemerkosaan.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini
diharapkan dapat berguna bagi semua pihak yang ingin mengetahui apa itu
pemerkosaan dan bagaimana hukuman atau sanksi bagi pelaku pemerkosaan itu
sendiri.serta Dapat memberikan informasi mengenai penanganan kasus tindak pidana
perkosaan dan kiat-kiat untuk mencegah tindak pemerkosaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Perkosaan
Perkosaan(rape) berasal dari bahasa
latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas.Perkosaan adalah suatu
usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki
terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.
Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan. Di dalam Pasal 285 KUHP
disebutkan bahwa : "barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada
pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan".
Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan
terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi
maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam
kategori pencabulan.
2.2 Jenis Perkosaan
1)
Perkosaan karena Dorongan Agresif
Yaitu
perkosaan yang dilakukan dengan tujuan untukmemenuhi hasrat seksual, pelaku
hanya semata-mata mencari kepuasan baik untuk memenuhi hasrat seksualnya atau
dilatar belakangi faktor-faktor lain misalnya balas dendam, sakit hati, atau
bahkan bisa jadi karena penyakit.
2)
Perkosaan Karena Dorongan Seksual Yaitu perkosaan yang hampir sama dengan
perkosaan
dorongan
agresif, hanya dalam perkosaan ini dilakukanhanya semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya saja atau semata-mata untuk memenuhi kebutuhan seksnya.
3)
Perkosaan Impulsif
Yaitu
jenis perkosaan yang dilakukan seseorang karena adanya faktor spontan, hal ini
dapat terjadi karena adanya obyek yang sangat menarik untuk diperkosa, misalnya
adanya perampok yang semula hanya ingin merampok saja tetapi begitu sampai di
dalam rumah perampok itu melihat yang punya rumah adalah seorang wanita seksi
sementara di dalam rumah itu tidak ada orang lain selain wanita itu sehingga
terjadilah perkosaan
2.3 Pemicu
Tindak Pemerkosaan
Vonis yang ringan terhadap kasus
perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya. Pemerintah
terkesan mengabaikan hak anak karena hingga kini belum mengalokasikan anggaran
untuk perlindungan anak dan akan membuat masyarakat tidak percaya terhadap
hukum. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak
kejahatan pemerkosaan, antara lain adalah faktor ekonomi, agama, mass media,
tingkat pendidikan dan faktor lingkungan sosial, baik dalam masyarakat maupun
dalam keluarga. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan oleh warga masyarakat
maupun aparat penegak hukum untuk mengatasi tindak kejahatan pemerkosaan antara
lain melalui penanaman nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan, dan
penerapan sanksi hukum yang berat serta peningkatan rutinitas dan intensitas
razia terhadap media cetak dan elektronik yang memuat unsur-unsur pornografi
dan tidak mudah percaya terhadap pihak-pihak yang belum dikenal apalagi
menawarkan pekerjaan yang belum jelas dengan gaji yang besar. serta agar
kiranya warga masyarakat dan aparat penegak hukum secara bersama-sama dapat
saling bekerjasama secara sinergis dengan memanfaatkan berbagai lembaga yang
ada di masyarakat baik yang bersifat formal maupun non formal, sehingga dapat
mencegah terjadinya tindak kejahatan khususnya tindak kejahatan pemerkosaan.
Ada banyak faktor yang menjadi
penghambat dalam menanggulangi tindak kekerasan seksual terhadap perempuan
tersebut, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal antara lain karena
korban merasa malu untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, penegak hukum dan
materi hukum yang dirasakan kurang berpihak dan tidak memberikan rasa keadilan
bagi perempuan korban kekerasan, disamping itu ditunjang pula oleh budaya hukum
masyarakat yang sering menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan
tersebut dan tidak memadainya sarana dan prasarana yang ada dan pengaturan
kembali mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan dalam ketentuan
perundang-undangan dan memberdayakan lembaga pendampingan korban kekerasan.
2.3.1 Analisis
kasus terkait penyebab pemerkosaan
Beginilah cerita singkatnya Pada hari Jumat tanggal 11 Maret
2005, tak lama sesudah korban keluar rumah untuk mengambil daun pisang, pelaku
membekap mulut korban dan menyeret korban sampai ke kebun. Pelaku lalu
melepaskan baju korban yang mencoba melarikan diri namun terjatuh dan langsung
ditangkap pelaku. Korban berusaha menyelamatkan diri dengan menebas pelaku
tersebut memakai pisau yang dia pakai memotong daun pisang. Tebasan pertama
mengenai buah zakar dan tebasan berikut mengenai punggung kiri pelaku.Polresta
Bengkulu Utara menyatakan, korban adalah juga tersangka kasus aniaya. Karena
itulah korban harus mendekam dalam penjara walaupun "penganiayaan"
tersebut sama sekali tak direncanakan dan merupakan pembelaan diri semata.
Beginilah sistem di negeri kita. Dalam kasus-kasus pemerkosaan ataupun
pelecehan seksual, bila perempuan tidak cukup membela diri, masyarakat akan
mencurigai si perempuan dengan sukarela menghendaki hubungan seksual tersebut.
Bila sang perempuan membela diri, seperti dilakukan perempuan belia dari
Bengkulu itu, dakwaanlah yang harus dihadapi.
Penyudutan perempuan seperti inilah yang sering mendorong
pemerkosaan terjadi. Lebih-lebih lagi, perempuanlah yang sering dituding
sebagai pembangkit birahi, seakan sumber masalah adalah ekspresi sensualitas
perempuan. Memang, menurut persepsi masyarakat kita, pelecehan seksual dan
pemerkosaan adalah persoalan seks. Karena itulah ekspresi seksualitas yang
sering dipermasalahkan, seperti ciuman bibir di depan umum, menjadi urusan
negara.
Pelecehan seksual dan pemerkosaan lebih merupakan masalah
kekerasan dan dominasi daripada masalah seks semata. Pemerkosaan biasanya tidak
dilakukan hanya untuk memuaskan birahi. Pemicu pemerkosaan hampir selalu
disertai keinginan pelaku untuk memperlihatkan dominasi. Bila birahi seksual
tidak disertai keinginan ini, aktivitas seksual tidak akan menjadikan mitra
sebagai korban, tetapi sebagai pihak yang menyetujui adanya hubungan tersebut.
Hubungan menjadi sejajar (bagaimanapun birahinya kedua belah pihak). Yang
menjadi masalah adalah ketika birahi tidak disertai dengan rasa hormat sehingga
tidak mengindahkan apakah si pasangan menghendaki hubungan tersebut atau
tidak.Karena itulah pemerkosaan dan pelecehan seksual banyak terjadi pada
tempat di mana derajat antara lelaki dan perempuan begitu berbeda, di mana
suara perempuan jarang didengar.
Pelecehan, pemerkosaan, penjualan perempuan, dan kekerasan
terhadap perempuan banyak didapati di negara yang belum memerhatikan hak
perempuan. Sebaliknya, di negara yang lebih terbuka akan seksualitas dan birahi
namun derajat perempuan lebih dihargai, pelecehan terhadap perempuan sering
kali jauh lebih rendah. Di Jepang, misalnya, pada awal tahun 1970-an, saat tata
krama pergaulan antarjenis kelamin amat dibatasi sehingga senda gurau antara
lelaki dan perempuan yang bukan keluarga atau suami-istri dianggap tabu,
tercatat adanya 5.464 pelaku pemerkosaan. Namun, pada tahun 1995, ketika
pergaulan antarlawan jenis dan ekspresi seksualitas lebih terbuka, hanya ada
1.160 pelaku yang dilaporkan.
Kurangnya penghargaan terhadap perempuanlah yang sering
menjerumuskan perempuan sebagai alat pemuas lelaki dan menjadikan seks bukan
lagi hubungan setara yang dinikmati dan disetujui perempuan, tetapi sebagai
alat kontrol. Ideologi negeri kita tampaknya masih mendukung situasi seperti
ini. Lelakilah yang dianggap sebagai kepala keluarga.Lelakilah yang memulai
hubungan asmara karena perempuan yang menunjukkan rasa tertarik kepada pria
biasanya dicap murahan. Lelakilah yang biasanya mengambil inisiatif dan
mempunyai kekuasaan materi. Hal ini memanjakan lelaki dengan kontrol berlimpah
dan menyebabkan adanya keinginan lelaki untuk semakin mendominasi hubungan
seksual: Penolakan perempuan sama dengan penghinaan yang harus dibalas dengan
kekerasan.
Mitos-mitos lain pun bermunculan: "tidak" dari
seorang perempuan berarti "ya"; perempuan lebih menikmati hubungan
seksual bila dipaksa; aktivitas seksual perempuan disebut sebagai
pelayanan.Begitu meresapnya ideologi yang mendukung pemerkosaan dalam budaya
kita sampai-sampai pencegahan pelecehan seksual dan pemerkosaan yang disarankan
pemerintah justru secara tidak langsung makin memicu merajalelanya pemerkosaan.
Pada harian Kompas tanggal 20 Desember 2004 disebutkan
bagaimana Presiden kita amat risi pada penayangan pusar perempuan. Dalam kesempatan
itu, Menko Kesra Alwi Shihab menyampaikan pesan dari Presiden bahwa tayangan
seperti ini selayaknya dihindari dari seluruh stasiun televisi.Beberapa pihak
yang ingin meresmikan adanya undang-undang pornografi pun bersorak akan
pernyataan ini. Tetapi, tidak disadari oleh pemerintah kita bahwa pernyataan
seperti ini yang justru dapat mempertahankan budaya pelecehan terhadap
perempuan. Dengan menyalahkan pusar perempuan sebagai sumber pelecehan seksual
terhadap perempuan, pelaku pelecehan seksual dan perkosaan akan mendapat angin.
Persepsi bahwa korban pemerkosaan adalah perempuan penggoda akan berlanjut.
Menjadikan tubuh perempuan sebagai sumber tuduhan adalah
faktor yang dapat mendorong eksploitasi perempuan. Hal ini sering tidak ada
kaitannya dengan ekspresi seksualitas perempuan yang terbuka, seperti
menunjukkan pusar tersebut. Bagaimanapun tertutupnya cara berpakaian perempuan
tidaklah memengaruhi berkurangnya pelecehan seksual ataupun pemerkosaan.
2.4
Sanksi atau Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan
Perkosaan harus ditanggulangi, salah
satu carananya dengan hukum pidana. Tumpuan pada hukum akan menghadapi
problematika ketidak-mampuan hukum dalam bekerjanya untuk menangani tindak
pidana perkosaan. Rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP dinilai
diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukannilai yang berlaku di
masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita. Di mata hukum pidana
Indonesia khususnya kasus perkosaan keberadaan wanita diperkecil maknanya menjadi
vagina saja, diatur hanya bila vaginanya terganggu.
Pengertian
perkosaan dirumuskan dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
diluar
perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut perkosaan disini digolongkan sebagai
tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki (Male Crime) terhadap
wanita yang bukan istrinya (Exstra Marital Crime) dan persetubuhannya
pun harus bersifat intravaginal coitus. Jadi tindak pidana perkosaan harus
memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut
:
1)
Unsur Pelaku
a)
Harus orang laki-laki
b)
Mampu melakukan persetubuhan
2)
Unsur Korban :
a)
Harus orang wanita
b)
Bukan isteri dari pelaku
3)
Unsur Perbuatan :
a)
Persetubuhan
dengan paksa (Against her will)
b)
Pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik atau
ancaman
kekerasan.26
Dari
pengertian perkosaan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan perkosaan adalah suatu interaksi yaitu hubungan kelamin (penetrasi) yang
dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan
kekerasan atau ancaman, dimana perbuatan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan
sebagai suatu tindak pidana dan kepadanya dapat dijatuhi hukuman.
2.5
Pasal-Pasal KUHP Yang Menyangkut Perbuatan Cabul Atau Pemerkosaan yaitu
1. Pasal 285 KUHP
"Barangsiapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang Wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan , diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun"
2. Pasal 286 KUHP
"Barangsiapa bersetubuh dengan wanita
diluar perkawinan padahal diketahuinya wanita itu dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya ,diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun"
3. Pasal 287 KUHP
(1)"Barangsiapa bersetubuh dengan wanita
diluar perkawinan , padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belastahun atau kalau umurnya tidak jelas , belum
waktunya dikawin , diancam pidana paling lama sembilan tahun"
4.Pasal 288 KUHP
(1) "Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya dikawin , apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
5.Pasal 294 KUHP
(1) " Barangsiapa melakukan perbuatan
cabul dengan anaknya yang belum dewasa , anak tiri atau anak pungutnya , anak
peliharaannya atau dengan seorang yang belum dewasa yang dipercayakan kepadanya
untuk ditanggung , dididik atau dijaga atau dengan bujang bawahannya yang belum
dewasa ,dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) dengan hukuman serupa dihukum :
(a) pegawai negri yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang yang
dibawah perintahnya atau dengan
orang yang dipercayakan kepadanya untuk dijaga
(b) pengurus , tabib , guru , pegawai , mandor
(opzichter) atau bujang dalam penjara , rumah tempat melakukan pekerjaan untuk
negri (landwerkinricting) , rumah
pendidikan , rumah piatu , rumah sakit ingatan
, atau balai derma , yang melakukan pencabulan terhadap orang yang
ditempatkan disitu.
6.Pasal 297 KUHP
"Memperniagakan perempuan dan
memperniagakan laki-laki yang belum dewasa dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun"
Perumusan pasal perkosaan menunjukkan standar nilai/moral yang dipakai masyarakat dalam memperlakukan perempuan khususnya isteri. Seorang isteri dalam hubungan seksual tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya. Sehubungan dengan itu, bukan saja Pasal 285 KUHP perlu diganti, akan tetapi juga nilai-nilai sosial budaya dan mitos-mitos yang mengisyaratkan adanya dominasi pria terhadap wanita atau sesamanya perlu diganti. Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum pidana, Permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma hukum (KUHP), yang sudah barang tentu dilatar-belakangi budaya barat yang lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal, khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk keadilan jender. Penegakan hukum tidak lain berarti menegakkan norma-norma hukum sekaligus nilai-nilai di belakang norma tersebut.
Jadi, selama ini yang ditegakkan
adalah nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum
pidana hanya mempersoalkan 3 hal yaitu perbuatan yang dilarang,
pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi pidana, sehingga korban tidak
menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus perkosaan, kedudukan korban dalam
proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justru dirugikan
dan seolah-olah tidak dimanusiakan hanya penting untuk memberikan keterangan
tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan
visum et repertum. Perlindungan korban lebih banyak bersifat perlindungan
abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya, dengan adanya berbagai
perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini berarti
pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstrakto secara tidak langsung
terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Hal ini tentu
tidak memuaskan karena tidak dapat menjadikan pedoman perlindungan korban.
Hukum positif menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai,
seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, KUHAP (Pasal 98-101 BAB XIII). Padahal,
kerugian yang diderita korban sangat berat. Perempuan korban perkosaan
menanggung beban mental yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi
pemerkosanya. Korban akan mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan
dari masyarakatnya. Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban
psikologis dan berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik
(physiological disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan,
merasa terbuang, cacat tubuh, serta kematian.
Di samping itu, cemoohan dari
masyarakat, perasaan tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah
lagi tekanan-tekanan yang timbul dari proses peradilan baik sebelun sidang,
selama sidang, maupun setelah sidang semakin menderitakan korban. pengaturan
tindak pidana pemerkosaan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia antara
lain disebutkan dalam Pasal 285 KUHP, Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Pasal 489
Konsep KUHP Tahun 2004-2005.
Hukum
positif yang berlaku Indonesia saat ini belum mampu memberikan perlindungan
kepada korban kejahatan secara maksimal, khususnya dalam hal kerugian
immaterial yang diderita korban tindak pidana perkosaan. Adapun kendala yang
muncul dalam pelaksanaan pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana
perkosaan antara lain adalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai ganti kerugian immaterial yang diderita korban tindak pidana
perkosaan. Kendala lainnya adalah sistem penegakan hukum, dimana mulai dari
kepolisian sampai ke persidangan di pengadilan, korban hanya dianggap sebagai
saksi, dalam hal ini adalah saksi korban.
2.6
Dampak Pemerkosaan
Korban perkosaan dapat mengalami
akibat yang sangat serius secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis).
Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain kerusakan organ tubuh
seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal, korban sangat mungkin
terkena penyakit menular seksual, kehamilan tidak dikehendaki. Sementara itu,
korban berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah membuat shock bagi
korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.
Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum
peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak psikologis jangka pendek maupun
jangka panjang. Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan
dukungan dari berbagai pihak.
Dukungan ini diperlukan untuk
membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang
telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani.
Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara,
pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan korban.
Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu menjalani
kehidupannya seperti sedia biasanya.
2.7
Beberapa Cara Mencegah Tindak Pemerkosaan
1.
Bertingkah laku wajar
2.
Bersikap tegas, tunjukkan sikap dan tingkah laku percaya diri
3.
Pandai-pandai membaca situasi. Berjalanlah cepat tapi tenang
4.
Hindari berjalan sendiri di tempat gelap dan sepi
5.
Berpakaian sewajarnya yang memudahkan Anda untuk lari/mengadakan
perlawanan. Jangan memakai terlalu banyak perhiasan
6.
Sediakanlah selalu “senjata” seperti: korek api, deodorant spray
(semprot), payung, dsb., dalam tas Anda
7. Apabila
bepergian ke suatu tempat, harus sudah mengetahui alamat lengkap, denah dan
jalur kendaraan. Jangan kelihatan bingung, carilah informasi pada
tempat-tempat yang resmi.
8. Jangan
mudah menumpang kendaraan orang lain
9.
Berhati-hatilah jika diberi minuman oleh seseorang
10.
Jangan mudah percaya pada orang yang mengajak Anda bepergian ke suatu tempat
yang tidak kenal
11.
Bacalah tulisan-tulisan tentang perkosaan. Dengan demikian Anda bisa
mempelajari tanda-tanda pelaku dan modus operandinya
12.
Pastikan jendela, pintu kamar, rumah, mobil Anda sudah terkunci bila Anda di
dalamnya
13.
Belajar bela diri untuk pertahankan diri Anda sewaktu diserang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerkosaan
bukan hanya sebagai penyakit masyarakat tetapi juga merusak masa depan serta
pemaksaan kehendak terhadap korban dan mengoyak hak asasi manusia. Perkosaan
tidak hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai problem sosial
yang terkait dengan masalah hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan
perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat
manusia terhadap wanita. Jadi terhadap pelaku kasus perkosaan harus dihukum
seberat-beratnya tanpa terkecuali. Lemahnya hukum terhadap para pelaku
pemerkosaan menyebabkan jumlah kasus kejahatan ini terus meningkat serta
hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku tidak membuat jera.
Sebagain besar korban tindak pidana khususnya tindak
pidana pemerkosaan merasa tidak percaya lagi terhadap Aparat penegak hukum. Hal
ini terlihat dari hasil penelitian sebagai besar korban engan melapor kepada
Polisi, timbul rasa apatis terhadap yang iaalami. Korban merasa apabila
bersentuhan dengan aparat penegakhukum/lapor polisi, merasa tidak menyelesaikan
masalah justru menambah masalah, karena mereka merasa segala sesuatunya harus
ia tanggung sendiri (termasuk biaya-biaya yang harus ia keluarkan), sedangkan
hasil yang ia dapatkan tidak sepadan dengan yang ia perjuangkan, misalnya vonis
hakim yang tidak memuaskan bagi korban dan keluarganya, kemudian tidak ada jaminan
keamanan dari kepolisian apabila pelaku sudah keluardari tahanan.
Adanya rasa trauma yang berkepanjangan dari korban
tindak pidana khususnya tindak pidana pemerkosaan. Ia beranggapanbahwa yang ia
alami adalah sebuag aib dalam
hidup sehingga berusaha sesegera mungkin untuk menghapus dan menghilangkan aib
tersebut. Jika ia harus melaporkan kepada Aparat penegak hukum, ia beranggapan
bahwa ia kembali membuka aib itu secara berulang-ulang, sehingga justru tidak
memberi rasa nyaman dan amam dalam hidupnya.Mengingat tindak pidana pemerkosaan
dalam kenyataannya lebih banyak melibatkan kepentingan individu korban, dalam
hal ini kerugian yangditimbulkan lebih menekankan pada rasa psiko-sosial, yaitu
kerugian yang ditimbulkan oleh perasaan psikis/jiwa seseorang terhadap keadaan
sosial disekitarnya, misalnya rasa trauma yang panjang akibat rasa
malu/kejiawaan apabila kembali pada masyarakat sekitarnya, atau rasabersalah/
berdosa yang berlebihan akibat kejadian tersebut sehinggamerasa tidak berguna
dan terbuang dari masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Http//www.goggle/mitrainti.org/?q=node/280
http//goggle/kompas,senin 16 Mei 2005/20
desember 2004
Moelyatno, SH,
Azsa-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, thn 1967
Soedarto, SH,
Hukum Pidana I, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, thn 1990
mantappph
ReplyDelete