HUKUM PIDANA CARDING
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi ini, teknologi informasi menjadi suatu
kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan hidup manusia. Salah
satu yang sangat berpengaruh dari perkembangan teknologi tersebut adalah di
bidang telekomunikasi. Dengan media komunikasi seseorang dapat berkomunikasi ataupun
berhubungan dengan yang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung.
Informasi dari belahan bumi yang lainpun dapat dengan mudah kita dapatkan.
Salah satu yang paling popular saat ini adalah internet. Internet dapat dikatakan
sebagai dunia baru yang berupa dunia maya atau virtual yang sering disebut
sebagai cyberspace. Sebagian besar pengguna internet beranggapan bahwa tidak
ada lagi hukum yang mengatur di dunia cyberspace tersebut, karena tidak ada
kedaulatan dalam jaringan komputer. Tidak ada hukum suatu negara yang berlaku
karena hukum network tumbuh dari kalangan masyarakat penggunanya. Selain
memiliki dampak positif dibidang informasi, internet juga memiliki dampak negatif. Banyak kejahatan yang terjadi
melalui internet, misalnya hacking, cracking, carding dan
lain sebagainya. Secara umum istilah yang digunakan untuk menyebut kejahatan di
dunia internet adalah cybercrime. Cybercrime dasarnya adalah
penyalahgunaan komputer dengan cara hacking komputer ataupun dengan
cara-cara lainnya, merupakan kejahatan yang perlu ditangani dengan serius, dan
dalam mengantisipasi hal ini perlu rencana dan persiapan yang baik sebelumnya.
Kejahatan ini potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang antara lain
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan yang
siginifikan. Bahkan di masa akan datang dapat mengganggu perekonomian nasional
melalui jaringan infra struktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan,
telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan
dan sebagainya). Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah kejahatan
teknologi elektronik dalam perbankan khususnya di Indonesia. Salah satunya
adalah credit card fraudyang popular dengan sebutan carding. Carding adalah
aktifitas pembelian barang di Internet menggunakan kartu kredit bajakan. Kartu
kredit tersebut diperoleh dengan cara meminta dari carder lain
dengan
menggunakan kemampuan programming yang dimiliki oleh carder.[1] Makalah ini
akan membahas tentang tindak pidana dan hukum carding di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas pada makalah ini antara lain adalah
sebagai
berikut :
1. Pengertian carding
2. Masalah carding
di Indonesia
3. Kajian hukum carding di
Indonesia
4. Pencegahan tindak kejahatan carding
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Carding
Kata carding sesungguhnya tidak ada dalam tata bahasa Inggris.
Istilah sesungguhnya yang di kenal adalah credit card fraud. Namun
dikalangan para pelaku internet istilah ini lebih dikenal dengan kata carding.
Istilah carding itu sendiri sesungguhnya memiliki beberapa arti, yaitu:
- Perbuatan untuk mendapatkan nomor kartu kredit seseorang beserta
informasi didalamnya dengan berbagai
cara tanpa pemberian hak secara langsung ataupun diketahui oleh pemilik kartu kredit
tersebut.
- Perbuatan menggunakan nomor kartu kredit yang bukan miliknya
yang didapatkan dari usaha meminta nomor kartu tersebut dari carder ataupun berusaha
mendapatkan nomor tersebut tanpadiketahui oleh sang pemilik kartu kredit dan
mendapatkan hak yang sesungguhnya dari pemilikkartu kredit. Dalam mendapatkan
nomor kartu kredit, seorang carder memiliki beberapa cara.
Berikut
ini beberapa modus operandi yang dilakukan oleh Carder.
1. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari seoarang target ,
khususnya orang asing.
2. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan chatting di
Internet.
3. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar negeri dengan menggunakan
Jasa Internet.
4. Mengambil dan memanipulasi data di Internet
5. Memberikan keterangan palsu,
baik pada waktu pemesanan maupun pada saat pengambilan barang diJasa Pengiriman
(kantor pos, UPS, Fedex, DHL, TNT,dlsb.) Kejahatan carding banyak
jenisnya yaitu antara lain : misuse (compromise) of card data,
Counterfeiting, Wire Tapping dan Phishing.Misuse (compromise) of card
data berupa penyalahgunaan kartu kredit di mana kartu tidak di presentasikan.
Dalam Counterfeiting, kartu palsu sudah diubah sedemikian rupa sehingga menyerupai
kartu asli. Perkembangan Counterfeiting saat ini telah menggunakan software
tertentu yang tersedia secara umum di situs-situs tertentu
(Creditmaster,Credit Probe) untuk menghasilkan nomor-nomor kartu kredit serta
dengan menggunakan mesin/terminal yang dicuri dan telepon genggam untuk
mengecek ke-absahan nomor-nomor tersebut.Disamping itu, Counterfeiting juga
menggunakan skimming device yang berukuran kecil untuk mengkloning
datadata yang tertera di magnetic stripe kartu kredit asli dan
menggunakan peralatanperalatan untuk meng-intercept jaringan telekomunikasi
serta menggunakan terminal implants.
Kejahatan carding lainnya dilakukan dengan sistem Wire
Tapping yaitu penyadapan transaksi
kartu kredit melalui jaringan komunikasi. Hal ini bisa dilakukan dengan
menggunakan software yang berfungsi sebagai traffic logger untuk mengawasi
paket data yang dikirimkan melalui internet. Selain itu, Kejahatan carding juga
seringkali dilakukan dengan sistem Phishing yaitu dengan penyadapan
melalui situs website aspal (asli-tapi palsu) agar personal data nasabah dapat
di curi.
Permasalahan Carding
yang terjadi di Indonesia
Berdasarkan catatan beberapa lembaga riset dan survey, di dapatkan
bahwa Indonesia menempati Negara dengan urutan kedua pelaku carding terbanyak
di dunia. Bahkan informasi terbaru yang diperoleh disitus www.kompas.com mengatakan bahwa Indonesia telah menjadi Negara peringkat pertama
dengan kejahatan carding yang terjadi. Kejahatan-kejahatan di dunia internet
khususnya carding membutuhkan sebuah kajian hukum khusus yang mengatur mengenai
tentang kajahatan di Internet.
Carding Perspektif hukum positif
Sejalan dengan perkembangan zaman, kemajuan internet dan teknologi
informasi menjadikan Negara-negara diseluruh dunia seolah tanpa batas
(borderless). Semuanya terhubung dalam satu kesatuan sistem. Akibatnya, Untuk
mengakses suatu alamat dinegara lain, kita tinggal mengetikkan alamat url
(uniform resource locator) yang dituju. Kemudian masukkan user account dan
password, kita akan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh situs
tersebut. Kemajuan ini ibaratnya pedang bermata dua, karena selain memberikan
kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia,
sekaligus menjadi sarana efektif untuk melakukan perbuatan kriminal. Dalam
menanggapi fenomena tersebut, dalam dunia hukum kemudian lahirlah apa yang
dikenal dengan istilah hukum Siber. Hukum siber merupakan padanan kata dari Cyber
Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang
terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga
digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Technology)
hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan hukum Mayantara.
Dari istilah-istilah yang digunakan diatas, hukum cyber sangat
identik dengan dunia maya, yaitu sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Hal ini
akan menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum terkait dengan pembuktian
dan penegakan hukum atas kejahatan dunia maya. Selain itu obyek hukum siber
adalah data elektronik yang sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan
dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Oleh karena itu,
kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dan maya dapat dikategorikan
sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang
siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan
ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan
perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan
hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Karena kegiatan ini berdampak sangat nyata
meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya
harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum
secara nyata.
Hal lain yang menyulitkan dalam mengatasi kejahatan siber adalah
sifatnya yang transnasional. Artinya kejahatan siber dilakukan antar Negara.
Misalnya seorang hacker di Jerman yang menyusupi system milik Amerika serikat
dls. Oleh karena itu, untuk kasus-kasus siber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan
pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas
wilayah. Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber
tersebut, dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan
cara-cara konvensional. Dalam hal ini Asas Universality selayaknya
memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kejahatan siber.
Pada mulanya asas ini menentukanbahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan
menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup
pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya
penyiksaan, genosida, pembajakan udara, dan lain-lain. Oleh karena itu di masa
mendatang asas universality ini sangat mungkin dikembangkan untuk cyber cryme
semisal internet piracy, cracking, carding, hacking and viruses. Namun
perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk
kejahatan yang sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum
internasional. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka ada beberapa teori yang
bisa digunakan dalam hukum cyber, antara lain : Pertama, The Theory
of the Uploader and the Downloader Berdasarkan teori ini, suatu
negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading
yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu
negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian
atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang
dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut.
Minnesota adalah salah satu Negara bagian pertama yang menggunakan teori ini.
Kedua, teori The Law of the Server.Teori ini memperlakukan server
di mana webpages secara fisik berlokasi. Menurut teori ini sebuah webpages
yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum
California.
Ketiga The Theory of
International Spaces. Ruang siber dianggap
sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak
pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional. Sedangkan
instrumen hukum Internasional yang saat ini paling mendapat perhatian
berkaitan dengan kejahatan siber adalah Konvensi tentang Kejahatan siber
(Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi
ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi
dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh Negara
manapun didunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Siber.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada
tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan
menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European
Treaty Series dengan Nomor 185.
Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh
minimal 5 (lima) negara , atau paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3
(tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup
area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy)
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik
melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Konvensi ini telah
disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diaksesi
oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan
instrument Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan siber, tanpa
mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap mengembangkan kreativitasnya
dalam mengembangkan teknologi informasi. Untuk Indonesia, regulasi hukum siber
menjadi bagian penting dalam system hukum positif secara keseluruhan.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera menuntaskan Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk dijadikan sebagai
undang-undang, mengingat aktivitas penggunaan dan pelanggarannya telah demikian
tinggi. Regulasi ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat demi
terciptanya kepastian hukum.
UU ITE sendiri secara materi muatan telah dapat menjawab persoalan
kepastian hukum menyangkut tindak pidana carding, hacking maupun
cracking disertai dengan sanksi pidana atas tindakan-tindakan tersebut Dan
dalam kasus carding ini juga dapat dikenakan beberapa pasal-pasal yang terdapat
pada kuhp seperti:
1)Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dengan unsure-unsur adalah :
a.
Pelaku/orang yang melakukan
perbuatan
b.
Mengambil dengan maksud
untuk dimiliki.
c.
Sesuatu barang/benda.
d.
Seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain.
e.
Melawan hak (bertentangan
dengan hukum).Ancaman hukuman maksimum 5
f.
tahun penjara.
2) Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dangan unsur-unsurnya adalah :
a.
Pelaku/orang yang melakukan
perbuatan
b.
Membujuk dengan nama palsu,
keadaan palsu,rangkaian kata bohong, dan tipu
c.
muslihat.
d.
Memberikan sesuatu barang,
yang membuat untung untuk menghapus piutang.
e.
Menguntungkan diri sendiri
atau orang lain.
f.
Melawan hak (bertentangan
dengan hukum).Ancaman hukuman maksimum 4
g.
tahun penjara.
3) Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan dengan unsure-unsurnya adalah
:
a.
Pelaku/orang yang melakukan
perbuatan
b.
Menerbitkan hak, perjanjian,
membebaskan hutang,atau keterangan bagi suatu
c.
perbuatan.
d.
Seolah-olah surat tersebut
asli dan tidak dipalsukan.
e.
Mendatangkan
kerugian.Ancaman hukuman maksimum 6 tahun penjara.
4) Pasal 406 KUHP tentang Pengrusakan
a.
Pelaku/orang yang melakukan
perbuatan
b.
Merusak, membinasakan,
membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi.
c.
Menghilangkan sesuatu
barang.
d.
Sebagian kepunyaan orang
lain.Ancaman hukuman maksimum 5 tahun penjara.
e.
Selain hal yang disebutkan
diatas, pada UU ITE walaupun tidak disebutkan secara langsung, tindakan carding
juga telah dibahas pada Pasal 30 dan 31 sebagai berikut:
Pasal 30
1.
Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.
2.
Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.
3.
Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan.
Pasal 31
1.
Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau
Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
2.
Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan
di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain,
baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
3.
Kecuali intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan
dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang‐undang.
4.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dari pasal yang disebutkan pada ayat 31 dan 32 diatas terhadap
penyadapan dan intersepsi yang banyak dilakukan oleh para carder, setidaknya
memberikan batasan dan aturan diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas
dalam dunia internet. Walaupun dalam pasal tersebut masih terdapat kelemahan
dalam perumusanya, namun setidaknya ini sudah memberikan nafas baru dalam keamanan
informasi di negeri ini. Dapat dilihat diatas bahwa untuk aturan hukum untuk
masalah carding ini sudah cukup jelas dan cukup untuk menjatuhkan hukuman pada
seorang carder.tetapi masalah tidak selesai sampai disini.karena pada saat
pemeriksaaan dan pencarian alat bukti pihak yang berwenang yang dalam hal ini
adalah polri mengalami banyak kendala-kendala dalam membuktikan hak tersebut. UU
ITE merupakan satu upaya penting dalam setidaknya dua hal pertama : pengakuan
transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hokum perikatan dan
hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
Kedua: Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk
kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi
pidananya termasuk untuk tindakan carding, hacking dan cracking.mnPemerintah
perlu pula untuk memulai penyusunan regulasi terkait dengan tindak
pidana siber (Cyber Crime), mengingat masih ada
tindak-tindak pidana yang tidak tercakup dalam UU ITE tetapi dicakup dalam
instrumen Hukum Internasional di bidang tindak pidana siber, misalnya
menyangkut tindak pidana pornografi, deufamation, atau perjudian maya.
Kendala-kendala yang
dialami oleh penyidik
a)perangkat hukum yang memadai
keadaan dimana hukum yang ada di Indonesia selalu tertingggal
dengan teknologi sehinga tidak dapat mengikuti perkembangan social budaya
seperti yang dikatakan oleh Panji R. Hadinoto (2000), hukum sebagai produk
perkembangan social budaya (termasuk teknologi) disadari mau tidak mau selalu
tertinggal oleh technology driven yang dominan.
b) Kemampuan penyidik
kejahatan yang menggunakan hi-tech , jangkauannya sangat
luas serta pelaku rata-rata mempunyai intelektualitas yang tinggi dan mempunyai
komunitas tersendiri, sehinga untuk pembuktiannya memerlukan penyidik yang
mmengerti bidang tersebut sementara dari tim penyidik dari polri sangat minim.
Banyak factor yang mempengaruhi hal tersebut namun dari beberapa faktor
tersebut ada
yang sangat berpengaruh (determinan). Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi
adalah sebagaiberikut:
a.
Kurangnya pengetahuan
tentang komputer dan sebagian besar dari mereka belum pernah mengggunakan
komputer
b.
Pengetahuan dan pengalaman
para penyidik dalam menangani kasus-kasus cyber crime masih terbatas. Mereka
belum mampu memahami teknik hacking, modus modus operandi para hacker.
c.
Faktor sistem pembuktian
yang menyulitkan para penyidik karena Jaksa (PU) masih meminta keterangan saksi
dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) formal sehingga diperlukan
pemanggilan saksi/korban yang berada di luar negeri untuk dibuatkan berita
acaranya di Indonesia, belum bisa menerima pernyataan korban atau saksi dalam
bentuk faksimili atau email sebagai alat bukti.
d.
c) Fasilitas komputer forensic
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan
precker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan
program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum
ada computer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data
digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image,
program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic
computing yang memadai. Kendala-kendala yang dihadapi oleh tim penyidik
tersebut cukup membuat para carder menjadi sulit untuk dibawa ke pengadilan
sehingga perlu diadakannya perbaikan atau penyempurnaan untuk mengantisipasi
kendala-kendala yang dihadapi oleh tim penyidik tersebut.
Upaya untuk mengatasi
kendala dari tim penyidik
1)penyempurnaan perangkat hukum
Upaya tersebut secaragaris besarnya adalah: menciptakan
undang-undang yang bersifat lex specialist, menyempurnakan undang-undang
pendukungnya dan melakukan sintesa serta analogi
Yang lebih luas terhadap KUHP.Dalam hal ini Polri bekerja sama
dengan para ahli hukum dan organisasi terkait dalam merumuskannya.
2) Mendidik para penyidik
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang
sudah cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan
untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta
dasardasar pengetahuan di bidang komputer dan mengetahui macam-macam teknik
yang dilakukan oleh hacker/carder tersebut.
3) Membangun fasilitas forensic computing
Fasilitas forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan
akan dapat
melayani tiga hal penting, yaitu:
a.
evidence collection
b.
forensic analysis
c.
expert witness
4) Meningkatkan upaya penyidikan dan kerja sama internasional
Karena perbuatan kejahatan ini bersifat borderless sehingga
diperlukan kerja sama dengan Negara lain untuk masalah pembuktian maupun aturan
hukum yang akan berlaku. Terhadap kasus-kasus penggunaan nomor-nomor kartu
kredit secara tidak sah yang terjadi dan sedang dalam proses penyidikan Polri,
tersangka dapat divonis sebagaimana kejahatan yang dilakukannya. Untuk itu,yang
telah dilakukan adalah sebagai berikut:
a.
Mengadakan penelitian ulang
terhadap TKP, para saksi dan berkas-berkas perkara cyber crime yang sedang
ditangani oleh para penyidik Polri.
b.
Sworn written affidafit/BAP Sumpah untuk saksi dan korban yang berada di luar negeri
dilakukan dengan bantuan US Secret Service dan disosialisasikan kepada PU dan
pengadilan untuk menjadi alat bukti yang sah dalam proses pengadilan.
c.
Melakukan koordinasi dengan
jaksa pengiriman internasional dalam hal pengungkapan perkara.
d.
Melibatkan saksi ahli dari
AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia).
KESIMPULAN
Kata carding sesungguhnya tidak ada dalam tata bahasa Inggris.
Istilah sesungguhnya yang di kenal adalah credit card fraud Carding
merupakan suatu tindakan pelanggaran hukum karena melakukan pnggunaan credit
card milik ornag lain tanpa izin sehingga tindakan tersebut merugikan bagi
orang lain. Carding merupakan suatu tindak pencurian sehingga dapat digugat
dengan pasal
pasal :
• Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan dengan unsur-unsurnya
• Pasal 362 KUHP tentang Pencurian
• carding juga telah dibahas pada Pasal 30 dan 31 pada UU ITE
DAFTAR PUSTAKA
1.
aristhu03.files.wordpress.com/2006/10/carding-perspektif-hukum-positif-danhukum-
islam.pdf diunduh pada 20 Mei 2009 20:00
2.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0409/06/Jabar/1251354.htm,
diunduh pada 20 Mei 2009
20:00
3.
http://conventions.coe.int/Treaty/EN/Treaties/Html/185.htm, diunduh pada 20
Mei 2009 20:00
4.
Neotek, Volume 3 No 2. November 2002.
5.
Sitompul, Asril.2004.”Hukum
Internet, Pengenalan Mengenai masalah Hukum
di Cyberspace”.
Bandung:PT.Citra Aditya Bhakti.
6. Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Comments
Post a Comment
komen sangat di harapkan boss.