HUKUM PIDANA CARDING



BAB 1

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Di era globalisasi ini, teknologi informasi menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan hidup manusia. Salah satu yang sangat berpengaruh dari perkembangan teknologi tersebut adalah di bidang telekomunikasi. Dengan media komunikasi seseorang dapat berkomunikasi ataupun berhubungan dengan yang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung. Informasi dari belahan bumi yang lainpun dapat dengan mudah kita dapatkan. Salah satu yang paling popular saat ini adalah internet. Internet dapat dikatakan sebagai dunia baru yang berupa dunia maya atau virtual yang sering disebut sebagai cyberspace. Sebagian besar pengguna internet beranggapan bahwa tidak ada lagi hukum yang mengatur di dunia cyberspace tersebut, karena tidak ada kedaulatan dalam jaringan komputer. Tidak ada hukum suatu negara yang berlaku karena hukum network tumbuh dari kalangan masyarakat penggunanya. Selain memiliki dampak positif dibidang informasi, internet juga memiliki  dampak negatif. Banyak kejahatan yang terjadi melalui internet, misalnya hacking, cracking, carding dan lain sebagainya. Secara umum istilah yang digunakan untuk menyebut kejahatan di dunia internet adalah cybercrime. Cybercrime dasarnya adalah penyalahgunaan komputer dengan cara hacking komputer ataupun dengan cara-cara lainnya, merupakan kejahatan yang perlu ditangani dengan serius, dan dalam mengantisipasi hal ini perlu rencana dan persiapan yang baik sebelumnya. Kejahatan ini potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang antara lain bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan yang siginifikan. Bahkan di masa akan datang dapat mengganggu perekonomian nasional melalui jaringan infra struktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan dan sebagainya). Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah kejahatan teknologi elektronik dalam perbankan khususnya di Indonesia. Salah satunya adalah credit card fraudyang popular dengan sebutan carding. Carding adalah aktifitas pembelian barang di Internet menggunakan kartu kredit bajakan. Kartu kredit tersebut diperoleh dengan cara meminta dari carder lain
dengan menggunakan kemampuan programming yang dimiliki oleh carder.[1] Makalah ini akan membahas tentang tindak pidana dan hukum carding di Indonesia.


B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas pada makalah ini antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Pengertian carding
2. Masalah carding di Indonesia
3. Kajian hukum carding di Indonesia
4. Pencegahan tindak kejahatan carding




























BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Carding

Kata carding sesungguhnya tidak ada dalam tata bahasa Inggris. Istilah sesungguhnya yang di kenal adalah credit card fraud. Namun dikalangan para pelaku internet istilah ini lebih dikenal dengan kata carding. Istilah carding itu sendiri sesungguhnya memiliki beberapa arti, yaitu:
- Perbuatan untuk mendapatkan nomor kartu kredit seseorang beserta informasi didalamnya   dengan berbagai cara tanpa pemberian hak secara langsung ataupun diketahui oleh pemilik kartu kredit tersebut.
- Perbuatan menggunakan nomor kartu kredit yang bukan miliknya yang didapatkan dari usaha meminta nomor kartu tersebut dari carder ataupun berusaha mendapatkan nomor tersebut tanpadiketahui oleh sang pemilik kartu kredit dan mendapatkan hak yang sesungguhnya dari pemilikkartu kredit. Dalam mendapatkan nomor kartu kredit, seorang carder memiliki beberapa cara.
Berikut ini beberapa modus operandi yang dilakukan oleh Carder.
1. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari seoarang target , khususnya orang asing.
2. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan chatting di Internet.
3. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar negeri dengan menggunakan Jasa Internet.
4. Mengambil dan memanipulasi data di Internet
5. Memberikan keterangan palsu, baik pada waktu pemesanan maupun pada saat pengambilan barang diJasa Pengiriman (kantor pos, UPS, Fedex, DHL, TNT,dlsb.) Kejahatan carding banyak jenisnya yaitu antara lain : misuse (compromise) of card data, Counterfeiting, Wire Tapping dan Phishing.Misuse (compromise) of card data berupa penyalahgunaan kartu kredit di mana kartu tidak di presentasikan. Dalam Counterfeiting, kartu palsu sudah diubah sedemikian rupa sehingga menyerupai kartu asli. Perkembangan Counterfeiting saat ini telah menggunakan software tertentu yang tersedia secara umum di situs-situs tertentu (Creditmaster,Credit Probe) untuk menghasilkan nomor-nomor kartu kredit serta dengan menggunakan mesin/terminal yang dicuri dan telepon genggam untuk mengecek ke-absahan nomor-nomor tersebut.Disamping itu, Counterfeiting juga menggunakan skimming device yang berukuran kecil untuk mengkloning datadata yang tertera di magnetic stripe kartu kredit asli dan menggunakan peralatanperalatan untuk meng-intercept jaringan telekomunikasi serta menggunakan terminal implants.
Kejahatan carding lainnya dilakukan dengan sistem Wire Tapping yaitu  penyadapan transaksi kartu kredit melalui jaringan komunikasi. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan software yang berfungsi sebagai traffic logger untuk mengawasi paket data yang dikirimkan melalui internet. Selain itu, Kejahatan carding juga seringkali dilakukan dengan sistem Phishing yaitu dengan penyadapan melalui situs website aspal (asli-tapi palsu) agar personal data nasabah dapat di curi.

*      Permasalahan Carding yang terjadi di Indonesia
Berdasarkan catatan beberapa lembaga riset dan survey, di dapatkan bahwa Indonesia menempati Negara dengan urutan kedua pelaku carding terbanyak di dunia. Bahkan informasi terbaru yang diperoleh disitus www.kompas.com mengatakan bahwa Indonesia telah menjadi Negara peringkat pertama dengan kejahatan carding yang terjadi. Kejahatan-kejahatan di dunia internet khususnya carding membutuhkan sebuah kajian hukum khusus yang mengatur mengenai tentang kajahatan di Internet.

*      Carding Perspektif hukum positif
Sejalan dengan perkembangan zaman, kemajuan internet dan teknologi informasi menjadikan Negara-negara diseluruh dunia seolah tanpa batas (borderless). Semuanya terhubung dalam satu kesatuan sistem. Akibatnya, Untuk mengakses suatu alamat dinegara lain, kita tinggal mengetikkan alamat url (uniform resource locator) yang dituju. Kemudian masukkan user account dan password, kita akan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh situs tersebut. Kemajuan ini ibaratnya pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif untuk melakukan perbuatan kriminal. Dalam menanggapi fenomena tersebut, dalam dunia hukum kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan istilah hukum Siber. Hukum siber merupakan padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Technology) hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan hukum Mayantara.
Dari istilah-istilah yang digunakan diatas, hukum cyber sangat identik dengan dunia maya, yaitu sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum terkait dengan pembuktian dan penegakan hukum atas kejahatan dunia maya. Selain itu obyek hukum siber adalah data elektronik yang sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Oleh karena itu, kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dan maya dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Karena kegiatan ini berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Hal lain yang menyulitkan dalam mengatasi kejahatan siber adalah sifatnya yang transnasional. Artinya kejahatan siber dilakukan antar Negara. Misalnya seorang hacker di Jerman yang menyusupi system milik Amerika serikat dls. Oleh karena itu, untuk kasus-kasus siber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber tersebut, dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara konvensional. Dalam hal ini Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kejahatan siber. Pada mulanya asas ini menentukanbahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara, dan lain-lain. Oleh karena itu di masa mendatang asas universality ini sangat mungkin dikembangkan untuk cyber cryme semisal internet piracy, cracking, carding, hacking and viruses. Namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan yang sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka ada beberapa teori yang bisa digunakan dalam hukum cyber, antara lain : Pertama, The Theory of the Uploader and the Downloader Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu Negara bagian pertama yang menggunakan teori ini.
Kedua, teori The Law of the Server.Teori ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California.
Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang siber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional. Sedangkan instrumen hukum Internasional yang saat ini paling mendapat perhatian berkaitan dengan kejahatan siber adalah Konvensi tentang Kejahatan siber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh Negara manapun didunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Siber. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185.
Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara , atau paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diaksesi oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrument Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan siber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan teknologi informasi. Untuk Indonesia, regulasi hukum siber menjadi bagian penting dalam system hukum positif secara keseluruhan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera menuntaskan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk dijadikan sebagai undang-undang, mengingat aktivitas penggunaan dan pelanggarannya telah demikian tinggi. Regulasi ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat demi terciptanya kepastian hukum.
UU ITE sendiri secara materi muatan telah dapat menjawab persoalan kepastian hukum menyangkut tindak pidana carding, hacking maupun cracking disertai dengan sanksi pidana atas tindakan-tindakan tersebut Dan dalam kasus carding ini juga dapat dikenakan beberapa pasal-pasal yang terdapat pada kuhp seperti:
1)Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dengan unsure-unsur adalah :
a.       Pelaku/orang yang melakukan perbuatan
b.      Mengambil dengan maksud untuk dimiliki.
c.       Sesuatu barang/benda.
d.      Seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.
e.       Melawan hak (bertentangan dengan hukum).Ancaman hukuman maksimum 5
f.       tahun penjara.
2) Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dangan unsur-unsurnya adalah :
a.       Pelaku/orang yang melakukan perbuatan
b.      Membujuk dengan nama palsu, keadaan palsu,rangkaian kata bohong, dan tipu
c.       muslihat.
d.      Memberikan sesuatu barang, yang membuat untung untuk menghapus piutang.
e.       Menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
f.       Melawan hak (bertentangan dengan hukum).Ancaman hukuman maksimum 4
g.      tahun penjara.
3) Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan dengan unsure-unsurnya adalah :
a.       Pelaku/orang yang melakukan perbuatan
b.      Menerbitkan hak, perjanjian, membebaskan hutang,atau keterangan bagi suatu
c.       perbuatan.
d.      Seolah-olah surat tersebut asli dan tidak dipalsukan.
e.       Mendatangkan kerugian.Ancaman hukuman maksimum 6 tahun penjara.
4) Pasal 406 KUHP tentang Pengrusakan
a.       Pelaku/orang yang melakukan perbuatan
b.      Merusak, membinasakan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi.
c.       Menghilangkan sesuatu barang.
d.      Sebagian kepunyaan orang lain.Ancaman hukuman maksimum 5 tahun penjara.
e.       Selain hal yang disebutkan diatas, pada UU ITE walaupun tidak disebutkan secara langsung, tindakan carding juga telah dibahas pada Pasal 30 dan 31 sebagai berikut:
Pasal 30
1.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 31
1.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
2.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
3.      Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undangundang.
4.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.





Dari pasal yang disebutkan pada ayat 31 dan 32 diatas terhadap penyadapan dan intersepsi yang banyak dilakukan oleh para carder, setidaknya memberikan batasan dan aturan diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas dalam dunia internet. Walaupun dalam pasal tersebut masih terdapat kelemahan dalam perumusanya, namun setidaknya ini sudah memberikan nafas baru dalam keamanan informasi di negeri ini. Dapat dilihat diatas bahwa untuk aturan hukum untuk masalah carding ini sudah cukup jelas dan cukup untuk menjatuhkan hukuman pada seorang carder.tetapi masalah tidak selesai sampai disini.karena pada saat pemeriksaaan dan pencarian alat bukti pihak yang berwenang yang dalam hal ini adalah polri mengalami banyak kendala-kendala dalam membuktikan hak tersebut. UU ITE merupakan satu upaya penting dalam setidaknya dua hal pertama : pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hokum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
Kedua: Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya termasuk untuk tindakan carding, hacking dan cracking.mnPemerintah perlu pula untuk memulai penyusunan regulasi terkait dengan tindak
pidana siber (Cyber Crime), mengingat masih ada tindak-tindak pidana yang tidak tercakup dalam UU ITE tetapi dicakup dalam instrumen Hukum Internasional di bidang tindak pidana siber, misalnya menyangkut tindak pidana pornografi, deufamation, atau perjudian maya.

*      Kendala-kendala yang dialami oleh penyidik
a)perangkat hukum yang memadai
keadaan dimana hukum yang ada di Indonesia selalu tertingggal dengan teknologi sehinga tidak dapat mengikuti perkembangan social budaya seperti yang dikatakan oleh Panji R. Hadinoto (2000), hukum sebagai produk perkembangan social budaya (termasuk teknologi) disadari mau tidak mau selalu tertinggal oleh technology driven yang dominan.
b) Kemampuan penyidik
kejahatan yang menggunakan hi-tech , jangkauannya sangat luas serta pelaku rata-rata mempunyai intelektualitas yang tinggi dan mempunyai komunitas tersendiri, sehinga untuk pembuktiannya memerlukan penyidik yang mmengerti bidang tersebut sementara dari tim penyidik dari polri sangat minim. Banyak factor yang mempengaruhi hal tersebut namun dari beberapa faktor tersebut ada
yang sangat berpengaruh (determinan). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah sebagaiberikut:
a.       Kurangnya pengetahuan tentang komputer dan sebagian besar dari mereka belum pernah mengggunakan komputer
b.      Pengetahuan dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cyber crime masih terbatas. Mereka belum mampu memahami teknik hacking, modus modus operandi para hacker.
c.       Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik karena Jaksa (PU) masih meminta keterangan saksi dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) formal sehingga diperlukan pemanggilan saksi/korban yang berada di luar negeri untuk dibuatkan berita acaranya di Indonesia, belum bisa menerima pernyataan korban atau saksi dalam bentuk faksimili atau email sebagai alat bukti.
d.       
c) Fasilitas komputer forensic
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan precker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada computer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai. Kendala-kendala yang dihadapi oleh tim penyidik tersebut cukup membuat para carder menjadi sulit untuk dibawa ke pengadilan sehingga perlu diadakannya perbaikan atau penyempurnaan untuk mengantisipasi kendala-kendala yang dihadapi oleh tim penyidik tersebut.

*      Upaya untuk mengatasi kendala dari tim penyidik
1)penyempurnaan perangkat hukum
Upaya tersebut secaragaris besarnya adalah: menciptakan undang-undang yang bersifat lex specialist, menyempurnakan undang-undang pendukungnya dan melakukan sintesa serta analogi
Yang lebih luas terhadap KUHP.Dalam hal ini Polri bekerja sama dengan para ahli hukum dan organisasi terkait dalam merumuskannya.


2) Mendidik para penyidik
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang sudah cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasardasar pengetahuan di bidang komputer dan mengetahui macam-macam teknik yang dilakukan oleh hacker/carder tersebut.
3) Membangun fasilitas forensic computing
Fasilitas forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat
melayani tiga hal penting, yaitu:
a.       evidence collection
b.      forensic analysis
c.       expert witness
4) Meningkatkan upaya penyidikan dan kerja sama internasional
Karena perbuatan kejahatan ini bersifat borderless sehingga diperlukan kerja sama dengan Negara lain untuk masalah pembuktian maupun aturan hukum yang akan berlaku. Terhadap kasus-kasus penggunaan nomor-nomor kartu kredit secara tidak sah yang terjadi dan sedang dalam proses penyidikan Polri, tersangka dapat divonis sebagaimana kejahatan yang dilakukannya. Untuk itu,yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Mengadakan penelitian ulang terhadap TKP, para saksi dan berkas-berkas perkara cyber crime yang sedang ditangani oleh para penyidik Polri.
b.      Sworn written affidafit/BAP Sumpah untuk saksi dan korban yang berada di luar negeri dilakukan dengan bantuan US Secret Service dan disosialisasikan kepada PU dan pengadilan untuk menjadi alat bukti yang sah dalam proses pengadilan.
c.       Melakukan koordinasi dengan jaksa pengiriman internasional dalam hal pengungkapan perkara.
d.      Melibatkan saksi ahli dari AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia).






KESIMPULAN
Kata carding sesungguhnya tidak ada dalam tata bahasa Inggris. Istilah sesungguhnya yang di kenal adalah credit card fraud Carding merupakan suatu tindakan pelanggaran hukum karena melakukan pnggunaan credit card milik ornag lain tanpa izin sehingga tindakan tersebut merugikan bagi orang lain. Carding merupakan suatu tindak pencurian sehingga dapat digugat dengan pasal
pasal :
• Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan dengan unsur-unsurnya
• Pasal 362 KUHP tentang Pencurian
• carding juga telah dibahas pada Pasal 30 dan 31 pada UU ITE





















DAFTAR PUSTAKA
1.      aristhu03.files.wordpress.com/2006/10/carding-perspektif-hukum-positif-danhukum-
islam.pdf diunduh pada 20 Mei 2009 20:00
2.      http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0409/06/Jabar/1251354.htm,
diunduh pada 20 Mei 2009 20:00
3.      http://conventions.coe.int/Treaty/EN/Treaties/Html/185.htm, diunduh pada 20
Mei 2009 20:00
4.       Neotek, Volume 3 No 2. November 2002.
5.      Sitompul, Asril.2004.”Hukum Internet, Pengenalan Mengenai masalah Hukum
di Cyberspace”. Bandung:PT.Citra Aditya Bhakti.
6.       Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Comments

Popular posts from this blog

contoh sosiometri(non tes )

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

makalah perkawinan adat