HUKUM PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA(KDRT)




BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG.
Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
Dalam konsep domestic violence, cakupan atas tindakan yang dikategorikan sebagai bentuk kekerasan, lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal, yang bisa dilakukan oleh teman dekat, bisa pacar, atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah maupun di luar perkawinan. Kelompok yang dianggap rentan menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak, dan kekerasan tersebut  dapat terjadi di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga atau yang kita kenal di Indonesia sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak Kekerasan terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1% (pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili); 19,6%(pelaku: tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku: lainnya).
Dari gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentu kekerasan dalam rumah tangga sangat mendominasi, yakni, dengan pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian pelaku kekerasan adalah  orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan menyusul pelaku adalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.
Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorang  korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Karena bukan saja  pada saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya sudah merupakan bentuk kekerasan. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/ kasus KDRT dilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban pun hanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-perasaan lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum.
Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain. Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk untuk penanganan korban, karena memang tidak/ belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau anak.
Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis hsama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban  menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal keluarga.
Namun kemudian bangsa Indonesia patut merasa bersyukur, karena akhirnya pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga. Dengan demikian, hal ikhwal KDRT bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam penanganannya pun diharapkan dapat dilakukan  secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Hal ini pun sudah  dijamin perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejalan dengan langkah tersebut, maka penulisan ini dimaksudkan dalam rangka  menyampaikan sekilas gambaran mengenai pelaksanaan UU-PKDRT  dan seberapa jauh efektifitasnya. Adapun metodologi dalam penulisan ini didasarkan pada pencermatan atas pengaturan dalam beberapa ketentuan UU-PKDRT dikaitkan dengan hasil penelitian di lapangan.

B.RUMUSAN MASALAH.
Masalah adalah suatu hal yang menimbulkan peryataan yang mendorong untuk mecarikan jawabannya atau suatu yang harus dipecahkan dapat dikatakan bahwa masalah adalah kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang mengakibatkan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2.      Bagaimana Tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri.
3.      Bagaimana menganalisis kebijakan baik dari bentuk, tipe dan gaya menganalisisnya.
4.      Bagaimana menganalisis masalah mengenai kekerasan dalam rumah tangga.

C.TUJUAN.
            Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
2.      melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3.      menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
4.      memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

BAB II
PEMBAHASAN

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
3. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
3
korban kekerasan dalam rumah tangga.
4. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
5. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,
lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan
oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
b. suami, isteri, dan anak;
c. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
d. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
4
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
b. penghormatan hak asasi manusia;
c. keadilan dan kesetaraan gender;
d. nondiskriminasi; dan
e. perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
b. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
c. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
d. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
e. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
b. kekerasan fisik;
c. kekerasan psikis;
d. kekerasan seksual; atau
e. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
5
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
6
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
pemerintah:
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga;
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat
melakukan upaya:
7
b. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
c. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
d. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban; dan
e. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing,
dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga
sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk:
b. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
c. memberikan perlindungan kepada korban;
d. memberikan pertolongan darurat; dan
e. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(2) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
8
korban.
(3) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(4) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
b. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
c. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan; dan
d. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga
kesehatan harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
9
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial
yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
b. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping;
c. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya;
d. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban
merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
e. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
10
korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan
taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak
korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(2) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
(3) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik
di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
11
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang
patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan
oleh:
b. korban atau keluarga korban;
c. teman korban;
d. kepolisian;
e. relawan pendamping; atau
f. pembimbing rohani.
Pasal 30
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan.
(2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri
setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga,
teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani
maka korban harus memberikan persetujuannya.
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan
korban.
Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk:
a. menetapkan suatu kondisi khusus;
b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah
perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
12
bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 32
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
(3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari
sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah
perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan
dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah
perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan,
pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani.
Pasal 35
(2) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan
tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar
perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di
tempat polisi itu bertugas.
13
(3) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam.
(4) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat
menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah
melanggar perintah perlindungan.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan
dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu
1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah
perlindungan.
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis
yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
14
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis
tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan
pelaku paling lama 30 hari.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat
perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
b. tenaga kesehatan;
c. pekerja sosial;
d. relawan pendamping; dan/atau
e. pembimbing rohani.
Pasal 40
(2) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya.
(3) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling
untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja
sama.
Pasal 43
15
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja
sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
16
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
17
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
b. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
c. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa:
b. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
c. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
18
dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
19
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
20
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2004 NOMOR 95
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I. UMUM
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman,
tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang
dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus
ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah
tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama
kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup
rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika
kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam
lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku
21
kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib
melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta
perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan
secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada
kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena
undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai
22
penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu
diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundangundangan
lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan
perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan
tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal
kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi
korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan
rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan
rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga,
Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan
perempuan melaksanakan tindakan pencegahan, antara lain,
menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk Undang-
Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan
23
berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan
penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak
kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini
adalah termasuk anak angkat dan anak tiri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hubungan perkawinan”
dalam ketentuan ini, misalnya mertua, menantu,
ipar, dan besan.
Huruf c.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu
keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati
status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk
24
mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya
bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara
proporsional.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini
adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga sosial” adalah lembaga
25
atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah
kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembagalembaga
bantuan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang
yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan
sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau
pengalaman praktik di bidang pekerjaan
sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh
pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan
sosial.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
26
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “kerja sama” adalah sebagai wujud peran
serta masyarakat.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “relawan pendamping” dalam ketentuan
ini adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan
konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan
diri korban kekerasan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
27
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rumah aman” dalam
ketentuan ini adalah tempat tinggal sementara yang
digunakan untuk memberikan perlindungan
terhadap korban sesuai dengan standar yang
ditentukan. Misalnya, trauma center di Departemen
Sosial.
Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif”
dalam ketentuan ini adalah tempat tinggal korban
yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan
dan/atau dijauhkan dari pelaku.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
28
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam
ketentuan ini, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam jiwanya.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
29
Yang dimaksud “kondisi khusus” dalam ketentuan
ini adalah pembatasan gerak pelaku, larangan
memasuki tempat tinggal bersama, larangan
membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi
korban.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
30
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
31
Pasal 50
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga tertentu” adalah
lembaga yang sudah terakreditasi menyediakan konseling
layanan bagi pelaku. Misalnya rumah sakit, klinik,
kelompok konselor, atau yang mempunyai keahlian
memberikan konseling bagi pelaku selama jangka waktu
tertentu.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan
maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan
menjaga keutuhan rumah tangga
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang
dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa.
Pasal 56
Cukup jelas
























B.PENGERTIAN.
1.Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.
            Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
            Menurut pendapat Saya Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
            Sebagai contoh Perlindungan hukum bagi perempuan khususnya istri yg menjadi Kekerasan Suami, walaupun dalam KUHP ada beberapa Pasal yang mampu menjerat pelaku kekerasan ini, namun kelihatannya belum efektif dalam penanggulangan dalam bentuk kekerasan ini. Hal ini dapat diliat dari berbagai data dari kepolisian maupun pengadilan yang sangat minim sekali dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap istri.

2.Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan  dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen.

Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan domestik sempat mengundang kontraversi karena ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka relasi pekerjaan (antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan.
Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun 2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9% - 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun 2007 11%.
KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak berasal dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur).
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya  dan kesadaran serta keberanian perempuan korban  untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya,pada khususnya.

3. Teori-Teori Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pemikiran tentang teori-teori kekerasan sudah ada sejak dahulu kala dari
pemikiran Thomas Hobbes misalnya, sampai pada perkembangan pola pikir masyarakat
tentang kekerasan yang lebih modern, seperti pada masa Sigmund Freud, telah lahir
berbagai macam pandangan teoritis tentang kekerasan itu. Tiap-tiap teori tersebut
mencoba menggali jawaban atas pertanyaan yang sifatnya pun dinamis, berkaitan dengan
asal mula atau sebab akibat munculnya kekerasan. Tiap-tiap teori tersebut menunjukkan
perbedaan figur pelaku, korban maupun cara kekerasan yang dipergunakan, tergantung
dari lingkungan maupun relasi antara pelaku maupun korban. Akan tetapi yang dapat
diambil sebagai sebuah benang merah yang menghubungkan keterkaitan secara tidak
langsung dari satu teori dengan teori yang lain adalah bahwa kekerasan tersebut
dilakukan untuk mendapatkan sebuah kepentingan dari diri korban oleh pelaku dengan
menggunakan inti dari kekuatan diri, yaitu kekuasaan yang ada pada diri pelaku.
Dari kebanyakan teori yang membicarakan tentang kekerasan dapat dikategorikan
ke dalam dua golongan, yaitu teori kekerasan yang mendasarkan pengembangan
berpikirnya atas bentuk kekerasan individu dan teori kekerasan yang mendasarkan pada
bentuk kekerasan kolektif/kelompok. Akan tetapi dalam pengembangannya nanti,
perluasan konsep lebih banyak dilakukan terhadap teori kekerasan yang mendasarkan
pada pengembangan berpikir atas kekerasan kolektif.
Berkaitan dengan teori kekerasan yang mendasarkan pola pemikirannya atas
fenomena kekerasan individu, maka terdapat dua teori besar yang mencoba mencerna
tentang keberadaan kekerasan pada diri seseorang. Kedua teori tersebut antara lain adalah
teori kekerasan sosio-anthropologis dan teori kekerasan genetika.
1.      Teori sosio-anthropologi,
menyatakan bahwa manusia itu adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Bagi Hobbes, dan tentu saja hingga kini masih sangat diyakini oleh para pengikutnya, dalam diri seseorang senantiasa bersemayam benih-benih kekerasan. Manusia, manakala diganggu kepentingannya, maka ia akan menyerang. Sedangkan kalau memiliki suatu kemauan atau kehendak, maka manusia tersebut tak tanggung-tanggung lagi untuk menyerbunya dan merampasnya kalau adainsan lain yang memiliki apa yang dimauinya itu. Perilaku agresif ini dibenarkan oleh Sigmmund Freud dengan menegaskan bahwa agresifitas yang dimiliki manusia
sebenarnya bersifat bawaan dan tak terelakkan. Ia akan semakin dominan dalam kehidupan manusia sehingga pada akhirnya naluri thanatos atau daya mematikan akan melebihi naluri eros atau daya menghidupkan.
2.      teori genetik,
merupakan konsep teori yang diambil dari sisi ilmiah.
Teori ini menyatakan bahwa kekerasan merupakan hasil suatu rangkaian reaksi kimiawi
yang terjadi dalam fungsi otak seseorang. Ini terjadi karena suatu zat tertentu, serotinin,
kurang pasoknya ke otak. Akibatnya, emosipun menyala dan daya kendalipun melumpuh.
Hanya bila kadar serotin dalam otak seseorang pada kadar yang memadai, ia baru bisa
berpikir sehat dan hidup normal. Pandangan ini secara langsung mengarah pula pada diri
seseorang, taraf tinggi rendahnya kekerasan, ditentukan faktor gen atau keturunan.
Sedangkan teori-teori kekerasan yang mendasarkan pada pengembangan pola
pikir atas fenomena kekerasan kolektif / kelompok, dapat ditunjukkan dengan keberadaan
teori psikologis, teori instink, teori revolusi, teori konflik serta teori frustasi-agresi.
a.Teori Psikologis.
Teori psikologis adalah teori yang berbicara tentang sumber dan ciri agresi di
semua manusia, tanpa memperhitungkan budayanya. Teori psikologis memberikan
landasan motivasional bagi teori tentang kekerasan politik dan memberikan cara untuk
mengidentifikasi pengoperasian beberapa variabel penjelas.
Ada tiga asumsi psikologis yang berbeda tentang sumber genetik agresi manusia :
(1) bahwa agresi bersifat instinktif; (2) bahwa agresi semata-mata untuk dipelajari; atau
(3) bahwa agresi merupakan respon innate atau inisitif yang didorong oleh frustasi.
Asumsi ini bersifat di sebagian pendekatan teoritis terhadap pertikaian dalam masyarakat
yang tidak memiliki landasan motivasional yang eksplisit.
b. Teori Instink.
Teori Instink ini sebenarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari asumsiasumsi
yang terlahir dari teori psikologis, yaitu agresi yang bersifat instink. Freud dan
Lorenz, sebagai pendukung teori ini, masing-masing menyatakan tentang keterkaitan dari
dorongan bagi tindakan desktruktif terhadap instink yang mati dan tentang agresi sebagai
instink yang meningkatkan ketahanan hidup. Kedua pernyataan tersebut mengasumsikan
bahwa sebagian besar atau semua manusia di dalam dirinya memiliki sumber dorongan
agresif yang sifatnya otonomi, suatu dorongan untuk melakukan agresi yang di dalam
kata-kata Lorenz menunjukkannya dengan ”ledakan tak tertahankan yang muncul teratur
secara ritmis”. Oleh pendukungnya, teori ini seringkali dipergunakan dalam menjelaskan
agresi kolektif maupun individu. Teori ini sekilas juga nampak dalam pandangan Hobbes
tentang karakteristik manusia dalam keadaan alami, dan mungkin pula tersirat dalam
bahasa Nieburge tentang ”kapabilitas manusia untuk marah, tak terkendali dan
melakukan kekerasan berdarah”, akan tetapi asumsi yang mendasari teori ini tidak
memiliki peran signifikan dalam teori kontemporer tentang pertikaian sipil.
c. Teori Revolusi.
Secara umum, dalam mempelajari teori-teori revolusi diperlukan kriteria-kriteria
evaluatif, diantaranya : (1) teori tersebut harus menetapkan faktor mana yang relevan
dengan revolusi ; (2) harus diberikan penjelasan tentang mengapa atau bagaimana faktor
ini menjadi relevan; dan (3) teori-teori tersebut harus diuji dan disesuaikan dengan baukti
yang ada.
Kebanyakan teori-teori revolusi yang dibahas dalam berbagai literatur, semuanya
didasarkan pada pendekatan standar terhadap studi ilmu politik, tetapi spesifitas dan
kekuatan asumsi pentingnya sangat beragam. Beberapa nama dibalik teori revolusi ini,
diantanya adalah Olson dengan teori Olson. Teori Olson mengandalkan asumsi pilihan
rasional yang dibacarakan di muka, dalam kaitannya dengan teori ekonomi barang
publik. Asumsi yang ada tersebut memungkinkan Olson membuat argumen yang sangat
ketat tentang sifat aksi kolektif pada umumnya. Asumsi tersebut, cukup restruktif untuk
memungkinkan Olson menentukan teori yang tepat tentang perilaku politik massa. Si sisi
lain asumsi bahwa aksi politik massa didasarkan pada perhitungan rasional patut
dipertanyakan, khususnya dalam konteks gerakan revolusioner.
d. Teori KOnflik.
Teori konflik secara eksplisit mencoba memberi asumsi tentang perilkau rasional
dan saling ketergantungan antara keputusan yang saling berlawanan di semua jenis
koflik.
Dalam penukapannya, para pemikir dibalik teori konflik ini terbiasa memberikan
semacam perbedaan sebagai batasan dari teori konflik, yang disebut konflik realistis dan
non realistis (coser), atau konflik rasional dan non rasional (Schellling) atau perlikau
destruktif dan perilaku konflik (Galtung). Esensi perbedaan ini terletak antara tindakan
yang menjadi alat mengamankan nilai yang diperjuangkan dan tindakan yang menjadi
alat mengamankan nilai yang diperjuangkan dan tindakan destruktif demi kepentingan
mereka sendiri. Coser dan Galtung mengungkapkan bahwa dua unsur ini selalu ada
dalam setiap konflik. Galtung juga membuat landasan teoritis tentang landasan ini, bahwa
perilaku konflik cenderung menjadi perilaku destruktif dan perilaku destruktif cenderung
menjadi upaya penguatan diri.
e. Teori Frustasi-Agresi.
Dasar pijakan berpikir teori ini adalah asumsi teori Psikologis yang menyatakan
bahwa kebanyakan agresi terjadi sebagai respons terhadap frustasi.
Teori frustasi-agresi telah berkembang lebih sistematis dan memiliki dukungan
empiris yang lebih banyak dibanding teori yang berasumsi bahwa semua manusia
memiliki sumber energi destruktif yang mengalir dalam diri manusia atau bahwa semua
agresi bersifat imitatif dan instrumental. Dollard dan kerabatnya di Yale pada tahun 1939
menyatakan bahwa ”terjadinya agresif selalu mensyaratkan keberadaan frustasi dan
sebaliknya bahwa keberadaan frustasi selalu menimbulkan bentuk agresi.”
Miller kemudian memberikan klarifikasi bahwa frustasi menghasilkan dorongan
terhadap berbagai respons, salah satunya agresi. Bila respons non agresi tidak dapat
menghilangkan frustasi, maka semakin besar probabilitas bagi dorongan agresi sehingga
pada akhirnya terjadilah beberapa respons agresi.
Secara keseluruhan, kekerasan sebagai manifestasi agresivitas dan kekuatan
destruktif yang ada pada setiap orang secara individu maupun secara kolektif pastinya
akan menjadi sangat baik aktual bila hanya dilihat sebagai sebuah peristiwa tunggal yang
berdiri sendiri. Karenanya ia pun (kekerasan tersebut), meminta wilayah yang melingkupi
konteks sosio-kultural-ekonomi, dan politik yang lebih luas, terlebih lagi karena memang
kekerasan dapat terjadi pada domain mana saja. Dan oleh sebab itulah, akhir-akhir ini
muncul fenomena kekerasan budaya.










C. Analisis Kasus Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga.

a.       Latar Belakang.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun rendah. Kekerasan dalam Rumah Tangga terjadi karena adanya ketidaksetaraan gender dan ketidaksetaraan kekuasaan yang diyakini dalam masyarakat. Ketidaksetaraan gender dan ketidaksetaraan kekuasaan menimbulkan ketidakharmonisan dalam Rumah Tangga sehingga perlu dilakukan perubahan
mendasar dan berkelanjutan. Dalam kesempatan ini penulis mengemukakan tiga permasalahan mengenai Analisis Yuridis Kekerasan dalam Rumah Tangga dan gender ditinjau dalam masyarakat suku Madura.
yang Saya angkat adalah:
1. Bagaimana bentuk - bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
2. Apa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?
3. Bagaimana penanganan kekerasan dalam Rumah Tangga?
Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu Data Primer dan Data Sekunder.
A.    Data Primer.
Data Primer adalah Data yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui metode diskusi, interview dan Observasi, Sedangkan
B.     Data Sekunder.
Data Sekunder adalah Data yang diperoleh melalui penelaahan buku-buku literatur secara
teoritis, literatur, artikel internet, dan lainlainnya.

Metode yang digunakan adalah deskriptif dan kualitatif. Pendekatan studi kasus. Analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif. Dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitianberdasarkan faktafakta yang nampak atau sebagaimana adanya. Agar penulis dapat memberikan gambaran dan kesimpulan mengenai analisis yuridis kekerasan dalam rumah tangga dan gender ditinjau dalam masyarakat suku Madura. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa bentuk – bentuk.
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh responden dalam penelitian ini adalah kekerasan fisik; contohnya memukul, menampar, menjambak, meninju. Kekerasan psikis, contohnya menghina, mengancam, mengisolasi; kekerasan seksual contohnya melakukan hubungan dengan cara yang tidak wajar;kekerasan ekonomi, contohnya tidak memberi nafkah kepada istrinya. Akar masalah terjadinya kekerasan dalam Rumah tangga disebabkan oleh faktor individu, faktor sosial ekonomi, faktorsosial Budaya, dan faktor religi. Upaya penanganan kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan jalur litigasi (menggunakan jalur hukum) dan jalur nonlitigasi (musyawarah dan mufakat) namun tetap melibatkan pihak ketiga sebagai mediatornya.

b.      Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Istri / Perempuan
Berbicara tentang bentuk-bentuk KTP, maka untuk lebih jelasnya sebuah penelitian dengan tema KTP yang dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan Mc Gill University, Montreal, Canada dan ICIHEF Jakarta untuk kurun waktu tahun 2002, dapat dijadikan acuan pemaparan. Penelitian ini mengambil tempat Medan, dengan subyek (populasi) para istri, yang secara khusus (sampel) bekerja sebagai tenaga pengajar di SD, SLTP, SLTA, maupun Perguruan Tinggi. Sampel diambil berdasarkan teknik sampling snowball dan purposive, yang berdasarkan pada prinsip teori nonprobalitas. Data penelitian dihimpun melalui metode studi dokumentasi, Focused Group Discussion (FGD), wawancara mendalam (Deepth
Interview) tersebut, mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri ke dalam
4 (empat) kelompok, yaitu :
1. Kekerasan Fisik.
Bentuk-bentuk kekerasan fisik antara lain : dipukul, dilempar dengan piring,
dijambak rambutnya,. Bentuk-bentuk kekerasan ini memiliki intensitas dan frekwensi
yang berbeda pada setiap subyek penelitian. Misalnya pemukulan, pada sebagian istri
pemukulan sampai meninggalkan bekas yang nampak, seperti luk memar di tubuh
korban, bahkan menyebabkan istri menjadi kurang pendengaran, tetapi pada subyek
penelitian lain tidak berbekas.
Dari segi tingkat keseringan terjadi kekerasan, pada sebagian informan kekerasan dilakukan suami hampir setiap kali bertengkar atau setiap kali suami marah, tetapi sebagian yang lain hanya mengalami sekali atau beberapa kali selama perkawinan.


2. Kekerasan Psikologis.
Kekerasan psikologis yang dialami istri memang tidak menimbulkan bekas seperti
kekerasan fisik, tetapi kekerasan psikologis dapat meruntuhkan harga diri bahkan
memicu dendam seorang istri terhadap suami. Satu penelitian melaporkan bahwa
sebagian korban, kekerasan psikologis justru lebih sulit diatasi daripada kekerasan fisik.
Seluruh istri yang dijadikan subyek pada penelitian ini mengalami jenis kekerasan
psikologis dengan frekwensi dan intensitas yang berbeda. Kekerasan psikologis yang
dialami seorang istri adalah dalam bentuk caci-maki, kata-kata kasar, ancaman (ancaman
dieraikan, dipukul atau dibunuh), pengabaian, penolakan dan tuduhan.
3. Kekerasan Ekonomi.
Tidak diragukan bahwa seorang istri yang bekerja dengan menghasilkan uang
dapat menopang ekonomi keluarga. Akan tetapi, kenyataan ini bukan malah
menyadarkan suami untuk menghargai istri. Penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan
istri yang bekerja dimanfaatkan oleh suami untuk melakukan kekerasan ekonomi
terhadap istrinya. Sebagian suami tidak mau memberikan sebagian gajinya karena
mereka tahu bahwa istrinya berpenghasilan. Para suami ini sangat yakin bahwa istri akan
menggunakan gajinya karena mereka tidak akan membiarkan anaknya kelaparan.
Sementara itu, sebagian istri juga tidak terlalu menuntut agar suaminya menyerahkan
gajinya, dan memilih untuk menggunakan penghasilan mereka untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Dalam kasus seperti ini, kekerasan ekonomi yang dialami oleh para
responden kadang tidak dianggap oleh mereka sebagai suatu kekerasan.
4. Kekerasan Seksual.
Seks merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan dasar dari
sebuah perkawinan. Seks menjadi sarana untuk memperoleh keturunan, kenikmatan
seksual, dan kepuasan seksual. Darwin menyatakan bahwa kepuasan seksual merupakan
salah satu faktor penentu dalam kehidupan keluarga. Namun bila salah seorang dari dua
insan yang sedang melakukan hubungan seksual tidak menikmatinya, maka hubungan
seksual dapat merupakan sesuatu yang dihindari, bahkan dibenci.
Banyak pasangan suami istri yang tidak menikmati hubungan intim yang mereka
lakukan. Seks bagi mereka dapat beban, bahkan dapat dipandang sebagai sesuatu yang
harus dihindari. Hal ini terjadi karena salah satu merasa tidak diperlakukan selayaknya.
Satu pihak memaksakan kehendak seksualnya tanpa memperhatikan pihak lain.
Pemaksaan dan ketidakacuhan terhadap hasrat dan kepuasan seksual pasangan
merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami subyek penelitian ini antara lain :
dilecehkan setelah melakukan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual tanpa
persetujuan istri, dan tidak memenuhi kebutuhan seks istri karena suami punya istri lain,
serta perselingkuhan atau hubungan suami dengan perempuan lain di luar nikah.
Sedangkan secara umum dari bebagai pendapat sarjana, maka bentuk-bentuk
kekerasan terhadap istri (sebagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan) :
1. Kekerasan sesualitas, yaitu kekerasan seperti : perkosaan, percobaan perkosaan,
pelecehan seksual baik itu yang dilakukan dengan kata-kata (verbal) maupun tindakan (non verbal) ;
2. Kekerasan fisik yaitu bentuk-bentuk kekerasan yang pengertian dasarnya senantiasa dikaitkan dengan penganiayaan, yaitu apabila didapati perlakuan yang bukan dikarenakan kecelakaan. Perlakuan tersebut dapat diakibatkan oleh suatu kekerasan tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga sampai yang fatal. Batasan intensitas kekerasan fisik tersebut sangat relatif karena dapat ditinjau dari akibat kekerasan dan cara melakukan kekerasan. Akan tetapi apabila didapati luka memar di wajah, hal ini mengakibatkan telah timbulnya kekerasanakibat penganiayaan. Begitu pula pukulan fisik berupa pukulan dengan tangan terkepal atau dengan alat yang keras, menendang atau menyebabkan luka bakar adalah jelas merupakan penganiayaan, terlepas dari berat ringanya luka yang timbul ;
3. Kekerasan ekonomi seperti : pengekangan terhadap istri untuk tidak bekerja tanpa dipenuhi kebutuhannya, pemerasaan penipuan;
4. Kekerasan psikologis sangat sulit diartikan secara implisit karena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dimana kekerasan psikologis ini dapat berupa pencemaran nama baik, julukan yang mengandung olok-olokan, membuat menjadi bahan tertawaan, cemburu yang berlebihan, ancaman, membatasi aktifitas (mengisolasi), caci maki, menghina, dsb.

c.       Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Secara garis besar tindak kekerasan terhadap terhadap ostri terjadi dikarenakan
beberapa faktor:
a. Budaya patriarkhi
Budaya yang meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior,
sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.

b. Interpretasi yang keliru terhadap ajaran agama Seringkali ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin perempuan diinterpretasikan sebagai pembolehan dalam mengontrol dan menguasai istrinya, secara berlebihan dan tidak sebenarnya.

c. Pengaruh role model Laki-laki sebagai perilaku seringkali mengekspresikan kemarahan mereka dengan melakukan tindak kekerasan karena pengalaman yang diperoleh dari keluarga asalnya. Anak laki-laki yang tumbuh di dalam lingkungan keluarga dimana ayah sering memukul
atau berperilaku kasar terhadap ibunya pada umumnya cenderung akan meniru polatersebut kepada pasangannya. :

d. ketidakmandirian istri secara ekonomi yang menyebabkan tergantung kepada suami.
Ketergantungan tersebut suami merasa berkuasa dan melakukan kesewenang-wenangan,
salah satu bentuknya adalah kekerasan terhadap istri. Akan tetapi ternyata pula seorang
istri yang bekerja pun dapat saja menjadi korban kekerasan oleh suami mereka.

e. Adanya persoalan psikis dalam diri suami yang disebabkan tekanan pekerjaan maupun persoalan pribadi di rumah, sehingga menimbulkan stress yang berujung pada tindak kekerasan suami terhadap istri.

f. Adanya kecenderungan masyarakat umum yang memeandang personal KDRT
termasuk didalamnya KTI sebagai suatu persoalan pribadi.

Ditinjau dari lingkup rumah tangga itu sendiri, maka hal-hal yang menimbulkan
kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya :
1.      Citra diri yang rendah dan frustasi.
Citra diri yang rendah dari suami serta rasa frustasi karena kurang mampu
mencukupi kebutuhan keluarga dimana sebaliknya dengan kondisi si istri yang
lebih darinya, memudahkan timbulnya salah penerimaan dalam diri suami
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan keluarga, yang hal ini
pula akan memudahkan timbulnya tinvdakan pemukulan atau kekerasan lainnya
sebagai pelampiasan.
2.      Kekerasan sebagai upaya menyelesaikan masalah.
Dimana kekerasan dipandang sebagai sarana jitu dalam menyelesaikan permasalahan dengan istri daripada melakukan pembicaraan secara baik-baik dengan mereka. Terkadang tindakan ini (pada umat Islam) didasari oleh adanyapemahaman secara ansich atas Q.S. An-Nisa : 34, berupa diperbolehkannya pemukulan dilakukan sebagai hukuman bagi seorang istri yang nusyuz. Maka kata ”pemukulan” dalam Q.S. An-Nisa (4) : 34, dalam ayat tersebut diisyaratkan dari kata wadribuhunna yang memeiliki pengertian secara leksikal ”pukullah perempuan yang melalaikan kewajiban sebagai seorang istri”.



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut pendapat Saya Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Berdasarkan hasil dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah berusia antara 21 s/d 30 tahun.
2.      Korban dari kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah wanita yang berstatus sebagai istri dan pelakunya adalah laki-laki yang berstatus sebagai suami.
3.      Bahwa factor-faktor yang menyebabkan adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah factor fisik, ekonomi (ketergantungan istri terhadap suami), dan jugakecend erungan masyarakat umum yang menganggap Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah suatu hal yang tabu untuk di buka di muka umum.
4.      Upaya-upaya yang dilakukan oleh Polres Lamongan sudah sesuai dengan wewenang-wewenang kepolisian yaitu dengan upaya-upaya penegakan hokumdan pencegahan secara edukatif, dan penanggulangan secara represif.

Comments

Popular posts from this blog

contoh sosiometri(non tes )

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

makalah perkawinan adat