HUKUM PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA(KDRT)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG.
Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius
oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri
atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu
undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran
hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan
tindakan diskriminasi.
Dalam konsep domestic violence, cakupan atas tindakan yang dikategorikan
sebagai bentuk kekerasan, lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal, yang bisa dilakukan
oleh teman dekat, bisa pacar, atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau
antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah maupun
di luar perkawinan. Kelompok yang dianggap rentan menjadi korban kekerasan
adalah perempuan dan anak, dan kekerasan tersebut dapat terjadi di tempat
umum, di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga atau yang kita
kenal di Indonesia sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya
mengenai Tindak
Kekerasan terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa:
sebanyak 51,1% (pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan
famili); 19,6%(pelaku: tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku:
rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku: lainnya).
Dari gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentu
kekerasan dalam rumah tangga sangat mendominasi, yakni, dengan pelaku adalah
suami (tertinggi), kemudian pelaku kekerasan adalah orang tua/mertua,
anak/cucu dan famili, dan menyusul pelaku adalah atasan/majikan. Hal ini tentu
saja cukup memprihatinkan.
Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang
bahwa seseorang korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau
mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Karena bukan
saja pada saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga
adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah
tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu
intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya
sudah merupakan bentuk kekerasan. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/ kasus KDRT
dilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak
kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai
suatu aib atau tabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau
ditutup-tutupi. Korban pun hanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan
kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis
atau perasaan-perasaan lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil
terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan
sosial tetapi juga perlindungan hukum.
Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal
ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum
ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan
(kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk
pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk
lain. Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk untuk penanganan
korban, karena memang tidak/ belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali
tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana
bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah
perempuan atau anak.
Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum,
namun pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat
pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya
praktis hsama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT
termasuk kepekaan gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara
proporsional. Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus
menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak
mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum
meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan
sebagai permasalahan internal keluarga.
Namun kemudian bangsa Indonesia patut merasa bersyukur,
karena akhirnya pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), yang diharapkan
dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara
lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan
terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga.
Dengan demikian, hal ikhwal KDRT bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap
privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam penanganannya pun diharapkan
dapat dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan
terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Hal ini pun sudah dijamin
perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejalan dengan langkah tersebut, maka penulisan ini
dimaksudkan dalam rangka menyampaikan sekilas gambaran mengenai
pelaksanaan UU-PKDRT dan seberapa jauh efektifitasnya. Adapun metodologi
dalam penulisan ini didasarkan pada pencermatan atas pengaturan dalam beberapa
ketentuan UU-PKDRT dikaitkan dengan hasil penelitian di lapangan.
B.RUMUSAN
MASALAH.
Masalah adalah suatu hal yang
menimbulkan peryataan yang mendorong untuk mecarikan jawabannya atau suatu yang
harus dipecahkan dapat dikatakan bahwa masalah adalah kesulitan yang
menggerakkan manusia untuk memecahkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa
yang mengakibatkan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Bagaimana
Tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri.
3. Bagaimana
menganalisis kebijakan baik dari bentuk, tipe dan gaya menganalisisnya.
4. Bagaimana
menganalisis masalah mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
C.TUJUAN.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini
adalah untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1. mencegah
segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
2. melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
4. memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM
RUMAH TANGGA.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
2.
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup
rumah tangga.
3.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga,
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
3
korban
kekerasan dalam rumah tangga.
4.
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.
5.
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman
kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,
lembaga
sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik
sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5.
Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan
oleh
kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6.
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
untuk
memberikan perlindungan kepada korban.
7.
Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang
pemberdayaan perempuan.
Pasal
2
(1)
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
b.
suami, isteri, dan anak;
c.
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam
rumah tangga; dan/atau
d.
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah
tangga tersebut.
(2)
Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai
anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga
yang bersangkutan.
BAB
II
ASAS
DAN TUJUAN
4
Pasal
3
Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
b.
penghormatan hak asasi manusia;
c.
keadilan dan kesetaraan gender;
d.
nondiskriminasi; dan
e.
perlindungan korban.
Pasal
4
Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
b.
mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
c.
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
d.
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
e.
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB
III
LARANGAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal
5
Setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
b.
kekerasan fisik;
c.
kekerasan psikis;
d.
kekerasan seksual; atau
e.
penelantaran rumah tangga.
Pasal
6
Kekerasan
fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal
7
Kekerasan
psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
5
hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Pasal
8
Kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a.
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan
tertentu.
Pasal
9
(1)
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)
Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di
luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB
IV
HAK-HAK
KORBAN
Pasal
10
Korban
berhak mendapatkan:
a.
perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b.
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d.
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
6
tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
dan
e.
pelayanan bimbingan rohani.
BAB
V
KEWAJIBAN
PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal
11
Pemerintah
bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah
tangga.
Pasal
12
(1)
Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
pemerintah:
a.
merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah
tangga;
b.
menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan
dalam rumah tangga;
c.
menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam
rumah
tangga;
d.
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan
dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi
pelayanan yang sensitif gender.
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh
menteri.
(3)
Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melakukan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal
13
Untuk
penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan
pemerintah
daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat
melakukan
upaya:
7
b.
penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
c.
penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
d.
pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama
program
pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban;
dan
e.
memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Pasal
14
Untuk
menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing,
dapat
melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga
sosial
lainnya.
Pasal
15
Setiap
orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya
untuk:
b.
mencegah berlangsungnya tindak pidana;
c.
memberikan perlindungan kepada korban;
d.
memberikan pertolongan darurat; dan
e.
membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB
VI
PERLINDUNGAN
Pasal
16
(2)
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui
atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian
wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
8
korban.
(3)
Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling
lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(4)
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian
perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal
17
Dalam
memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing
rohani untuk mendampingi korban.
Pasal
18
Kepolisian
wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk
mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal
19
Kepolisian
wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima
laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal
20
Kepolisian
segera menyampaikan kepada korban tentang:
b.
identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
c.
kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan;
dan
d.
kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal
21
(1)
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga
kesehatan
harus:
a.
memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b.
membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
9
visum
et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan
medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat
bukti.
(2)
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal
22
(1)
Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a.
melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
bagi
korban;
b.
memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan
dari pengadilan;
c.
mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
dan
d.
melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada
korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial
yang
dibutuhkan korban.
(2)
Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
di
rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal
23
Dalam
memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
b.
menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang
atau beberapa orang pendamping;
c.
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
objektif
dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya;
d.
mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban
merasa
aman didampingi oleh pendamping; dan
e.
memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
10
korban.
Pasal
24
Dalam
memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan
penjelasan
mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan
taqwa
kepada korban.
Pasal
25
Dalam
hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
a.
memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak
korban
dan proses peradilan;
b.
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam
sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c.
melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping,
dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana
mestinya.
Pasal
26
(2)
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga
kepada
kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian
perkara.
(3)
Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan
kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik
di
tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal
27
Dalam
hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang
tua,
wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
28
11
Ketua
pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan
wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
perlindungan
bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang
patut.
Pasal
29
Permohonan
untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan
oleh:
b.
korban atau keluarga korban;
c.
teman korban;
d.
kepolisian;
e.
relawan pendamping; atau
f.
pembimbing rohani.
Pasal
30
(1)
Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan.
(2)
Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri
setempat
wajib mencatat permohonan tersebut.
(3)
Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga,
teman
korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani
maka
korban harus memberikan persetujuannya.
(4)
Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan
korban.
Pasal
31
(1)
Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan
untuk:
a.
menetapkan suatu kondisi khusus;
b.
mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah
perlindungan.
(2)
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
12
bersama-sama
dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam
rumah
tangga.
Pasal
32
(1)
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(2)
Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
(3)
Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari
sebelum
berakhir masa berlakunya.
Pasal
33
(1)
Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah
perlindungan.
(2)
Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan
keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosial,
relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal
34
(1)
Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan
dapat
menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah
perlindungan.
(2)
Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan,
pengadilan
wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani.
Pasal
35
(2)
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan
tanpa
surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar
perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di
tempat
polisi itu bertugas.
13
(3)
Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan
surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu
kali
dua puluh empat) jam.
(4)
Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud
ayat (1) dan ayat (2).
Pasal
36
(1)
Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat
menangkap
pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah
melanggar
perintah perlindungan.
(2)
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan
dengan
penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu
1
x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal
37
(1)
Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara
tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah
perlindungan.
(2)
Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3
x
24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan
di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran
diduga terjadi.
Pasal
38
(1)
Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
perlindungan
dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
Pengadilan
dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis
yang
isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
14
(2)
Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis
tersebut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan
pelaku
paling lama 30 hari.
(3)
Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat
perintah
penahanan.
BAB
VII
PEMULIHAN
KORBAN
Pasal
39
Untuk
kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
b.
tenaga kesehatan;
c.
pekerja sosial;
d.
relawan pendamping; dan/atau
e.
pembimbing rohani.
Pasal
40
(2)
Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya.
(3)
Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan
dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal
41
Pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan
pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling
untuk
menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal
42
Dalam
rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja
sama.
Pasal
43
15
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja
sama
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VIII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
44
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama
15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00
(empat
puluh lima juta rupiah).
(4)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00
(lima
juta rupiah).
Pasal
45
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah
tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak
Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
16
oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling
lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00
(tiga
juta rupiah).
Pasal
46
Setiap
orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud
pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam
juta rupiah).
Pasal
47
Setiap
orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
Pasal
48
Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya
selama
4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan
tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh)
tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah)
dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal
49
17
Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
b.
menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1);
c.
menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal
50
Selain
pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana
tambahan berupa:
b.
pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu
dari pelaku;
c.
penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga
tertentu.
Pasal
51
Tindak
pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan
delik aduan.
Pasal
52
Tindak
pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan
delik aduan.
Pasal
53
Tindak
pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB
IX
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
54
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut
ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
18
dalam
Undang-undang ini.
Pasal
55
Sebagai
salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan
suatu alat bukti yang sah lainnya.
19
BAB
X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
56
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang
ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara
Republik
Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
20
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN
2004 NOMOR 95
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I.
UMUM
Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman,
tenteram,
dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Ketuhanan
Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang
dalam
lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya
harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus
ditumbuhkembangkan
dalam rangka membangun keutuhan rumah
tangga.
Untuk
mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung
pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama
kadar
kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup
rumah
tangga tersebut.
Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika
kualitas
dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat
terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan
atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam
lingkup
rumah tangga tersebut.
Untuk
mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku
21
kekerasan
dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib
melaksanakan
pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai
dengan
falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk
kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran
hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan
serta bentuk diskriminasi.
Pandangan
negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-
Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta
perubahannya.
Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang
berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2)
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan
bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama
guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan
dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan
secara
fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada
kenyataannya
terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai
untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan
hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi,
khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan
dalam
rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena
undang-undang
yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan
hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan
tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
secara
tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum
di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai
22
penganiayaan
dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu
diberikan
nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundangundangan
lain
yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain, Undang-
Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang
Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7
Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women), dan
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan
perlindungan
serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga,
juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam
rumah
tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan
tindak
pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal
kewajiban
bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja
sosial,
relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi
korban
agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan
rumah
tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan
rumah
tangga.
Untuk
melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga,
Menteri
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan
perempuan
melaksanakan tindakan pencegahan, antara lain,
menyelenggarakan
komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk Undang-
Undang
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
diatur
secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan
23
berpihak
kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan
penyadaran
kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak
kekerasan
dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap
martabat
kemanusiaan.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini
adalah
termasuk anak angkat dan anak tiri.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “hubungan perkawinan”
dalam
ketentuan ini, misalnya mertua, menantu,
ipar,
dan besan.
Huruf
c.
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
3
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu
keadaan
di mana perempuan dan laki-laki menikmati
status
yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk
24
mewujudkan
secara penuh hak-hak asasi dan potensinya
bagi
keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara
proporsional.
Huruf
c.
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
Cukup
jelas.
Pasal
7
Cukup
jelas.
Pasal
8
Yang
dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini
adalah
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau
tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang
lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal
9
Cukup
jelas.
Pasal
10
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “lembaga sosial” adalah lembaga
25
atau
organisasi sosial yang peduli terhadap masalah
kekerasan
dalam rumah tangga, misalnya lembagalembaga
bantuan
hukum.
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang
yang
mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan
sosial
yang diperoleh melalui pendidikan formal atau
pengalaman
praktik di bidang pekerjaan
sosial/kesejahteraan
sosial yang diakui secara resmi oleh
pemerintah
dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan
sosial.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Cukup
jelas.
Pasal
13
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah setiap
orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
26
melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Pasal
14
Yang
dimaksud dengan “kerja sama” adalah sebagai wujud peran
serta
masyarakat.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Cukup
jelas.
Pasal
17
Yang
dimaksud dengan “relawan pendamping” dalam ketentuan
ini
adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan
konseling,
terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan
diri
korban kekerasan.
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Cukup
jelas.
Pasal
20
27
Cukup
jelas.
Pasal
21
Cukup
jelas.
Pasal
22
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “rumah aman” dalam
ketentuan
ini adalah tempat tinggal sementara yang
digunakan
untuk memberikan perlindungan
terhadap
korban sesuai dengan standar yang
ditentukan.
Misalnya, trauma center di Departemen
Sosial.
Yang
dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif”
dalam
ketentuan ini adalah tempat tinggal korban
yang
terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan
dan/atau
dijauhkan dari pelaku.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
23
Cukup
jelas
Pasal
24
28
Cukup
jelas.
Pasal
25
Cukup
jelas.
Pasal
26
Cukup
jelas.
Pasal
27
Cukup
jelas.
Pasal
28
Cukup
jelas.
Pasal
29
Cukup
jelas.
Pasal
30
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam
ketentuan
ini, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam
jiwanya.
Pasal
31
Ayat
(1)
Huruf
a
29
Yang
dimaksud “kondisi khusus” dalam ketentuan
ini
adalah pembatasan gerak pelaku, larangan
memasuki
tempat tinggal bersama, larangan
membuntuti,
mengawasi, atau mengintimidasi
korban.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
32
Cukup
jelas.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Cukup
jelas.
Pasal
35
Cukup
jelas.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Cukup
jelas.
Pasal
38
Cukup
jelas.
Pasal
39
30
Cukup
jelas.
Pasal
40
Cukup
jelas.
Pasal
41
Cukup
jelas.
Pasal
42
Cukup
jelas.
Pasal
43
Cukup
jelas.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Cukup
jelas.
Pasal
46
Cukup
jelas.
Pasal
47
Cukup
jelas.
Pasal
48
Cukup
jelas.
Pasal
49
Cukup
jelas.
31
Pasal
50
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “lembaga tertentu” adalah
lembaga
yang sudah terakreditasi menyediakan konseling
layanan
bagi pelaku. Misalnya rumah sakit, klinik,
kelompok
konselor, atau yang mempunyai keahlian
memberikan
konseling bagi pelaku selama jangka waktu
tertentu.
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada
hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan
maksud
untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan
menjaga
keutuhan rumah tangga
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Cukup
jelas.
Pasal
53
Cukup
jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Alat bukti yang
sah lainnya dalam kekerasan seksual yang
dilakukan selain
dari suami istri adalah pengakuan terdakwa.
Pasal 56
Cukup
jelas
B.PENGERTIAN.
1.Pengertian
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut pendapat Saya Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
bahwa
korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus
mendapat perlindungan dari negara atau masyarakat agar terhindar dan terbebas
dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Sebagai contoh Perlindungan hukum
bagi perempuan khususnya istri yg menjadi Kekerasan Suami, walaupun dalam KUHP
ada beberapa Pasal yang mampu menjerat pelaku kekerasan ini, namun kelihatannya
belum efektif dalam penanggulangan dalam bentuk kekerasan ini. Hal ini dapat
diliat dari berbagai data dari kepolisian maupun pengadilan yang sangat minim
sekali dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap istri.
2.Definisi
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Definisi
Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam
Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh
tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen.
Di
Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun
2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi
penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya
mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang
sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga
seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik,
psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang
dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan
tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan
sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang
membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana,
undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam
memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian,
bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat
penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang
selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Terobosan
hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi
aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU
PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan
anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada
huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga
dipandang sebagai anggota keluarga. Identifikasi kekerasan terhadap pekerja
rumah tangga sebagai kekerasan domestik sempat mengundang kontraversi karena
ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka
relasi pekerjaan (antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT
mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang
perburuhan di Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban
kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau
ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
UU
PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana
persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU
PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana
Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami
terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan
pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi
unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi
ditindaklanjuti.
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai
dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali
lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang
dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007,
terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan.
Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787
tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522
tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan
cukup tajam sejak tahun 2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun
berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9% - 30% (tahun 2005, 30% tahun
2006), 9% dan tahun 2007 11%.
KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka
KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara
tahun 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus
KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus,
dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111
pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak berasal
dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa
Tengah, dan 31 di Jawa Timur).
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini
menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya
kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan kesadaran serta
keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang
dialaminya,pada khususnya.
3. Teori-Teori Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pemikiran
tentang teori-teori kekerasan sudah ada sejak dahulu kala dari
pemikiran Thomas
Hobbes misalnya, sampai pada perkembangan pola pikir masyarakat
tentang
kekerasan yang lebih modern, seperti pada masa Sigmund Freud, telah lahir
berbagai macam
pandangan teoritis tentang kekerasan itu. Tiap-tiap teori tersebut
mencoba menggali
jawaban atas pertanyaan yang sifatnya pun dinamis, berkaitan dengan
asal mula atau
sebab akibat munculnya kekerasan. Tiap-tiap teori tersebut menunjukkan
perbedaan figur
pelaku, korban maupun cara kekerasan yang dipergunakan, tergantung
dari lingkungan
maupun relasi antara pelaku maupun korban. Akan tetapi yang dapat
diambil sebagai
sebuah benang merah yang menghubungkan keterkaitan secara tidak
langsung dari
satu teori dengan teori yang lain adalah bahwa kekerasan tersebut
dilakukan untuk
mendapatkan sebuah kepentingan dari diri korban oleh pelaku dengan
menggunakan inti
dari kekuatan diri, yaitu kekuasaan yang ada pada diri pelaku.
Dari kebanyakan
teori yang membicarakan tentang kekerasan dapat dikategorikan
ke dalam dua
golongan, yaitu teori kekerasan yang mendasarkan pengembangan
berpikirnya atas
bentuk kekerasan individu dan teori kekerasan yang mendasarkan pada
bentuk kekerasan
kolektif/kelompok. Akan tetapi dalam pengembangannya nanti,
perluasan konsep
lebih banyak dilakukan terhadap teori kekerasan yang mendasarkan
pada
pengembangan berpikir atas kekerasan kolektif.
Berkaitan
dengan teori kekerasan yang mendasarkan pola pemikirannya atas
fenomena
kekerasan individu, maka terdapat dua teori besar yang mencoba mencerna
tentang
keberadaan kekerasan pada diri seseorang. Kedua teori tersebut antara lain
adalah
teori kekerasan
sosio-anthropologis dan teori kekerasan genetika.
1. Teori sosio-anthropologi,
menyatakan bahwa
manusia itu adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Bagi Hobbes, dan tentu saja hingga kini
masih sangat diyakini oleh para pengikutnya, dalam diri seseorang senantiasa
bersemayam benih-benih kekerasan. Manusia, manakala diganggu kepentingannya,
maka ia akan menyerang. Sedangkan kalau memiliki suatu kemauan atau kehendak,
maka manusia tersebut tak tanggung-tanggung lagi untuk menyerbunya dan
merampasnya kalau adainsan lain yang memiliki apa yang dimauinya itu. Perilaku
agresif ini dibenarkan oleh Sigmmund Freud dengan menegaskan bahwa agresifitas
yang dimiliki manusia
sebenarnya
bersifat bawaan dan tak terelakkan. Ia akan semakin dominan dalam kehidupan
manusia sehingga pada akhirnya naluri thanatos
atau daya mematikan akan melebihi naluri eros atau daya menghidupkan.
2. teori genetik,
merupakan konsep
teori yang diambil dari sisi ilmiah.
Teori ini
menyatakan bahwa kekerasan merupakan hasil suatu rangkaian reaksi kimiawi
yang terjadi
dalam fungsi otak seseorang. Ini terjadi karena suatu zat tertentu, serotinin,
kurang pasoknya
ke otak. Akibatnya, emosipun menyala dan daya kendalipun melumpuh.
Hanya bila kadar
serotin dalam otak seseorang pada kadar yang memadai, ia baru bisa
berpikir sehat
dan hidup normal. Pandangan ini secara langsung mengarah pula pada diri
seseorang, taraf
tinggi rendahnya kekerasan, ditentukan faktor gen atau keturunan.
Sedangkan
teori-teori kekerasan yang mendasarkan pada pengembangan pola
pikir atas
fenomena kekerasan kolektif / kelompok, dapat ditunjukkan dengan keberadaan
teori
psikologis, teori instink, teori revolusi, teori konflik serta teori
frustasi-agresi.
a.Teori Psikologis.
Teori
psikologis adalah teori yang berbicara tentang sumber dan ciri agresi di
semua manusia,
tanpa memperhitungkan budayanya. Teori psikologis memberikan
landasan
motivasional bagi teori tentang kekerasan politik dan memberikan cara untuk
mengidentifikasi
pengoperasian beberapa variabel penjelas.
Ada tiga asumsi
psikologis yang berbeda tentang sumber genetik agresi manusia :
(1) bahwa agresi
bersifat instinktif; (2) bahwa agresi semata-mata untuk dipelajari; atau
(3) bahwa agresi
merupakan respon innate atau
inisitif yang didorong oleh frustasi.
Asumsi ini
bersifat di sebagian pendekatan teoritis terhadap pertikaian dalam masyarakat
yang tidak
memiliki landasan motivasional yang eksplisit.
b. Teori Instink.
Teori
Instink ini sebenarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari asumsiasumsi
yang terlahir
dari teori psikologis, yaitu agresi yang bersifat instink. Freud dan
Lorenz, sebagai
pendukung teori ini, masing-masing menyatakan tentang keterkaitan dari
dorongan bagi
tindakan desktruktif terhadap instink yang mati dan tentang agresi sebagai
instink yang
meningkatkan ketahanan hidup. Kedua pernyataan tersebut mengasumsikan
bahwa sebagian
besar atau semua manusia di dalam dirinya memiliki sumber dorongan
agresif yang
sifatnya otonomi, suatu dorongan untuk melakukan agresi yang di dalam
kata-kata Lorenz
menunjukkannya dengan ”ledakan tak
tertahankan yang muncul teratur
secara ritmis”. Oleh pendukungnya, teori ini seringkali
dipergunakan dalam menjelaskan
agresi kolektif
maupun individu. Teori ini sekilas juga nampak dalam pandangan Hobbes
tentang
karakteristik manusia dalam keadaan alami, dan mungkin pula tersirat dalam
bahasa Nieburge
tentang ”kapabilitas manusia untuk
marah, tak terkendali dan
melakukan kekerasan berdarah”, akan tetapi asumsi yang
mendasari teori ini tidak
memiliki peran
signifikan dalam teori kontemporer tentang pertikaian sipil.
c. Teori Revolusi.
Secara
umum, dalam mempelajari teori-teori revolusi diperlukan kriteria-kriteria
evaluatif,
diantaranya : (1) teori tersebut harus menetapkan faktor mana yang relevan
dengan revolusi
; (2) harus diberikan penjelasan tentang mengapa atau bagaimana faktor
ini menjadi
relevan; dan (3) teori-teori tersebut harus diuji dan disesuaikan dengan baukti
yang ada.
Kebanyakan
teori-teori revolusi yang dibahas dalam berbagai literatur, semuanya
didasarkan pada
pendekatan standar terhadap studi ilmu politik, tetapi spesifitas dan
kekuatan asumsi
pentingnya sangat beragam. Beberapa nama dibalik teori revolusi ini,
diantanya adalah
Olson dengan teori Olson. Teori Olson mengandalkan asumsi pilihan
rasional yang
dibacarakan di muka, dalam kaitannya dengan teori ekonomi barang
publik. Asumsi
yang ada tersebut memungkinkan Olson membuat argumen yang sangat
ketat tentang
sifat aksi kolektif pada umumnya. Asumsi tersebut, cukup restruktif untuk
memungkinkan
Olson menentukan teori yang tepat tentang perilaku politik massa. Si sisi
lain asumsi
bahwa aksi politik massa didasarkan pada perhitungan rasional patut
dipertanyakan,
khususnya dalam konteks gerakan revolusioner.
d. Teori KOnflik.
Teori
konflik secara eksplisit mencoba memberi asumsi tentang perilkau rasional
dan saling
ketergantungan antara keputusan yang saling berlawanan di semua jenis
koflik.
Dalam
penukapannya, para pemikir dibalik teori konflik ini terbiasa memberikan
semacam
perbedaan sebagai batasan dari teori konflik, yang disebut konflik realistis
dan
non realistis
(coser), atau konflik rasional dan non rasional (Schellling) atau perlikau
destruktif dan
perilaku konflik (Galtung). Esensi perbedaan ini terletak antara tindakan
yang menjadi
alat mengamankan nilai yang diperjuangkan dan tindakan yang menjadi
alat mengamankan
nilai yang diperjuangkan dan tindakan destruktif demi kepentingan
mereka sendiri.
Coser dan Galtung mengungkapkan bahwa dua unsur ini selalu ada
dalam setiap
konflik. Galtung juga membuat landasan teoritis tentang landasan ini, bahwa
perilaku konflik
cenderung menjadi perilaku destruktif dan perilaku destruktif cenderung
menjadi upaya
penguatan diri.
e. Teori Frustasi-Agresi.
Dasar
pijakan berpikir teori ini adalah asumsi teori Psikologis yang menyatakan
bahwa kebanyakan
agresi terjadi sebagai respons terhadap frustasi.
Teori
frustasi-agresi telah berkembang lebih sistematis dan memiliki dukungan
empiris yang
lebih banyak dibanding teori yang berasumsi bahwa semua manusia
memiliki sumber
energi destruktif yang mengalir dalam diri manusia atau bahwa semua
agresi bersifat
imitatif dan instrumental. Dollard dan kerabatnya di Yale pada tahun 1939
menyatakan bahwa
”terjadinya agresif selalu
mensyaratkan keberadaan frustasi dan
sebaliknya bahwa keberadaan frustasi selalu menimbulkan bentuk agresi.”
Miller kemudian
memberikan klarifikasi bahwa frustasi menghasilkan dorongan
terhadap
berbagai respons, salah satunya agresi. Bila respons non agresi tidak dapat
menghilangkan
frustasi, maka semakin besar probabilitas bagi dorongan agresi sehingga
pada akhirnya
terjadilah beberapa respons agresi.
Secara
keseluruhan, kekerasan sebagai manifestasi agresivitas dan kekuatan
destruktif yang
ada pada setiap orang secara individu maupun secara kolektif pastinya
akan menjadi
sangat baik aktual bila hanya dilihat sebagai sebuah peristiwa tunggal yang
berdiri sendiri.
Karenanya ia pun (kekerasan tersebut), meminta wilayah yang melingkupi
konteks
sosio-kultural-ekonomi, dan politik yang lebih luas, terlebih lagi karena
memang
kekerasan dapat
terjadi pada domain mana saja. Dan oleh sebab itulah, akhir-akhir ini
muncul fenomena
kekerasan budaya.
C. Analisis Kasus Tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
a. Latar
Belakang.
Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang sering terjadi di
semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun rendah. Kekerasan
dalam Rumah Tangga terjadi karena adanya ketidaksetaraan gender dan
ketidaksetaraan kekuasaan yang diyakini dalam masyarakat. Ketidaksetaraan
gender dan ketidaksetaraan kekuasaan menimbulkan ketidakharmonisan dalam Rumah
Tangga sehingga perlu dilakukan perubahan
mendasar dan
berkelanjutan. Dalam kesempatan ini penulis mengemukakan tiga permasalahan
mengenai Analisis Yuridis Kekerasan dalam Rumah Tangga dan gender ditinjau
dalam masyarakat suku Madura.
yang Saya angkat
adalah:
1.
Bagaimana bentuk - bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
2.
Apa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?
3.
Bagaimana penanganan kekerasan dalam Rumah Tangga?
Dalam penelitian
ini menggunakan dua sumber data, yaitu Data Primer dan Data Sekunder.
A. Data
Primer.
Data Primer adalah Data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan melalui metode diskusi, interview dan Observasi,
Sedangkan
B. Data
Sekunder.
Data Sekunder adalah
Data yang diperoleh melalui penelaahan buku-buku literatur secara
teoritis,
literatur, artikel internet, dan lainlainnya.
Metode
yang digunakan adalah deskriptif dan kualitatif. Pendekatan studi kasus.
Analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif. Dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitianberdasarkan
faktafakta yang nampak atau sebagaimana adanya. Agar penulis dapat memberikan gambaran
dan kesimpulan mengenai analisis yuridis kekerasan dalam rumah tangga dan
gender ditinjau dalam masyarakat suku Madura. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa bentuk – bentuk.
kekerasan
dalam rumah tangga yang dialami oleh responden dalam penelitian ini adalah
kekerasan fisik; contohnya memukul, menampar, menjambak, meninju. Kekerasan
psikis, contohnya menghina, mengancam, mengisolasi; kekerasan seksual contohnya
melakukan hubungan dengan cara yang tidak wajar;kekerasan ekonomi, contohnya
tidak memberi nafkah kepada istrinya. Akar masalah terjadinya kekerasan dalam
Rumah tangga disebabkan oleh faktor individu, faktor sosial ekonomi,
faktorsosial Budaya, dan faktor religi. Upaya penanganan kekerasan dalam rumah
tangga dilakukan dengan jalur litigasi (menggunakan jalur hukum) dan jalur
nonlitigasi (musyawarah dan mufakat) namun tetap melibatkan pihak ketiga
sebagai mediatornya.
b.
Bentuk-Bentuk
Kekerasan Terhadap Istri / Perempuan
Berbicara
tentang bentuk-bentuk KTP, maka untuk lebih jelasnya sebuah penelitian dengan
tema KTP yang dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Sumatera Utara
bekerjasama dengan Mc Gill University, Montreal, Canada dan ICIHEF Jakarta
untuk kurun waktu tahun 2002, dapat dijadikan acuan pemaparan. Penelitian ini
mengambil tempat Medan, dengan subyek (populasi) para istri, yang secara khusus
(sampel) bekerja sebagai tenaga pengajar di SD, SLTP, SLTA, maupun Perguruan
Tinggi. Sampel diambil berdasarkan teknik sampling snowball dan purposive, yang
berdasarkan pada prinsip teori nonprobalitas. Data penelitian dihimpun melalui
metode studi dokumentasi, Focused Group Discussion (FGD), wawancara mendalam
(Deepth
Interview)
tersebut, mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri ke dalam
4 (empat)
kelompok, yaitu :
1. Kekerasan
Fisik.
Bentuk-bentuk
kekerasan fisik antara lain : dipukul, dilempar dengan piring,
dijambak
rambutnya,. Bentuk-bentuk kekerasan ini memiliki intensitas dan frekwensi
yang berbeda
pada setiap subyek penelitian. Misalnya pemukulan, pada sebagian istri
pemukulan sampai
meninggalkan bekas yang nampak, seperti luk memar di tubuh
korban, bahkan
menyebabkan istri menjadi kurang pendengaran, tetapi pada subyek
penelitian lain
tidak berbekas.
Dari
segi tingkat keseringan terjadi kekerasan, pada sebagian informan kekerasan
dilakukan suami hampir setiap kali bertengkar atau setiap kali suami marah,
tetapi sebagian yang lain hanya mengalami sekali atau beberapa kali selama
perkawinan.
2. Kekerasan
Psikologis.
Kekerasan
psikologis yang dialami istri memang tidak menimbulkan bekas seperti
kekerasan fisik,
tetapi kekerasan psikologis dapat meruntuhkan harga diri bahkan
memicu dendam
seorang istri terhadap suami. Satu penelitian melaporkan bahwa
sebagian korban,
kekerasan psikologis justru lebih sulit diatasi daripada kekerasan fisik.
Seluruh
istri yang dijadikan subyek pada penelitian ini mengalami jenis kekerasan
psikologis
dengan frekwensi dan intensitas yang berbeda. Kekerasan psikologis yang
dialami seorang
istri adalah dalam bentuk caci-maki, kata-kata kasar, ancaman (ancaman
dieraikan,
dipukul atau dibunuh), pengabaian, penolakan dan tuduhan.
3. Kekerasan
Ekonomi.
Tidak
diragukan bahwa seorang istri yang bekerja dengan menghasilkan uang
dapat menopang
ekonomi keluarga. Akan tetapi, kenyataan ini bukan malah
menyadarkan
suami untuk menghargai istri. Penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan
istri yang
bekerja dimanfaatkan oleh suami untuk melakukan kekerasan ekonomi
terhadap
istrinya. Sebagian suami tidak mau memberikan sebagian gajinya karena
mereka tahu
bahwa istrinya berpenghasilan. Para suami ini sangat yakin bahwa istri akan
menggunakan
gajinya karena mereka tidak akan membiarkan anaknya kelaparan.
Sementara
itu, sebagian istri juga tidak terlalu menuntut agar suaminya menyerahkan
gajinya, dan
memilih untuk menggunakan penghasilan mereka untuk memenuhi
kebutuhan
keluarga. Dalam kasus seperti ini, kekerasan ekonomi yang dialami oleh para
responden kadang
tidak dianggap oleh mereka sebagai suatu kekerasan.
4. Kekerasan
Seksual.
Seks
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan dasar dari
sebuah
perkawinan. Seks menjadi sarana untuk memperoleh keturunan, kenikmatan
seksual, dan
kepuasan seksual. Darwin menyatakan bahwa kepuasan seksual merupakan
salah satu
faktor penentu dalam kehidupan keluarga. Namun bila salah seorang dari dua
insan yang
sedang melakukan hubungan seksual tidak menikmatinya, maka hubungan
seksual dapat
merupakan sesuatu yang dihindari, bahkan dibenci.
Banyak
pasangan suami istri yang tidak menikmati hubungan intim yang mereka
lakukan. Seks
bagi mereka dapat beban, bahkan dapat dipandang sebagai sesuatu yang
harus dihindari.
Hal ini terjadi karena salah satu merasa tidak diperlakukan selayaknya.
Satu pihak
memaksakan kehendak seksualnya tanpa memperhatikan pihak lain.
Pemaksaan dan
ketidakacuhan terhadap hasrat dan kepuasan seksual pasangan
merupakan salah
satu bentuk kekerasan seksual.
Bentuk-bentuk
kekerasan seksual yang dialami subyek penelitian ini antara lain :
dilecehkan
setelah melakukan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual tanpa
persetujuan istri,
dan tidak memenuhi kebutuhan seks istri karena suami punya istri lain,
serta
perselingkuhan atau hubungan suami dengan perempuan lain di luar nikah.
Sedangkan secara
umum dari bebagai pendapat sarjana, maka bentuk-bentuk
kekerasan
terhadap istri (sebagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan) :
1. Kekerasan
sesualitas, yaitu kekerasan seperti : perkosaan, percobaan perkosaan,
pelecehan
seksual baik itu yang dilakukan dengan kata-kata (verbal) maupun tindakan (non
verbal) ;
2. Kekerasan
fisik yaitu bentuk-bentuk kekerasan yang pengertian dasarnya senantiasa
dikaitkan dengan penganiayaan, yaitu apabila didapati perlakuan yang bukan
dikarenakan kecelakaan. Perlakuan tersebut dapat diakibatkan oleh suatu kekerasan
tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga sampai yang fatal. Batasan
intensitas kekerasan fisik tersebut sangat relatif karena dapat ditinjau dari
akibat kekerasan dan cara melakukan kekerasan. Akan tetapi apabila didapati
luka memar di wajah, hal ini mengakibatkan telah timbulnya kekerasanakibat
penganiayaan. Begitu pula pukulan fisik berupa pukulan dengan tangan terkepal
atau dengan alat yang keras, menendang atau menyebabkan luka bakar adalah jelas
merupakan penganiayaan, terlepas dari berat ringanya luka yang timbul ;
3. Kekerasan
ekonomi seperti : pengekangan terhadap istri untuk tidak bekerja tanpa dipenuhi
kebutuhannya, pemerasaan penipuan;
4. Kekerasan
psikologis sangat sulit diartikan secara implisit karena sensitivitas emosi
seseorang sangat bervariasi. Dimana kekerasan psikologis ini dapat berupa
pencemaran nama baik, julukan yang mengandung olok-olokan, membuat menjadi
bahan tertawaan, cemburu yang berlebihan, ancaman, membatasi aktifitas
(mengisolasi), caci maki, menghina, dsb.
c.
Faktor-faktor
yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Secara
garis besar tindak kekerasan terhadap terhadap ostri terjadi dikarenakan
beberapa faktor:
a. Budaya patriarkhi
Budaya
yang meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior,
sehingga
laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
b. Interpretasi yang keliru terhadap ajaran agama
Seringkali ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin perempuan
diinterpretasikan sebagai pembolehan dalam mengontrol dan menguasai istrinya,
secara berlebihan dan tidak sebenarnya.
c. Pengaruh role model Laki-laki sebagai perilaku
seringkali mengekspresikan kemarahan mereka dengan melakukan tindak kekerasan
karena pengalaman yang diperoleh dari keluarga asalnya. Anak laki-laki yang
tumbuh di dalam lingkungan keluarga dimana ayah sering memukul
atau berperilaku
kasar terhadap ibunya pada umumnya cenderung akan meniru polatersebut kepada
pasangannya. :
d.
ketidakmandirian istri secara ekonomi yang menyebabkan tergantung kepada suami.
Ketergantungan
tersebut suami merasa berkuasa dan melakukan kesewenang-wenangan,
salah satu
bentuknya adalah kekerasan terhadap istri. Akan tetapi ternyata pula seorang
istri yang
bekerja pun dapat saja menjadi korban kekerasan oleh suami mereka.
e. Adanya persoalan
psikis dalam diri suami yang disebabkan tekanan pekerjaan maupun persoalan
pribadi di rumah, sehingga menimbulkan stress yang berujung pada tindak
kekerasan suami terhadap istri.
f. Adanya
kecenderungan masyarakat umum yang memeandang personal KDRT
termasuk
didalamnya KTI sebagai suatu persoalan pribadi.
Ditinjau
dari lingkup rumah tangga itu sendiri, maka hal-hal yang menimbulkan
kekerasan dalam
rumah tangga, diantaranya :
1. Citra
diri yang rendah dan frustasi.
Citra
diri yang rendah dari suami serta rasa frustasi karena kurang mampu
mencukupi
kebutuhan keluarga dimana sebaliknya dengan kondisi si istri yang
lebih darinya,
memudahkan timbulnya salah penerimaan dalam diri suami
terhadap segala
sesuatu yang berhubungan dengan urusan keluarga, yang hal ini
pula akan
memudahkan timbulnya tinvdakan pemukulan atau kekerasan lainnya
sebagai
pelampiasan.
2. Kekerasan
sebagai upaya menyelesaikan masalah.
Dimana
kekerasan dipandang sebagai sarana jitu dalam menyelesaikan permasalahan dengan
istri daripada melakukan pembicaraan secara baik-baik dengan mereka. Terkadang
tindakan ini (pada umat Islam) didasari oleh adanyapemahaman secara ansich atas Q.S. An-Nisa : 34, berupa
diperbolehkannya pemukulan dilakukan sebagai hukuman bagi seorang istri yang nusyuz. Maka kata ”pemukulan” dalam
Q.S. An-Nisa (4) : 34, dalam ayat tersebut diisyaratkan dari kata wadribuhunna yang memeiliki
pengertian secara leksikal ”pukullah perempuan yang melalaikan kewajiban
sebagai seorang istri”.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut
pendapat Saya Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah bahwa segala bentuk
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak
asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus.
bahwa
korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus
mendapat perlindungan dari negara atau masyarakat agar terhindar dan terbebas
dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Berdasarkan
hasil dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pelaku
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah berusia antara
21 s/d 30 tahun.
2. Korban
dari kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar adalah wanita yang berstatus
sebagai istri dan pelakunya adalah laki-laki yang berstatus sebagai suami.
3. Bahwa
factor-faktor yang menyebabkan adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah
factor fisik, ekonomi (ketergantungan istri terhadap suami), dan jugakecend
erungan masyarakat umum yang menganggap Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
suatu hal yang tabu untuk di buka di muka umum.
4. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh Polres Lamongan sudah sesuai dengan wewenang-wewenang
kepolisian yaitu dengan upaya-upaya penegakan hokumdan pencegahan secara
edukatif, dan penanggulangan secara represif.
Comments
Post a Comment
komen sangat di harapkan boss.