HUKUM PIDANA PENGANIAYAAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
            Fenomena kekerasan semakin marak dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian individu dapat mengatasi pengalaman akan kekerasannya, namun sebagian besar mencari solusi kepada pihak lain atau mencari jalur hukum untuk memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak individu yang tidak melaporkan kejadian kekerasan yang mereka alami. Hal ini dapat terkait adanya perasaan malu untuk memperoleh bantuan, atau malu akan sanksi sosial dari masyarakat setempat.
Bentuk kekerasan yang banyak terjadi di masyarakat adalah kekerasan fisik, tetapi masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa penghinaan, cemooh dan kata-kata kasar merupakan bagian dari kekerasan verbal. Efek kekerasan fisik dan verbal akan menyakitkan bagi individu yang mengalaminya, dan dapat saja menimbulkan trauma. Trauma yang terjadi pada korban kekerasan akan berbeda, begitu pula dengan aspek penganganannya yang berbeda, hal ini terkait dengan aspek kepribadian dan kondisi psikologis seseorang.
Ragam kekerasan dapat terjadi di lingkungan rumah tangga, sekolah, perkantoran, dan masyarakat. Kekerasan di lingkungan rumah tangga sering terjadi pada orang tua terhadap anak, suami terhadap istri, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, dan lainnya. Kekerasan di lingkungan sekolah dapat terjadi antara guru dengan guru, kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya, atau kekerasan antar siswa. Sedangkan kekerasan di lingkungan kerja sering dialami oleh pimpinan perusahaan terhadap pegawai perempuan, kekerasan yang dilakukan oleh sesama pegawai dan tekanan pegawai lama terhadap pegawai baru, serta diskriminasi di dalam lingkungan kerja. Begitu pula dengan kekerasan di masyarakat kerap terjadi pada kelompok-kelompok masyarakat bawah, menengah maupun atas. Seperti kelompok elit politik dengan masyarakat bawah, kekerasan antar kelas sosial, maupun kelompok-kelompok antar agama.
Strategi penanganan pada setiap korban kekerasan akan berbeda berdasarkan tempat terjadinya kekerasan tersebut, misalkan strategi penanganan kekerasan dalam rumah tangga, akan berbeda dengan strategi penanganan terhadap kekerasan di sekolah atau di lingkungan kerja. Masyarakat juga perlu mengetahui adanya strategi penanganan secara psikologis untuk membantu korban kekerasan, yang dikenal sebagai psikoterapi. Pendekatan psikoterapi ini secara tidak langsung telah digunakan oleh para akademisi, praktisi dan masyarakat luas untuk membantu individu yang bermasalah dalam kehidupannya, termasuk terhadap korban kekerasan.
Pemberdayaan perempuan juga merupakan salah satu strategi penanganan khususnya bagi para perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Perempuan dianggap sebagai korban perilaku kekerasan yang terbesar, dan secara budaya, perempuan juga dianggap sebagai individu yang terpinggirkan atau subordinasi yang lebih membutuhkan dukungan emosional ketika mengalami kekerasan. Terdapat bermacam-macam bentuk pemberdayaan perempuan, tetapi salah satunya adalah menumbuhkan rasa percaya diri dengan melakukan pendekatan psikologis merlalui terapi kognitif, emosional, dan perilaku.
Oleh karena itu, strategi penanganan terhadap kekerasan perlu diketahui dan dipahami oleh segenap anggota masyarakat luas agar fenomena kekerasan tidak semakin berkembang; dan sebagian besar masyarakat yang telah mengalami kekerasan dapat menerapkan strategi penanganan tersebut untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Selain itu, masyarakat juga mampu mengantisipasi terjadinya tindak kekerasan di lingkungan rumah tangga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, dan masyarakat luas.
B.Rumusan Masalah
1. Latar belakant Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak ?
2. Pasal – pasal Tndak kekerasan atau penganiayaan ?
3. Bagaimana cara solusi dari tindak penganiayaan ?
B.Tujuan
Tujuan dari pembuatan analisis KUHP tentang tindak pidana penganiayaan atau kekerasan terhadap anak dan perempuan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum pidana,Dan untuk memperkaya wawasan tentang pasal – pasal tindak pidana.

C.Manfaat
            Semaga analisis KUHP tentang penganiayaan terhadap perempuan dan anak ini dapat pemperkaya literature bagi seseorang yang ingin pengetahui tentangpenjelasan pasal –pasal tindak pidana.





BAB II
PEMBAHASAN
A.Tindak Pidana Penganiayaan
Tindak kekerasan, atau violence, pada dasarnya merupakan suatu konsep yang makna dan isinya sangat tergantung pada masyarakat sendiri, seperti dikatakan oleh Michael Levi. Jerome Skolnick bahkan mengatakan bahwa tindak kekerasan merupakan "... an ambiguous term whose meaning is established through political process (sebuah istilah yang ambigu/mendua yang ditentukan melalui suatu proses politik)". Apapun, bila dilihat dari bentuknya, tindak kekerasan mempunyai dampak yang sangat traumatis bagi perempuan, baik dikaitkan maupun tidak dengan kodrat perempuan sendiri.
Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah segala bentuk kekerasan yang berdasar pada jender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan-perempuan, termasuk disini ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi ditempat umum atau di dalam kehidupan pribadi seseorang. Jadi, kekerasan yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk kekerasan dari segi fisik, melainkan dari segi non-fisik.
Pada umumnya, Perempuan memiliki rasa takut terhadap kejahatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan pria. Jika dikaitkan dengan isu tindak kekerasan terhadap perempuan, derita yang dialami perempuan - baik pada saat maupun setelah terjadinya kekerasan - pada kenyataannya jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki. Trauma yang lebih besar umumnya terjadi bila kekerasan ini dilakukan oleh orang- orang yang mempunyai hubungan khusus dengan dirinya, misalnya keluarga sendiri (ayah, paman, suami, pacar), orang-orang yang berkenaan dengan pekerjaannya (atasan atau teman kerja). Trauma yang pernah dialami perempuan akibat tindakan menyakitkan dan menakutkan akan terus membekas pada diri seseorang (Jersild, 1973). Orang yang terus menerus dalam keadaan tegang, bimbang, takut, lambat laun akan mengalami kelainan jiwa (psychoneurose) yang manisfestasinya dapat bermacam-macam, mulai dari yang ringan sampai yang berat (Lefrancois, 1984).
Menurut KUHP penganiayaan dibedakan atas 5 macam, yaitu:\
1. Penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP)
2. Penganiayaan biasa (pasal 351 KUHP)
3. Penganiayaan biasa yang direncanakan terlebih dahulu (pasal 353 KUHP)
4. Penganiayaan berat (pasal 354 KUHP)
5.Penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu (pasal 355 KUHP).
1.1 Tindak Pidana Penganiayaan  yang diatur dalam PASAL 351 KUHP 
Menurut KHUP Pasal 351 penganiayaan diganjar hukuman penjara dua tahun. Bila penganiayaan itu berakibat luka berat, dijatuhi hukuman penjara lima tahun bila berakibat kematian dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun,
Menurut Pasal 253 penganiayaan yang direncanakan diganjar hukuman empat tahun. Bila berakibat luka berat diganjar hukuman tujuh tahun, sedangkan bila berakibat kematian dihukum sembilan tahun. Pasal 355 menyatakan bahwa penganiayaan berat yang direncanakan diganjar hukuman 12 tahun sedangkan bila berakibat kematian diganjar hukuman 15 tahun.
Penganiayaan yang dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak – banyaknya Rp.4.500,-,. Jika Perbuatan itu menyebabkan luka berat , sitersalah dihukum penjara selama –lamanya lima tahun, Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya , dia dihukum penjara selama – lamanya tujuh Tahun.Dengan Penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pembahasan dari pasal tersebut diatas :
Delik ini adalah delik formil, karena yang diatur dalam pasal ini adalah perbuatan yang dilakukan, dalam hal ini adalah penganiayaan. Perbuatan dalam pasal ini ini termasuk dolus, yaitu perbuatan tersebut dilakukan dengan kesengajaan. Pasal ini juga dikualifisir yaitu dilengkapi dengan ketentuan tambahan berupa pemberatan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat (ayat 2), atau apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kematian (ayat 3).Adapun luka berat maupun kematian tersebut bukanlah hal yang disengaja, melainkan hanya diakibatkan dari penganiayaan tersebut
Undang undang tidak memberikan ketentuan apakah yang diartikan dengan “Penganiayaan” (Mishandeling) itu , menurut Yurisprodensi ,maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak ( Penderitaan ) rasa sakit atau luka .Menurut alinea 4 dari pasal ini masuk pula dalam pengertia penganiayaan yaitu sengaja merusak kesehatan orang .Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah ,suruh orang berdiri diterik matahari dsb. Rasa Sakit misalnya menyubit , mendupak , memukul , menempeleng dsb. Luka misalnya mengiris , memotong ,menusuk dengan pisau dsb. Merusak kesehatan misalnya oang sedang tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu masuk angin.
Semuanya ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang di izinkan , umpamanya seorang dokter gigi mencabut gigi dari pasiennya , sebenarnya ia sengaja menimbulkan rasa sakit , akan tetapi perbuatan itu bukan penganiayaan , karena ada maksud baik ( mengeobati ) contoh lain lagi : seorang bapak dengan tangan memukul anaknya diarah pantat, karena anak itu nakal ,inipun sebenarnya sengaja menyebabkan rasa sakit, akan tetapi perbuatan itu tidak masuk penganiayaan ,karena ada maksud baik ( mengajar anak ) .
Meskipun demikian maka dua peristiwa itu apabila dilakukan dengan melewati batas yang di izinkan misalnya Dokter gigi tadi mencabutnya dilakukan sambil bergurau senda atau seorang bapak mengajar anaknya dengan memukul memakai sepotong besi dan dikenakan di kepalanya maka perbuatan ini dianggap pula sebagaipenganiayaan.
Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan Biasa diancam hukum lebih berat apabila penganiayaan biasa ini berakibat luka berat atau mati tentang luka berat atau mati .
Luka berat atau mati disini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si pembuat. Apabila Luka berat itu dikenakan Pasal 354 KUHP ( Penganiayaan Berat ) yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain ,dihukum karena menganiaya berat   ,dengan        hukuman penjara selama – lamanya delapan tahun .
(2) Jika perbuatan ini menjadikan kematian oangnya sitersalah dihukum penjara selama – lamanya sepuluh tahun.
Ini dinamakan Penganiayaan Berat supaya dapat dikenakan pasal ini maka niat sipembuat harus ditujukan pada melukai beat artinya luka berat harus di maksud oleg sipembuat , apabila diada aksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja maka perbuatan ini masuk Penganiayaan Biasa yang berakibat luka berat  ( Pasal 351 Alinea 2 ).
Sedang jika mati itu dimaksud , perbuatan itu masuk “Pembunuhan” itu dikenakan pasal 338  KUHP, Lain lagi halnya dengan seorang sopir yang mengendarai mobilnya kurang hati – hati ,menabrak orang hingga mati ,perbuatan ini bukanlah suatu penganiayaan berakibat matinya orang ( Pasala 351 alinea 3 KUHP ) oleh karena sopir tidak ada maksud sama sekali untuk menganiaya pun tidak masuk pembunuhan ( Pasal 338 KUHP ) karena kematian orang itu tidak dikehendaki oleh sopir , peristiwa itu dikenakan Pasal 359 KUHP yang berbunyi karena salahnya menyebabkan matinya orang lain.
Delik ini termasuk delik dolus (kesengajaan), dan juga termasuk delik laporan sebagaimana pasal-pasal lain dalam bab ini. Dari rumusannya dapat disimpulkan bahwa delik pada pasal ini adalah delik formil, karena yang diatur adalah perbuatannya. Pasal ini mengkualifisir ketentuan-ketentuan pada pasal 351, 353, 354, dan 355.
B. Perbedaan Antara Pasal – Pasal
Perbedaan antara pasal 351 dengan pasal 353 adalah, pada pasal 351 tindakan penganiayaan itu tidak direncanakan, sedangkan pada rumusan pasal 353, penganiayaan tersebut dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Sedangkan perbedaan antara pasal 351 dengan 354 adalah pada 351, percobaan tidak dipidana sedangkan pada pasal 354 percobaan dapat dipidana.
Perbedaan antara pasal 351 dengan 352 adalah, pada pasal 351 yang dipidana adalah penganiayaan biasa, sedangkan pada pasal 352 yang dipidanakan adalah penganiayaan ringan. Perbedaan berikutnya adalah perbuatan-perbuatan dalam pasal 351 dapat diperberat sepertiga apabila memenuhi unsur dari pasal 356.
Perbedaan antara pasal 351 ayat 2 dengan pasal 354 adalah, pada pasal 351 ayat 2 luka berat tersebut terjadi sebagai akibat dari penganiayaan itu, bukan karena niat pelaku sedangkan pada pasal 354, luka berat tersebut merupakan tujuan dari pelaku.
Perbedaan antara pasal 351 ayat 3 dengan 354 adalah, pada 351 penganiayaan tersebut merupakann penganiayaan biasa yang berakibat pada kematian, sedangkan pada pasal 354 adalah penganiayaan berat yang berakibat pada kematian.
Perbedaan antara pasal 353 dengan 355 adalah, walaupun keduanya sama-sama dilakukan dengann rencana terlebih dahulu, pada pasal 353 penganiayaannya adalah penganiayaan biasa. Walaupun mengakibatkan luka berat sebagaimana dinyatakan pada pasal 353 ayat 2, luka tersebut merupakan akibat dari penganiayaan yang tidak disengaja, sedangkan pada pasal 355, luka berat tersebut merupakan kesengajaan yang memang dimaksudkan oleh pelaku.
C. Contoh Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak kekerasan yang telah diatur lebih banyak merupakan tindak kekerasan secara fisik. Rumusan mengenai tindak kekerasan ini sebagian besar bersifat umum dilihat dari segi korban, yakni :
1.      pornografi (Pasal 282 dan seterusnya)
2.      perbuatan cabul (Pasal 290 dan seterusnya)
3.      penganiayaan (Pasal 351 dan seterusnya)
4.      pembunuhan (Pasal 338 dan seterusnya)
5.      penculikan (Pasal 328 dan seterusnya)
Ketentuan pidana yang secara khusus menyebut perempuan sebagai korban hanyalah yang berkenaan dengan :
1.      perkosaan (Pasal 282)
2.      pengguguran kandungan tanpa seizin perempuan yang bersangkutan (Pasal 347)
3.      perdagangan perempuan (Pasal 297)
4.      melarikan perempuan (Pasal 332)
            Di samping kejahatan-kejahatan di atas, sejumlah tindak kekerasan fisik lainnya ternyata tidak diberi sanksi pidana, dan akibatnya adalah walaupun terjadi viktimisasi terhadap perempuan, tidak dapat dilakukan tindakan hukum apapun terhadap pelakunya, misalnya:
1.      Hubungan seksual/persetubuhan antara saudara (incest)
2.      Perkosaan dalam perkawinan (marital rape)
3.      Pelecehan seksual (sexual harrashment)
Tindak kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga  belum mendapat tempat di dalam sistem hukum pidana Indonesia. Adanya anggapan bahwa masalah tindak kekerasan terhadap perempuan - terutama yang berkenaan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah keluarga yang sebaiknya diselesaikan dalam keluarga. Padahal kalau dibiarkan tindakan ini berlanjut, akan timbul korban lebih banyak seperti yang dialami oleh Mei Mei.
Tindak kekerasan non-fisik yang dapat terjadi pada perempuan, yang ada sanksi pidananya misalnya penghinaan di muka umum (Pasal 310 dan seterusnya). Namun kenyataannya, Pasal ini sangat jarang dipergunakan untuk membawa suatu kasus ke dalam proses peradilan pidana, disebabkan pada struktur dan budaya masyarakat yang ada, termasuk pandangan perempuan sendiri tentang kedudukan mereka dalam masyarakat.
Bentuk – bentuk tindak kekerasan terhadap anak :
  1.  Fisik (dianiaya di luar batas : dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik,
dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dsb).
  1. Psikis (dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dsb).
  2. Seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba- raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang dan pelecehan seksual lainnya).
  3.  Ekonomi (dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dsb).
Dampak dari tindak kekerasa terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan- permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
1.1. Upaya Pencegahan Tindak Kekerasan Pada Perempuan
Sebagai suatu bentuk kejahatan, tindakan kekerasan agaknya tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini, sebagaimana pula tindak-tindak kejahatan lainnya. Namun, bukan berarti tindakan kekerasan ini tidak dapat dikurangi.Pemecahan yang menyeluruh untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan seharusnya berfokus pada masyarakat sendiri, yakni dengan mengubah persepsi mereka tentang tindak kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini, harus diubah pandangan masyarakat yang selalu menganggap bahwa perempuan hanyalah warga negara kelas dua (second class citizen).
Ketidakpedulian masyarakat terhadap masalah tindak kekerasan terhadap perempuan pun harus diubah. Dalam hal ini, struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan dan tindak kekerasan terhadap perempuan, serta nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis dan karenanya sulit mengakui akan adanya masalah dalam rumah tangga, merupakan tiga hal pokok penyebab yang mendasari ketidakpedulian tersebut.Untuk itu, dibutuhkan suatu pendidikan publik/penyuluhan untuk membuat masyarakat menyadari akan hak-hak dan kedudukan perempuan dalam masyarakat, dan yang secara khusus menjelaskan tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk tentang hak-hak mereka, dan juga tentang tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan.
KUHP sebagai salah satu sumber hukum pidana yang mempunyai kaitan langsung dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, dapat dijadikan instrumen dalam penanggulangan secara yuridis. Namun, kelemahan yang dimiliki oleh KUHP peninggalan kolonial sudah seharusnya dibenahi dengan membuat KUHP nasional. Sebab seperti diketahui, masih banyak perilaku tindak kekerasan terhadap perempuan yang belum tercantum di dalam KUHP.
Pemberlakuan prosedur yang baku dalam hal penanganan kasus-kasus yang berkenaan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan oleh aparat penegak hukum itu diperlukan. Sebab, seringkali penanganan terhadap kasus tindak kekerasan terhadap perempuan itu berbeda-beda tergantung kemampuan individu yang dimiliki oleh personil penegak hukum. Prosedur itu harus berorientasi pada korban dan melakukan upaya awal untuk membantu korban dalam mengatasi trauma yang dialaminya akibat tindak kekerasan yang menimpanya.Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu isu yang tidak bisa dianggap sebagai isu terbelakang. Karena disadari atau tidak, perilaku ini telah menjadi isu global. Berdasarkan pembahasan tentang tindak kekerasan terhadap perempuan maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa ;
1.      Batasan tindak kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk kekerasan yang berdasar pada jender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada perempuan-perempuan, termasuk disini ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi ditempat umum atau di dalam kehidupan pribadi seseorang.
2.      Sebagai suatu bentuk kejahatan, tindakan kekerasan agaknya tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini, sebagaimana pula tindak-tindak kejahatan lainnya. Namun, bukan berarti tindakan kekerasan ini tidak dapat dikurangi. Untuk mencapai hal ini, selain upaya yuridis yang diusulkan, semuanya kembali berpulang pada warga masyarakat sendiri. Tanpa adanya partisipasi publik, maka tidak akan pernah ada perubahan. Untuk dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat ini maka peran pembuat kebijakan akan sangat menentukan, baik mereka yang berasal dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Selain itu, upaya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat serta perempuan sendiri perlu untuk menangani masalah-masalah yang terjadi dalam komunitas mereka sendiri.
3. Hukum di Indonesia sebenarnya telah memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan. Namun, masih banyak kelemahan yang mengikutinya. Mulai dari masih banyak perilaku tindak kekerasan terhadap perempuan yang belum tercantum di dalam Perundang-undangan, sampai dengan ketiadaan prosedur baku dalam penanganan korban tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan.
1.2. Upaya Pencegahan Kekerasab Terhadap Anak
Mengingat sedemikian kompleks kekerasan pada anak ini maka usaha pencegahan kekerasan pada anak tidak hanya tergantung pada program dan layanan yang telah disediakan oleh pemerintah melainkan juga sangat tergantung pada bagaimana masyarakat memaknai isu kekerasan ini.
Beberapa indikator bahwa pemerintah atau Negara menempatkan anak sebagai prioritas utama di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kemarahan warga termotivasi dan mereka akan bertindak saat mendengar ada anak yang mengalami kekerasan.
b. Perumahan yang memadai tersedia bagi seluruh keluarga, layanan kesehatan dapat terjangkau seluruh keluarga.
c. Sistim layanan sosial dapat dijangkau keluarga saat
mereka membutuhkan bantuan sebelum kekerasan pada anak terjadi.
d.  Materi umum mengenai bimbangan dan perawatan anak serta materi komunikasi
interpersonal, penyelesaian konflik tanpa kekerasan, dijumpai dalam kurikulum sekolah mulai taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan dan diteruskan untuk pendidikan bagi orang dewasa.
e. Program pendidikan dan latihan kerja tersedia bagi pekerja dalam rangka memperoleh pekerjaan dan upah yang memadai.
f. Kebijakan tempat kerja yang mendukung keluarga seperti perjanjian kerja yang memungkinkan karyawan memilih waktu kerjanya sendiri.
g. Setiap orang tua memiliki akses untuk menolong dirinya dan kelompok pendukung ,
h. Model-model kampanye anti kekerasan jelas terlihat,
i.Sistem hukum, pidana atau perdata, memiliki dana, staf
terlatih yang cukup untuk menyelesaikan kasus kekerasaan dengan tepat dan adil,
j. Program pendidikian bagi orang tua berbasis budaya dan etnis tersedia bagi seluruh orang tua yang baru punya anak.
Ketika masyarakat sadar akan keberadaan kekerasan pada anak ini sebagai salah satu masalah mereka yang meresahkan, maka dengan sendirinya masyarakat sangat berkeingingan untuk membantu seluruh upaya layanan, program ataupun kebijakan terkait dengan pencegahan kekerasan pada anak. Upaya pencegahan kekerasan pada anak dapat dilaksanakan dari dua sisi, masyarakat dan pemerintah. Pemerintah sangat diharapkan memiliki komitmen dasar nasional yang sungguh-sungguh untuk anak. Sebagai langkah awal dimulai dengan inisiatif pemimpin atau tokoh nasional untuk ambil bagian untuk mendukung upaya pencegahan sebagai salah satu usaha penting memerangi kekerasan pada anak.Tokoh atau pemimpin berkaliber nasional berinisiatif mendukung upaya ini, dengan kemampuannya bisa mempengaruhi kebijakan baik pada sektor privat atau publik. Aksi berikut yang perlu diambil adalah memasukan langkah Pencegahan kekerasan pada anak secara komprehensif ke dalam sistim peradilan. Sistim hukum yang ada, baik peradilan anak, pidana, dan perdata, seluruh peraturan dan prosedurnya harus sedemikan rupa sehingga sensitif dengan kebutuhan anak dan keluarga. Tentu dalam hal ini harus ditunjang pula dengan jumlah tenaga hakim, pengacara, staf pengadilan terlatih yang memadai. Bagi masyarakat, keluarga, atau orang tua diperlukan kebijakan, layanan, sumberdaya, dan pelatihan pencegahan kekerasan pada anak yang konsisten dan terus menerus.



B. Saran
1. Membuat Undang-Undang atau ketentuan-ketentuan dan atau memajukan kebijakan yang aktif dan nyata yang mendorong masuknya perspektif jender ke dalam semua kebijakan dan program-program yang berhubungan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, serta menyusun strategi-strategi untuk menjamin bahwa perempuan-perempuan korban kekerasan tidak mengalami perlakuan kekerasan ganda karena Undang-Undang atas praktek-praktek peradilan atau pemberlakuan Undang-Undang yang tidak peka jender.
2. Segera diterbitkan Undang-undang Anti Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga dan Undang-Undang/Peraturan-peraturan tentang perlindungan terhadap hak-hak Pembantu Rumah Tangga serta pembuatan prosedur baku dalam mengani kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yang berorientasi pada korban dan melakukan upaya awal untuk membantu korban dalam mengatasi trauma yang dialaminya akibat tindak kekerasan yang menimpanya.










DAFTAR PUSTAKA
Abdulah,Mustafa, dan Ruben Achmad,1983, Intisari Hukum Pidana, Penerbit Gracia Indonesia,
            Jakarta.
Abidin, A , Zaenal, 1982Hukum Pidana,Penerbit Prapantja dan Taufiek, Jakarta-Makasar.
Analisis Situasi Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. PKPM-Depsos, UNICEF.
Jakarta. -Info Jalanan, edisi khusus, September 1997 -Kanwil Depsos Jateng. (1999).
Forum Anti Kekerasan terhadap Perempuan Kalimantan Timur, “Tuntutan di Hari Anti
Kekerasan  terhadap Perempuan Sedunia”. 25 November 1998.
Hamzah, Andi,1991, Asas –Asas Hukum Pidana,Penerbit Renika Cipta,Jakarta.

Comments

Popular posts from this blog

contoh sosiometri(non tes )

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

makalah perkawinan adat