HUKUM PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
       Dewasa ini jika membicarakan hukum di indonesia adalah hal yang cukup rumit dengan permasalahan hukum yang ada. Yang juga keberadaan menuntut keadilan harus berjalan seirama dengan huku itu sendiri sehingga kita sebagai masyarkat tidak merasa rugi karena telah mentaati peraturan hukum juga mendapat keadilan.namun,berbagai kasus kejahatan yang ada di indonesia belum memberi keadilan yang cukup atau pantas bagi pelaku kejahatannya sehingga perlu ketegasan dalam menegakan keadilan khussnya pada tindak kejahatan yang merugikan banyak pihak.
       Tindak Pidana pencemaran nama baik atau penghinaan dalam keadaan lisan maupun tulisan merupakan suatu kejahatan yang termasuk merugikan orang yang dihina.karena menderita kerugian berupa hak asasinya yang dilecehkan.oleh karena itu perlu suatu pasal tindak pidana yang dapat memidanakan tersangka yang telah merugikan korban yang dirugikan.lalu,apa saja pasal tindak pidana yang dijatuhkan pada  sebuah kasus pencemaran nama baik pada tersangka?lalu apakah keberadaannya terbukti efektif dalam menghukum sebuah kejahatan seperti ini?
        
1.2 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah pasal tindak pidana yang diberikan pada kasus pencemaran nama baik?
2. Bagaimanakah keberadaannya berbagai pasal tindak pidana terbukti efektif dalam menghukum sebuah kejahatan pencemaran nama baik/penghinaan?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari Penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Mengetahui jalannya pasal tindak pidana pada kasus pencemaran nama baik
2. Berusaha mengetahui keefektifan berbagai keberadaan pasal tindak pidana pencemaran nama baik dalam memidanakan bentuk kejahatan seperti ini                                   
 1.5.Manfaat
1.Untuk menambah kasanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu pemerintahan.
2.Bahan masukan bagi pihak lain yang hendak mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai makalah ini.
3.Dapat menjadi pelajaran berbagai pihak khususnya pelajar dan mahasiswa untuk lebih memahami tugas maupun pekerjaannya.











2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Definisi Hukum Pidana

a. Edmund Mezger

Aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana.

Pada dasarnya hukum pidana berpokok pada :

Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Artinya perbuatan yang dilakukan orang yang memungkinkan adanya penjatuhan pidana.
- Perbuatan yang dapat dipidana
- Perbuatan jahat (Verbrechen/crime)

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Pidana dapat berupa sanksi pidana atau tindakan tata tertib.

b. Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menetukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.




3

Hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret. 

c. Simons

- Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.
- Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana
- Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana

d. Van Hamel

Keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut)

e. Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana  tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu  dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 

4

f. Wirjono Prodjodikoro

hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata  “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. 

g. WLG. LEMAIRE, 

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian ini nampaknya dalam arti hukum pidana materil). 

h. WFC. HATTUM
Hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. 

i. KANSIL
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 



5
j. ADAMI CHAZAWI, 
Dilihat dari garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
a.       Aturan-aturan hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan denagan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif) maupun pasif/negatif) tertentu yang diserti dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
b.      Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkanya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
c.       Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan di dakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.

Dalam arti bekerjanya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi

a. hukum pidana objektif (ius poenale) yang meliputi hukum pidana materiel (peraturan tentang syarat bilamanakah, siapakah, dan bagaimanakah sesuatu itu dapat dipidana), serta hukum pidana formil (hukum acara pidana: hukum yang mengatur tentang cara hukum pidana materiel dapat dilaksanakan).

b. hukum pidana subjektif (ius puniendi) yaitu hukum yang memberikan
kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan, dan
melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. (Bambang Poernomo)


6
Dalam redaksi yang lain Sudarto menjelaskan bahwa hukum pidana objektif (ius poenale) adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yag berupa pidana. 

Sedangkan hukum pidana subjektif (ius peniendi) adalah hak dari negara atau alat-alat perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu.

Menurut R. Soesilo, Penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu : 1. menista secara lisan (smaad); 2. menista dengan surat/tertulis (smaadschrift); 3. memfitnah (laster); 4. penghinaan ringan (eenvoudige belediging); 5. mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht); 6. tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking).














7
BAB III
PEMBAHASAN
PENGHINAAN atau pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander.
Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
1.      Pasal-Pasal Penghinaan
Pasal 134, 136, 137
>>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum
>>Pidana 6 tahun penjara
8
Pasal 142
>>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 143, 144
>>Penghinaan terhadap wakil negara asing
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 207, 208, 209
>>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
>>Pidana 6 bulan penjara
Pasal 310, 311, 315, 316
>>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan
>>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
Pasal 317
>>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
>>Pidana 4 tahun penjara
Pasal 320, 321
>>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
>>Pidana 4 bulan penjara

9
2.      Delik Aduan
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang sebenarnya. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
10
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Secara Yuridis
Dalam KUHP, secara garis besar substansi pencemaran nama baik terdapat dalam beberapa pasal. Contohnya yaitu Pertama, kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP. Kedua, kejahatan terhadap penguasa umum,Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP, serta kejahatan terhadap ketertiban umum yang termuat khususnya pada Pasal 154-Pasal 157 KUHP yang dikenal dengan pasal-pasal penyebar kebencian atau hatzaai artikelen.Objek pasa pasal tersebut adalah penguasa atau badan umum, pemerintah atau golongan penduduk Indonesia. Ketiga adalah belediging atau penghinaan yang diatur dalam Pasal 310-Pasal 321 KUHP.
Pasal-pasal tersebut berasal dari Code British yang diberlakukan oleh penjajah Inggris di India. Pasal-pasal itu kemudian diadopsi oleh Belanda dan diterapkan secara concordantie beginselen di daerah jajahannya, Indonesia. Di daerah asalnya sendiri, Belanda telah menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana,antara lain JM van Bemellen.
Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara. Namun berkaitan dengan belediging (penghinaan) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 310- Pasal 321 KUHP masih tetap dipertahankan. Belediging ini bisa bermacam- macam wujudnya.Ada yang menista, termasuk menista dengan tulisan. Ada yang memfitnah, melapor secara memfitnah dan menuduh secara memfitnah.


11
Hampir di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat yang selalu mengklaim dirinya sebagai negara yang demokratis, pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan tetap dipertahankan. Alasannya, hasil dari penghinaan dalam wujud pencemaran nama baik adalah character assassination dan hal ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
 Bagi Indonesia, pasalpasal penghinaan ini tetap dipertahankan dengan alasan selain hasil dari pencemaran nama baik adalah character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur.
Oleh sebab itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam undang-undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan,lebih dari itu,pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran tersebut terdapat fitnah.

Belum Jelas

Pencemaran nama baik sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis). Slander adalah oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan Libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel. Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
KUHP yang hingga kini masih berlaku merupakan duplikasi (terjemahan) Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda yang diberlakukan sejak 1 September 1886 itu pun merupakan kitab undang-undang yang cenderung meniru pandangan Code Penal-Prancis yang sangat banyak dipengaruhi sistem hukum Romawi. Secara sederhana, dapat dikatakan terdapat sebuah jembatan sejarah antara ketentuan tentang penghinaan yang diatur dalam KUHP Indonesia dengan perkembangan historis awal tentang libelli famosi di masa Romawi Kuno.

12
Pencemaran Nama Baik menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia meskipun hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, aturan hukum tersebut terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP.
Pasal 310 ayat (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-  banyaknya Rp 4.500,-. (3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Pasal 311 ayat (1) Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 315 menyebutkan Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.Pasal 317 ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

13
Pasal 318 ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. R. Soesilo menerangkan apa yang dimaksud dengan “menghina”, yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil.
Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita/dinista/dihina (delik aduan), kecuali bila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya secara sah.
Obyek dari penghinaan tersebut harus manusia perseorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, segolongan penduduk dan lain-lain. Bila obyeknya bukan perseorangan, maka dikenakan pasal-pasal khusus seperti : Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP (penghinaan pada Presiden atau Wakil Presiden) yang telah dihapuskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP (penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia).
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu”, dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya. Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa, yang sudah tentu merupakan perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang telah berselingkuh. Dalam hal ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan tersebut harus dilakukan dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara tertulis)”, dan dapat dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) diatas dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk “membela diri“. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim. Untuk kejahatan memfitnah menurut Pasal 311 KUHP,
14
tidak perlu dilakukan dimuka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Jika penghinaan itu berupa suatu pengaduan yang berisi fitnah yang ditujukan kepada Pembesar/pejabat yang berwajib, maka dapat dikenakan pidana Pasal 317 KUHP.

Berikut contoh kasus mengenai pencemaran nama baik atau penghinaan melalui media elektronik.
Artis Bondan Prakoso yang sangat berbakat di duni musik di laporkan oleh Eeng Yuan Santoso seorang fotografer ke kantor Polisi Denpasar. Artis Bondan Prakoso ini di tuding melakukan penghinaan melalui akun jejaring sosial Twitter. Dalam laporannya, Eeng merasa dihina atas status akun Twitter Bondan yang terdapat kalimat yang kasar/penghinaan.

Isi perkataan di akun status twitter artis Bondan Prakoso tersebut seperti berikut: "Seharusnya Fotografer tau etika juga, kalo orang nolak seharusnya berhenti, a*****g, Bukannya ngebuat secure tapi malah ikut membujuk foto bareng dan Bondan F28 lo dibayar sama tuh orang? F**k Y**...".

Dalam zaman yang serba modern seperti saat ini, pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut juga menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless). Teknologi Informasi saat ini dapat menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum. (Vide: Penjelasan Umum UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi  Elektronik)

Penggunaan situs jejaring sosial seperti halnya Facebook, Twitter, Friendster dan sebagainya memang sudah tidak asing dalam masyarakat. Seperti 2 sisi mata uang, penggunaan situs jejaring sosial selain mempunyai efek yang positif, seperti untuk menjalin relasi atau persahabatan, juga mempunyai efek yang negatif yaitu sebagai sarana melakukan perbuatan melawan hukum.
15
Perbuatan melawan hukum disini sifatnya luas, namun khususkan hanya pada tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik saja.
Pada awalnya tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik hanya diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP saja), yaitu dalam pasal 310 Jo 311 KUHP. Kedua pasal tersebut mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan pencemaran nama baik kepada seseorang di depan umum baik secara lisan dan tertulis. Sanksi dalam kedua pasal tersebut beragam tergantung dari apakah dilakukan secara lisan atau tertulis, misalnya dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, diatur sanksi pidana paling lama 9 bulan penjara jika dilakukan tidak secara tertulis, sebaliknya dalam ayat (2) diatur mengenai pemberatan sanksi pidana paling lama 1 tahun 4 bulan jika dilakukan secara tertulis. Kedua pasal KUHP tersebut masih berlaku sampai dengan saat ini.
Satu hal yang perlu diketahui bahwa ancaman pidana dalam kedua pasal di KUHP tersebut memiliki pengecualian sebagai alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgrond) untuk menghindari jerat pidana, yaitu jika dilakukan untuk kepentingan umum dan karena untuk membela diri maka sanksi pidana atas tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut  dapat menjadi hapus/ tidak ada. Namun pembuktian mengenai ada atau tidaknya alasan penghapus pidana tersebut tetap harus melalui pengadilan.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi yang jauh mendahului perkembangan hukum, maka pemerintah telah mengeluarkan UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi  Elektronik (UU ITE). Dalam pasal 27 jo pasal 45  UU ITE tersebut juga diatur tentang tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik yang berbunyi sebagai berikut: ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”  dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Bagi sebagian orang, keberadaan pasal 27 ayat (3) UU ITE ini dianggap sebagai momok yang menakutkan, karena pasal 27 ayat (3) bersifat strict, tegas dan sama sekali tidak mempunyai alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgrond) sebagaimana yang dimiliki oleh Pasal 310 dan 311 KUHP tersebut diatas.
16
Disisi lain, walaupun konteks dari penggunaan situs jejaring sosial tersebut dapat dikatakan bukan sekedar untuk melakukan suatu tindakan yang sifatnya formal atau serius, melainkan hanya untuk kesenangan atau hiburan belaka, namun dapat dipastikan bahwa apabila seseorang melakukan ”update status”, ”menulis di dinding (wall) orang lain, ”membuat group”, ”menulis note”, bahkan, perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke situs yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dijerat  dengan sanksi pidana jika perbuatannya memenuhi unsur – unsur dari  pasal 27 ayat (3) ITE tersebut.

Berdasarkan apa yang disampaikan diatas, maka dengan adanya keberadaan pasal 27 ayat (3) tersebut, tentunya telah ada pengaturan hukum yang tegas (nullum crimen sinne lege stricta) untuk dapat menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik secara elektronik. Untuk itu diharapkan agar seluruh pengguna situs jejaring sosial dapat lebih bertindak bijaksana dan berhati – hati agar tidak terjerat dengan permasalahan hukum khususnya tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang tentunya tidak akan membawa efek yang positif bagi pelakunya.











17
BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat dilihat bahwa dalam keefektifan pasal-pasal yang berkaitan dengan pencemaran nama baik atau penghinaan. Namun setidaknya penerapan pasal-pasal penghinaan dan atau pencemaran nama baik telah membuat shock therapy bagi publik. Publik atau masyarakat seakan-akan ditakut-takuti agar tidak mengungkapkan ekpresinya yang berkaitan penghinaan melalui media elektronik.
B.     Saran
1.Setiap guru maupun calon guru diharapkan dapat melakukan aktivitas yang bermanfaat juga bisa memperkaya ilmu.
2.Diharapkan mahasiswa lebih berperan aktif di dalam kegiatan perkuliahan mata kuliah Hukum Pidana agar dapat memahami mata kuliah jenis secara baik.









18
DAFTAR PUSTAKA

             www.vivanews.com
            www.ajisurabaya.org,
                www.detik.com,
















19

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

contoh sosiometri(non tes )

makalah perkawinan adat