TERORISME
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan kejahatan terorisme
global telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan baik modus,
kuantitas maupun kualitasnya, Indonesia tidak lepas dari sasaran terorisme.
Terungkap fakta adanya keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan
internasional. Selain ancaman terorisme, ancaman non tradisional lainnya yang
muncul saat ini telah merebak pula lewat pintu sendi kehidupan bangsa.
Aktifitas teroris telah membidik dan
memanfaatkan ideologi dan agama bagi masyarakat dunia sebagai garapan agar
memihak kepada perjuangan mereka. Oleh sebab itu perlu ditangani secara bijak.
Untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan dan kegiatan teroris,
Pemerintah Indonesia menyikapi fenomena terorisme secara arif, menganilisis
berbagai aspek kehidupan bangsa saat ini, guna memerangi aksi terorisme,
bersama dunia internasional.
Dengan memanfaatkan kemampuan
teknologi modern saat ini teroris dapat menghancurkan sasaran yang diijinkan
dari jarak jauh, seperti telepon genggam atau bom bunuh diri seperti yang
terjadi di Bali.
Membendung langkah teroris di
Indonesia, perlu melihat secara obyektif karakteristik daerah, potensi yang
dimilki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing
instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk
tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme harus terukur dan
teruji. Segala upaya untuk menghadang tindakan terorisme harus dilandasi tanpa
mengorbankan kepentingan nasional dan sensitifitas SARA, pada hakekatnya
kemajemukan identitas NKRI harus tetap terjaga. Untuk menengarai, menuduh
bahkan menangkap sekalipun terhadap seseorang atau kelompok orang adalah
teroris, baik teroris lokal maupun teroris internasional tidak mudah.
Memerlukan data akurat dan
pencermatan indikasi-indikasi dalam kurun waktu yang relatif panjang. Dengan
mencermati apa yang telah terjadi modus operandi tindak kejahatan terorisme
berupa bom-bom yang sudah meledak, temuan bom yang belum meledak dan perangkat
yang digunakan terorisme serta tempat persembunyian kaum teroris, ada beberapa
rumusan masalah yang telah teridentifikasi pada pembahasan sebelumnya, yaitu :Penegakan
hukum terhadap penanggulangan terorisme masih lemah.Teroris mudah memanfaatkan
kualitas SDM masyarakat yang masih rendah untuk digalang menjadi simpatisan
atau pelaku bom bunuh diri
Kepedulian masyarakat terhadap kewaspadaan terhadap terorisme masih lemah.
Kepedulian masyarakat terhadap kewaspadaan terhadap terorisme masih lemah.
Kemampuan aparat untuk mendeteksi,
menangkal, mencegah, menangkap tokoh teroris belum optimal. Guna merumuskan
konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam rangka menjaga tetap
tegaknya keutuhan NKRI secara komprehensif dan integral, diperlukan analisis
dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi.
Meskipun tokoh-tokoh penting di
belakang aksi teror telah dapat ditangkap atau terbunuh, beberapa peristiwa
terakhir seperti penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, perburuan teroris di
Sumatera Utara, dan pengungkapan jaringan terorisme di Aceh menandakan mereka
masih eksis.
Pihak kepolisian juga yakin telah
terjadi perubahan dalam pola gerakan mereka. Modus lama berupa peledakan
bom di tempat-tempat umum berganti menjadi aksi teror melalui gerakan
bersenjata.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
di atas ,maka rumusan masalah dalam makalah Analisis ini adalah sebagai
berikut:
1
Apakah terorisme itu dan di
bagaimana mengkatagorikan seseorang sebagai teroris.
2
Apakah yang melatar belakangi kasus
Terorisme.
3
Bagaimana dampak dan menangani kasus
Terorisme tersebut.
C.
Tujuan
Adapun tujuan
penyusun membuat makalah ini adalah
untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat di kemukakan sebagai berikut:
1.
Agar dapat mengerti apakah
terorisme itu dan di bagaimana mengkatagorikan seseorang sebagai teroris.
2.
Agar dapat mengerti apakah yang
melatar belakangi kasus Terorisme.
3.
Agar dapat mengerti Bagaimana
dampak dan menangani kasus Terorisme
tersebut.
D.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan paper
ini yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan mempelajari
buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan berkaitan dengan apa yang di analisis.
2. Bahan – bahan tambahan yang
didapatkan melalui Intenet.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan paper ini di bagi menjadi 4 bab,
sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan
pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : DASAR TEORI, Pada bab ini diuraikan sekilas
mengenai pengertian dari Tindak pidana, definisi Terorisme ,Kireteria terorisme
serta landasan hukamnya.
BAB III : PEMBAHASAN, Pada bab ini menguraikan
mengenai permasalahan yang di analisis yaitu undang undang no 1 tahun 2002 pada
kasus terorisme bom cirebon di masjid kantor palisi , serta latar belakang
,dampak dan penanganan seputar kasus terorisme..
BAB IV : PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan
tentang kesimpulan da saran dari analisis undang undang no 1 tahun 2002 pada
kasus terorisme atas paper yang telah dibuat ini.
BAB II
DASAR TEORI
A.
Pengertian
1.
Definisi Tindak
Pidana Terorisme
Tindak
Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa
saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam
ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap
orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
a)
Dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang
lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 6).
b)
Dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan
harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional (Pasal 7)
Dan
seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan
ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan
oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
a)
Adanya rencana untuk melaksanakan
tindakan tersebut.
b)
Dilakukan oleh suatu kelompok
tertentu.
c)
Menggunakan kekerasan.
d)
Mengambil korban dari masyarakat
sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
e)
Dilakukan untuk mencapai
pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial,
politik ataupun agama.
1.1 Definisi tindak pidana(Strafbaar
feit) menurut para ahli
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003:1) mengemukakan
bahwa:
Tindak pidana adalah pelanggaran
norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan
hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan
suatu hukuman pidana.
Menurut Moeljatno (1993:9) menyatakan istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial.
Menurut Moeljatno (1993:9) menyatakan istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial.
b. pendapat Zainal Abidin Farid (Andi Hamzah, 1994:86)
mengusulkan pemakaian istilah:
“Perbuatan kriminal”, karena
“perbuatan pidana” yang dipakai oleh Moeljatno. Itu jadi kurang tepat karena
dua kata benda bersambungan yaitu “perbuatan” dan “pidana”. Sedangkan tidak ada
hubungan logis antara keduanya, tetapi lebih baik dipakai istilah padanannya
saja yang umum dipakai oleh para sarjana yaitu delik (dari bahasa latin
delictum).
c. Satochid Kartanegara, (Kanter dan Sianturi, 1982:208)
memakai istilah tindak pidana.
Istilah tindak pidana (tindakan)
mencakup pengertian/berbuat dan/atau pengertian melakukan, tidak berbuat, tidak
mencakup pengertian mengakibatkan dan/atau tidak melakukan. Istilah peristiwa
pidananya hanya menunjukkan kepada manusia, sedangkan terjemahan pidana untuk
Strafbaar feit adalah sudah tepat.
d. Menurut Roeslan Saleh (1968:10) menyatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh
atau tidak dapat dilakukan.
e. Menurut Moeljatno (Kanter dan Sianturi, 1982:207) menyatakan bahwa: untuk
menerjemahkan istilah tersebut beliau menggunakan istilah perbuatan pidana
dengan alasan: perbuatan adalah perkataan lazim digunakan dalam percakapan
sehari-hari, seperti: perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya.
f. Menurut Utrecht (Kanter dan Sianturi, 1982:206) bahwa peristiwa pidana itu meliputi
suatu perbuatan hukum atau melalaikan ataupun akibatnya (keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikannya).
Setelah penulis mengetengahkan beberapa pengertian Tindak Pidana (
strafbaar feit) yang dikemukakan oleh pakar hukum yang memberi kesan bagi
penulis, bahwa para pakar hukum tersebut belum sepakat tentang istilah yang
beragam untuk terjemahan strafbaar feit.
1.2 Unsur unsur Tindak pidana Menurut para Ahli
Moeljatno, unsur-unsur perbuatan
(tindak) pidana :
a.
perbuatan manusia
b.
memenuhi rumusan UU (syarat formil : sebagai
konsekuensi adanya asas legalitas)
c.
bersifat melawan hokum (syarat materiil : perbuatan harus
betul-betul dirasakan oelh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau
tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat)
d.
Kesalahandan kemampuan bertanggungjawab tidak masuk
sebagai unsure perbautan pidana karena unsur ini terletak pada orang yang
berbuat.
Unsur-unsur tindak pidana pemidanaan menurut Sudarto :
Syarat pemidanaan pidana Mencakup:
a. Perbuatan
1)
memenuhi rumusan UU
2)
bersifat melawan hukum (tidak ada
alasan pembenar)
b. Orang (Berupa
Kesalahan / Pertanggungjawaban)
1) mampu
bertanggung jawab
2) dolus atau culpa
(tidak ada alasan pemaaf)
Pandangan
Monistis
Penganut pandangan monistis
adalah : Simons, Van Hamel, E. Mezger, J. Baumann, Karni dan Wirjono
Prodjodikoro. Definisi yang dikemukakan : tidak adanya pemisahan antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, misalnya :
Simons,
unsur-unsur tindak pidana :
a. Perbuatan
manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)
b. diancam dengan
pidana
c. melawan hukum
d. dilakukan
dengan kesalahan
e. orang yang
mampu bertanggungjawab.
Kesimpulan
terhadap perbedaan antara pandangan monistis dan dualistis :
a. Untuk
menentukan adanya pidana, kedua pandangan ini tidak mempunyai perbedaan yang
prinsipiil
b. Bagi yang
berpandangan monistis, orang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana.
c. Bagi yang
berpandangan dualistis, orang yang melakukan tindak pidana belum mencukupi
syarat untuk dipidana karena harus disertai pertanggungjawaban pidana yang ada
pada diri orang yang berbuat.
2.
Definisi Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu
pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta
seringkali merupakan warga sipil.
2.1 Definisi Teroris oleh para ahli
Definisi tentang terorisme belum mencapai
kesepakatan yang bulat dari semua pihak karena disamping banyak elemen terkait
juga dikarenakan semua pihak berkepentingan melihat atau menerjemahkan
permasalahan (term of terrorism) dari sudut pandang kepentingan masing-masing.
Masing Masing Pendapat mengenai
terorisme adalah sebagai berikut:
Menurut
Webster’s New World College Dictionary (1996), definisi
Terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate.”
Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi
tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor).
Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan
Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen:
- kekerasan
- tujuan politik
- teror/intended audience.
Menurut
US Federal Bureau of Investigation (FBI)Terorisme
adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta
untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik .
Menurut
Muhammad Mustofa. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan
langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan,
ketidakpastian dan keputusasaan massal .
Menurut
Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk
tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas .
Menurut
TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000,
terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai
tehnik untuk mencapai tujuan
2.2 Karakteristik PsikologisTerorisme
Berdasarkan hasil
studi dan pengalaman empriris dalam menangani terorisme yang dilakukan oleh PBB
dapat disimpulkan beberapa karakteristik psikologis dari pelaku-pelaku
terorisme sebagai berikut :
a.
Bahwa para terorisme umumnya
mempunyai persepsi tentang adanya kondisi yang menindas secara nyata atau
khayalan. Para teroris menganggap bahwa kondisi tersebut harus diubah.
b.
Para teroris menganggap bahwa
proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak akan diperoleh. Dan oleh karenanya
cara kekerasan sah dilakukan yang penting tujuan tercapai.
c.
Pilihan tindakan pada hakekatnya
berkaitan dengan idiologi yang dianut dan tujuan yang oleh pelaku dirasakan
sebagai kewajiban.
d.
Oleh karena itu konsep deteren
konvensional tidak efektif lagi dalam upaya pemberantasan terorisme.
e.
Tanpa upaya resosialisasi dan
reintegrasi kedalam masyarakat, mereka akan lebih radikal dan para pengagum
akan berbuat kekerasan lebih lanjut dan menjadikan mereka sebagai pahlawan (dan
korban sekaligus).
B. Latar belakang di bentuknya uu no 1 tahun 2002
Dalam rangka mencegah dan memerangi
Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang
digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional
maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan
kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan
komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya
kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang
dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali,
merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana
Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.
Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan
pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana
Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat
ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus
serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah
Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang
dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus,
dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat.
Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam
masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena
perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan
diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap
tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam
suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada
dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga
dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus,
berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil
sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis
derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
a) bahwa pengecualian terhadap
Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat
dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
b) bahwa pengecualian termaksud
dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya
berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang
khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak
Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan
melalui banyak cara, seperti:
- Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
- Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
- Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa
dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti
penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk
memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap
keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan
kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi.
Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus
merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas
yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula
bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama
peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak
mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya
mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh
karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan
asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan
untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
C.
Tujuan Dan Sasaran
uu no 1 tahun 2002
1.
Tujuan pertama. Mengalahkan
teroris dan organisasinya. Mengalahkan organisasi teroris dan mencegah
pencapaian tujuan global mereka dengan menggunakan upaya diplomatik, ekonomi,
informasi, penegakan, hukum, militer, finansial, intelijen dan instrumen lain.
Evolusi organisasi
teroris menjadi kelompok-kelompok kecil dan bersifat informal merupakan
tantangan dalam perang melawan terorisme. Pemerintah bersama seluruh komponen
bangsa serta dengan kerja sama internasional akan menjadikan para teroris baik
individu, kelompok pendukung maupun jaringannya sebagai target dalam
pemberantasan terorisme.
Cara terbaik adalah
mengisolasi dan lokalisasi aktivitas teroris dan kemudian menghancurkannya.
Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mereduksi ruang lingkup dan kapasitasnya.
Untuk itu perlu dilakukan identifikasi teroris, melokalisir tempat
persembunyiannya dan menghancurkan merencanakan dan organisasinya. Kita tidak
bisa menunggu sampai terjadi serangan teroris baru merespon.
Sasaran:
a.
Identifikasi teroris dan organisasi
teroris
b.
Melokalisasi teroris dan
organisasinya.
c.
Menghancurkan teroris dan
organisasinya
d.
Membawa para pelaku teroris ke
pengadilan
2.
Tujuan kedua. Meningkatkan
kesiap-siagaan dan kewaspadaan terhadap terorisme. Ditujukan untuk
menghilangkan atau mengiliminir peluang bagi kelompok teroris untuk mendapat
akses ke wilayah Indonesia sebagai tempat persembunyian, tempat beroperasi,
tempat latihan dan tempat merencanakan dan mempersiapkan serangan terorisme,
atau tempat pengumpulan serta pengembangan dana bagi kegiatan terorisme.
Sasaran:
a.
Membangun kesadaran akan tanggung
jawab dan komitmen bersama dalam perang melawan terorisme.
b.
Pengawasan dan pengaturan
kegiatan dari kelompok-kelompok masyarakat yang mengarah pada konflik SARA.
c.
Memperkuat dan mempertahankan kerja
sama internasional dalam perang melawan terorisme.
d.
Melakukan interdiksi terhadap
lalu lintas para teroris melalui pintu-pintu keluar masuk di darat, laut dan
udara serta interdiksi terhadap kemungkinan para teroris memperoleh bahan dan
senjata pemusnah masal.
e.
Memutus hubungan para teroris
dengan sindikat kriminal seperti narkotika, pengiriman tenaga kerja ilegal,
penyelundupan senjata api dan bahan peledak, imigran gelap, dan sebagainya.
f.
Mengembangkan prosedur dan
mekanisme untuk mencegah adanya tempat pelarian dan tempat berlindung para
teroris.
3.
Tujuan ketiga. Meredam
faktor-faktor korelatif yang dapat dieksploitasi sebagai alasan pembenaran
tindakan terorisme dan meredam kondisi-kondisi yang dapat dieksploitasi para
teroris. Walaupun diakui di beberapa negara rakyatnya hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan,
konflik politik dan konflik regional, namun kondisi tersebut tidak boleh
dijadikan pembenaran.
Sasaran:
a.
Berusaha memecahkan
pertentangan-pertentangan regional, penguatan/peningkatan kehidupan di bidang
ekonomi, sosial dan politik, pemerintah yang baik dan penegakan hukum dalam
rangka mengatasi kondisi-kondisi yang sering dimanfaatkan oleh para teroris.
b.
Melakukan upaya memenangkan
perang melawan ideologi terorisme yang mengeksplotir nilai ekstrim keagamaan
sebagai alat pembenaran aksi teroris.
c.
Melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam
kebijakan politik untuk mengakomodir aspirasi kelompok fundamentalis garis
keras dan menyalurkan secara demokratis dalam organisasi politk secara formal.
d. Membangun jaringan kerja bersifat kemitraan dengan segenap instansi
pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah serta dengan komponen masyarakat
non-pemerintah.
4.
Tujuan keempat. Mengarahkan upaya
kolektif nasional untuk mempertahankan kedaulatan, teritorial dan kepentingan
nasional. Upaya ini meliputi perlindungan fisik kepada masayarakat, harta benda
dan kepentingan nasional, sejalan dengan penegakkan prinsip demokrasi. Dengan
meningkatkan dan mengkoordinasikan sistem peringatan dini, kita dapat
mendeteksi rencana-rencana para teroris.
Melalui penegakkan
hukum dan kegiatan intelejen yang terus menerus serta pemburuan terhadap
teroris oleh aparat kemanan, kita dapat menghancurkan kemampuan mereka dalam
melakukan serangan di dalam negeri maupun di luar negeri. Melalui peningkatan
kesiagaan secara fisik, kita dapat mengurangi kelemahan personil, infrastruktur
dan kepentingan-kepentingan lain. Respon terhadap misi yang kompleks ini
memerlukan suatu upaya terkoordinasi dan fokus dari segenap komponen bangsa di
tingkat nasional dan daerah.
D.
Kebijakan
Pemberantasan Terorisme.
1.
Kebijakan Internasional. Dalam
perang melawan terorisme diperlukan upaya komprehensif secara lintas instansi
dan lintas negara. PBB melalui United Nations Terrorism Prevention Branch telah
melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan
secara komperhensif, yaitu sebagai berikut :
a)
Aspek politik dan pemerintahan
(politics and governance)
b)
Aspek ekonomi dan sosial
(economic and social)
c)
Aspek psikologi, komunikasi,
pendidikan (psychology, communication, education).
d)
Peradilan dan hukum (judical and
law)
e)
Aspek kepolisian dan sistem
pemasyarakatan (police and prison system) \
f)
Aspek intelejen (intelligence)
g)
Aspek militer (military)
h)
Aspek imigrasi (immigration)
2.
Kebijakan di berbagai negara.
Pemerintah AS, Inggris, Australia dan Jepang serta sejumlah negara lain
menganggap semua terorisme sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasionalnya
seperti halnya dengan tindakan kriminal. AS dan Australia misalnya bertekad
untuk menggunakan semua daya guna mencegah, menghambat, mengalahkan serta
membahas semua serangan teroris, baik di dalam negeri, di perairan internasional
maupun di negara asing.
Strategi
pemberantasan terorisme diimplementasikan melalui upaya represif, preventif,
preemptif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infrastruktur
pendukung.
Upaya Represif.
a.
Peradilan dan
perundang-undangan.
1)
Pembentukan undang-undang yang
khusus ditujukan untuk pemberantasan terorisme.
2)
Pertukaran informasi dengan
negara-negara lain.
3)
Meratifikasi konvensi-konvensi internasional
dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan upaya
melawan terorisme.
4)
Memperluas perjanjian ektradisi
dengan negara lain.
5)
Merevisi undang-undang dan
ketentuan yang kontra-produktif dalam pemberantasan terorisme.
6)
Penyetaraan ancaman hukuman
terhadap pelaku teror sesuai ancaman hukuman yang berlaku di berbagai negara
dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.
7)
Pemberian perlindungan saksi.
8)
Mempercepat proses peradilan.
9)
Penerapan peradilan khusus.
10)
Penerapan pengadilan in absentia.
b.
Investigasi
1)
Melakukan oleh TKP secara profesional.
2)
Melakukan upaya paksa seperti
penangkapan, penahanan, pemeriksaan sesuai ketentuan hukum dengan menghindari
pelanggaran HAM serta penyimpangan lainnya.
3)
Kerja sama internasional dalam
penyidikan termasuk kerja sama penggunaan teknologi mutakhir dalam penyidikan.
4)
Kerja sama internasional di
bidang teknis seperti laboratorium, cyber forensic, communication forensic,
surveillance, indentifikasi dan dukungan teknis lainnya.
5)
Pelatihan penyelidik di bidang
investigasi pasca pengeboman.
6)
Memperbanyak dan mengintensifkan informan.
7)
Latihan simulasi satuan-satuan
anti teror TNI dan Polri dalam penanganan terorisme.
8)
Mengungkap jaringan teroris
secara tuntas.
9)
Pembebasan sandra.
10)
Pembekuan aset organisasi teroris
dan kelompok yang berkaitan dengan terorisme.
11)
Pelaksanaan undang-undang pencucian
uang secara konsisten.
12)
Penelusuran aliran dana jaringan
teroris dengan menyampaikan kerahasiaan bank.
c.
Intielijen.
1)
Penggunaan teknologi mutakhir
untuk melakukan surveillance dan intersepsi.
2)
Penyusupan ke dalam organisasi
teroris.
3)
Pengembangan sistem deteksi dini.
4)
Pertukaran informasi intelijen
dengan negara lain.
5)
Pembangunan database terorisme.
6)
Deteksi dini terhadap provokasi
ke arah permusuhan bernuansa SARA dan kebencian terhadap kelompok agama atau
negara tertentu.
d.
Militer.
1)
Serangan ke markas teroris untuk
penangkapan.
2)
Pembebasan sandra.
3)
Pengamanan VIP dan instalasi
vital.
4)
Penyiapan pasukan khusus anti
teroris.
Upaya Preventif.
a.
Peningkatan pengamanan dan pengawasan
terhadap senjata api.
b.
Peningkatan pengamanan terhadap
sistem transportasi.
c.
Peningkatan pengamanan sarana
publik.
d.
Peningkatan pengamanan terhadap
sistem komunikasi.
e.
Peningkatan pengaman terhadap
VIP.
f.
Peningkatan pengamanan terhadap
fasilitas diplomatik dan kepentingan asing.
g.
Peningkatan kesiap-siagaan
menghadapi serangan teroris.
h.
Peningkatan pengamanan terhadap
fasilitas internasional.
i.
Pengawasan terhadap bahan peledak
dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom.
j.
Pengetatan pengawasan perbatasan
pintu-pintu keluar-masuk.
k.
Pengetatan pemberian dokumen
perjalanan (paspor, visa dan sebagainya).
l.
Harmonisasi kebijakan visa dengan
negara tetangga.
m.
Penertiban pengeluaran KTP dan administrasi
kependudukan.
n.
Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah
pada aksi teror.
o.
Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa.
p.
Kampanye anti teroris melalui
media massa, yaitu meliputi :
1)
Peningkatan kewaspadaan masyarakat
terhadap aksi teroris.
2)
Sosialisasi bahaya terorisme dan
kerugian akibat tindakan teroris.
3)
Penggunaan public figures
terkenal untuk mengutuk aksi teroris.
4)
Pemanfaatan eks pelaku teroris
yang telah sadar dalam kampanye anti terorisme.
5)
Penggunaan wanted poster dan
dipublikasikan.
6)
Pemanfaatan pelatihan pers yang
meliput berita tentang aksi terorisme.
q.
Penyelenggaraan pelatihan pers
yang meliput berita tentang aksi terorisme.
r.
Pelarangan penyiaran langsung
wawancara dengan teroris.
s.
Pelarangan publikasi
naskah-naskah dan pernyataan-pernyataan para teroris.
Upaya Preemptif
a.
Pencerahan ajaran agama oleh
tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk
mengeliminir dan radikalisme pemahaman ajaran agama oleh kelompok-kelompok
fundamentalis garis keras.
b.
Penyesuaian kebijakan politik dan
pemerintahan sebagai berikut :
1)
Merespon tuntutan politik teroris
dengan kebijakan politik yang dapat mengakomodir aspirasi kelompok radikal.
2)
Pelibatan kelompok-kelompok
radikal yang potensial mengarah pada tindakan teror dalam penyelesaian konflik
secara damai melalui dialog, negosiasi dan sebagainya.
3)
Penawan konsesi politik bagi
kelompok-kelompok yang bergerak di bawah tanah menjadi gerakan formal secara
konstitusional.
c.
Pelibatan partai politik dan
organisasi kemasyarakatan/LSM yang mempunyai kesamaan atau kemiripan visi dan
idiologi dalam dialog dengan kelompok-kelompok radikal.
d.
Penetapan secara tegas organisasi
teroris dan organisasi terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.
Upaya Resosialisasi
dan Rehabilitasi.
a.
Reedukasi terhadap para pelaku
teroris yang telah mengalami “cuci otak” dengan ideologi ekstrim/radikal
sehingga eks-pelaku dapat diresosialisasikan dan direintegrasikan ke dalam
cara-cara berfikir normal kehidupan kemasyarakatan.
b.
Perbaikan sarana prasarana serta
fasilitas publik yang rusak
c.
Normalisasi pelayanan publik dan kegiatan
masyarakat.
E.
Pengembangan
infrastruktur pendukung pemberantasan terorisme .
1.
Dukungan melalui bantuan
internasaional untuk pengadaan peralatan dan teknologi canggih untuk melawan
terorisme bagi Polri, Intelijen, TNI dan fasilitas koordinasi (Desk KPT).
2.
Peningkatan kualitas SDM
satuan-satuan pelaksana lapangan (Pain, TNI, Intelijen serta instansi terkait
lainnya).
3.
Peningkatan kualitas SDM di
jajaran penegak hukum (penyidik, jaksa, hakim) dalam proses peradilan terorisme
agar setara dengan negara-negara lain.
4.
Pembangunan kapasitas organisasi
lembaga koordinasi agar efektif dalam mengantisipasi perkembangan ancaman
terorisme yang diperkirakan akan terus berlanjut.
5.
Penetapan kelembagaan secara
permanen dengan besaran organisasi sesuai skala perkembangan kegiatan
pemberantasan terorisme dengan personil yang permanen pula.
6.
Pengembangan jaringan kerja
melalui kemitraan, dengan instansi pemerintah dan lembaga non-pemerintah
terkait dalam upaya pemberatasan terorisme.
7.
Pengembangan kemitraan untuk
kajian dan sosialisasi terorisme dengan lembaga akademik independen dan netral.
8.
Pengembangan kemitraan dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan partisipasi dalam memenangkan
perang melawan ideologi terorisme.
Tuntutan Kemampuan
Menghadapi (Krisis-Akibat) Terrorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yang
dilakukan dalam implementasi strategi serta besar, luas dan kompleksnya dampak
terorisme, maka untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan
sebagai berikut :
a.
Pemerintah, memiliki kemampuan
antara lain :
1)
Mampu membuat kebijakan politik
dan ekonomi yang baik
2)
Mampu bertindak tegas dan tepat.
3)
Mampu membuat program sosial
ekonomi yang populer.
4)
Mampu bekerja sama dan berkoordinasi
dengan instansi/badan dalam negeri dan bekerja sama antar negara.
b.
Organisasi Antiteror, memiliki
kemampuan antara lain
1)
Mampu melaksanakan kebijakan
nasional antiteror yang digariskan pemerintah.
2)
Menguasai pengetahuan tentang
terorisme.
3)
Mampu bekerja sama dengan
badan/lembaga lain dalam dan luar negeri.
4)
Mampu memberi arahan kepada
satuan pelaksana. e. Mampu memberi saran ke satuan atas.
5)
Menguasai masalah hukum,
intelijen dan teknologi.
c.
Satuan Antiterror, memiliki
kemampuan antara lain :
1)
Mampu melaksanakan tugas yang
diberikan.
2)
Menguasai dan mampu menerapkan
taktik dan teknis antiteror.
3)
Mampu bekerja sama dan berkoordinasi baik dengan
satuan dan instansi lain
4)
Memiliki jiwa dan semangat satuan
yang solid.
5)
Menguasai masalah hukum,
intelijen dan teknologi.
Personil satuan antiteror, menguasai
kemampuan antara lain :
1)
Menguasai masalah hukum dan HAM
dengan baik
2)
Menguasai kemampuan perorangan
antiteror.
3)
Menguasai kemampuan intelijen.
4)
Menguasai teknologi dan
persenjataan, serta bahan peledak yang mutakhir.
5)
Menguasai kemampuan komunikasi
massa.
6)
Menghormati hak-hak sipil dan
politik serta hak asasi manusia lainnya.
7)
Menguasai budaya dan adat
istiadat setempat.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Terorisme di Indonesia
1. Kasus terorisme yang pernah terjadi di Indonesia
Berikut
adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan
instansi Indonesia di luar negeri:
Tahun 1981
Garuda
Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di
Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55.
Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak oleh 5 orang
teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat
tewas; 1 tentara komando tewas; 3 teroris tewas.
Tahun 1985
Bom Candi
Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme
bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia.
Tahun 2000
a.
Bom Kedubes
Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah
Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta
Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar
Filipina Leonides T Caday.
b.
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks
Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada
korban jiwa.
c.
Bom Bursa Efek
Jakarta, 13 September 2000. Ledakan
mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas,
90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.
d.
Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom
pada malam Natal di beberapa kota
di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta
mengakibatkan 37 mobil rusak.
Tahun 2001
a.
Bom
Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas.
b.
Bom Plaza Atrium
Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak
di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.
c.
Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan
kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa.
Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak
meledak.
d.
Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di
halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.
Tahun 2002
a.
Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan,
Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi
Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.
b.
Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga
negara Australia tewas dan 300
orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga
meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
c.
Bom restoran
McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus
wadah pelat baja meledak di restoran McDonald's Makassar. 3 orang tewas dan 11
luka-luka.
Tahun 2003
a.
Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri
Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
b.
Bom
Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area
publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng,
Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
c.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian
Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang
meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.
Tahun 2004
b.
Bom Kedubes
Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di
depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan
lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya
seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom
Kedubes Indonesia, Paris 2004)
Tahun 2005
c.
Bom
Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman
rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias
M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa.
d.
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di
Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat
ledakan yang terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai
Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.
e.
Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah
pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8
orang dan melukai sedikitnya 45 orang.[1]
Tahun 2009
Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan
terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB.[2]
Tahun 2010
Taun 2011
Baru baru ini kasus teroris terhangat adalah
kasus Bom Cirebon yang mana Polisi
Jadi sasaran Targetnya.bom yang meledak pada saat menjelang solat jumat si
sebuah masjid di kantor polisi cirebon yang mengundang pertanyaan,siapa pelaku
bom tersebut,mengapa di mesjid kantor polisi,bagaimana bisa lolos dan masuk ke
dalam mesjid kantor polisi tersebut.
2.
Analisis Kasus Terorisme di
Indonesia
a.
Kasus Bom Cirebon dan Polisi
Jadi Target
Bom bunuh diri meledak di tengah
jamaah yang hendak menunaikan salat Jumat di Mesjid Al-Zikrah, di Mapolres
Cirebon Kota. Pengamat menilai pelakunya adalah jaringan dari kelompok lama.
Pengamat teroris Mardigu WP
beranggapan, berdasarkan data forensik terkait jenis bom serta pola yang
dijalani, aksi bom bunuh diri itu bukan metode baru. Menurutnya, cara itu sama
dengan yang dilakukan eskekutor dari kelompok teroris yang selama ini beraksi
misalnya pada Bom Bali II 2005 serta ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton.
“Itu ciri kelompok lama,” ujarnya.
Ciri mereka, sambungnya, menggunakan
bom berdaya ledak rendah. Selain itu, material bom yang terlempar setelah ledakan
juga sama dengan peledakan yang terjadi sebelumnya. “Kalau soal sasaran, selain
mengincar polisi juga menebar ketakutan di masyarakat.”
Mardigu menambahkan, aksi bom bunuh
diri yang dilakukan di dalam mesjid merupakan hal pertama terjadi. “Dari 19 kasus
bom bunuh diri sejak 2000, aksi ‘pengantin’ di dalam keramaian mesjid, baru
pertama terjadi di Indonesia. Saya belum bisa menganalisa kenapa pelaku memilih
mesjid sebagai lokasi karena biasanya yang menjadi target dalah tempat yang
banyak ditempati orang asing,” paparnya lagi
Dalam pandangan pengamat intelijen
Dynno Chresbon, bom bunuh diri di markas polisi tak lepas dari rangkaian
terorisme sebelumnya. “Kelompok ini berasal dari pelaku teror bom buku.
Serangan terhadap mesjid ini, membuktikan kelompok yang sama dan pernah
melakukan teror yang sama di sebuah mesjid di Yogjakarta tahun 2005,”
ungkapnya. “Di Mesjid Istiqlal, pada tahun 1999, pernah ada bom .”
Ia menduga pelakunya adalah kelompok
yang pernah melakukan pelatihan di Aceh. “Mereka telah memberikan pernyataan
bahwa mereka memusuhi aparat keamanan. Dan peledakan bom di mesjid bukan
sesuatu yang baru,” tuturnya.
Pengamat intelejen Wawan Purwanto
menjelaskan, bom di Cirebon terkait balas dendam teroris terhadap kepolisian.
“Dilihat dari lokasi mesjid di halaman kantor polisi , bom bunuh diri itu ada
unsur dendam dan terkait rentetan peristiwa sebelumnya,” katanya.
Meski begitu, ia belum bisa
memprediksi jaringan di balik aksi itu. ”Saya belum bisa menuduh. Tapi dilihat
caranya, ada kaitan dengan jaringan yang selama ini eksis,” ucapnya.
Menurutnya, pelaku sengaja menunggu orang lengah. “Saat khusyuk beribadah, akan
jadi sulit melakukan antisipasi. Ini celah yang sengaja dia pakai,” katanya.Wawan
mengatakan, kasus peledakan di mesjid merupakan yang pertama di Indonesia. Ia
melihat ada pergeseran target yang semula sasarannya segala simbol berbau
barat.
Sedangkan pengamat intelijen Mufti
Makarim menduga peristiwa ledakan bom di Mesjid Polres Cirebon Kota, terkait
dengan kasus bom Bali serta JW Marriot, Jakarta. Ketiganya memiliki kesamaan
menggunakan metode bom bunuh diri. Ia menilai kasus ini tak sama dengan paket
bom di Kantor KBR 68H di Jalan Kayu Manis, Jakarta Timur dan paket lainnya.
Secara terpisah, Menteri Koordinator
Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, menilai aksi bom bunuh diri di
Mesjid At-Taqwa, Mapolres Cirebon Kota, sebagai tindakan teror tak terduga.
“Sasaran itu sudah meningkat ke tempat ibadah,” ujarnya.
Menurutnya, modus pengeboman di
tempat ibadah dan menyasar markas kepolisian termasuk baru. Djoko membenarkan,
sasaran aksi teror itu adalah kepolisian. Namun, menurutnya, tetap masyarakat
yang menjadi korban. “Salah satu sasaran ya polisi, tapi korban kejahatannya
bukan cuma polisi, imamnya juga kena. Dalam setiap tindak terorisme, yang
selalu jadi korban adalah masyarakat,” katanya.
Menurut Djoko, pemerintah terus
mencari pelaku yang bertanggung jawab atas aksi itu. “Kapolri diminta untuk
mencari jawaban,” katanya. “Yang jelas hal ini merusak suasana damai di antara
masyarakat.”
Di lihat dari sasaran peledakan bom,
peristiwa kali ini berbeda. Biasanya sasaran adalah aset milik negara asing,
terutama negara-negara yang dianggap sekutu Amerika. Tapi kali ini sasaran
kelompok teroris adalah mesjid. Menanggapi hal ini Kadiv Humas Polri belum bisa
mengungkapkan apa motif dari ledakan ini termasuk apakah terkait dengan
penangkapan Umar Patek.
Peringatan akan terjadinya ledakan
bom di Indonesia telah dikeluarkan oleh pemerintah Australia. Dalam websitenya,
Departemen Luar Negeri Australia pada 30 Maret 2011 mengingatkan penangkapan
tokoh peledakan bom Bali, Umar Patek di Afganistan akan memicu serangan
balasan. Negara ini mengingatkan warganya untuk mempertimbangkan perjalanan ke
Indonesia.
Polisi menetapkan Raden
Muhammad Basuki sebagai salah satu tersangka dalam kasus bom bunuh diri
di masjid kantor Kepolisian Resor Kota Cirebon. Basuki adalah adik Muhammad
Syarif, pelaku bom bunuh diri itu.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian
RI, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, mengatakan, selain Basuki, polisi
menetapkan Arif Budiman alias Dede sebagai tersangka. Dede diduga ikut
merencanakan. Ia menemani Syarif makan di rumah makan Minang dekat Mapolres
sebelum peledakan.
Arif dicokok pada Ahad siang lalu di
rumah orang tuanya di Jalan Suratno, Kelu-rahan Kebon Baru, Kecamatan Kejaksan,
Kota Cirebon, sekitar 500 meter dari kantor Polres. Saat itu tim Detasemen
Khusus 88 Antiteror juga membawa serta ibu Arif, Siti Juhariah; istri; serta
dua anak Dede. Polisi juga menyita sejumlah barang dalam empat kantong plastik.
Adapun Basuki ditetapkan sebagai
tersangka karena kedapatan menyimpan sejumlah rangkaian bom di rumahnya di Blok
Bangbangan RT 13, Desa Trusmi Wetan, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon.
Kemarin polisi juga menetapkan 12
tersangka dalam kasus rencana peledakan bom di dekat pipa gas di Ser-pong.
Mereka adalah bagian dari 21 orang yang ditangkap polisi karena diduga terlibat
serangan bom buku beberapa waktu lalu. Mereka adalah FK alias F, W abas T, HS
alias H, FD alias P, FH alias A, AG alias S, MMS alias S, RR alias I, D, MS,
MG, serta JK alias J.
Di antara mereka ada Pepi Fernando,
32, yang diduga pemimpin kelompok ini. Saat ini mereka ditahan di Polda Metro
Jaya. Boy memastikan Deny Carmanita, istri Pepi, masin berstatus saksi. Polisi
pun belum menemukan kaitan bom Cirebon dan bom buku. "Keduanya kasus
terpisah."
Dalam kaitan dengan kasus rencana.
peledakan bom di Serpong itu, Densus 88 telah menangkap Matun, 30 tahun, Ahad
lalu. Matun adalah warga RT 01 RW 04 Desa Cido-kom, Kecamatan Gunung Sindur,
Kabupaten Bogor. "Sudah enam warga diciduk," kata Kepala Desa
Cidokom, Achmad Dahlan H., kemarin. Matun adalah tetangga Jo-kaw, yang
ditangkap di Aceh.
Pada hari yang sama, polisi juga
menangkap Supebri alias Togel alias Awi. Supebri dijemput di rumah mertuanya di
Jatimulya Blok Jatisena, Kecamatan Kasokandel, Majalengka. Perangkat desa
setempat, Dede, mengaku tak tahu mengapa Supebri ditangkap.
b.
Teroris Bom Mesjid Cirebon
bukanlah Bagian dari Teroris Internasional
Ini cuma perkiraan saya saja. Ada beberapa
alasan mengapa teror bom di mesjid Cirebon bukanlah bagian dari teroris
internasional alias Al Qaeda. Alasan tersebut:
1) Teroris internasional lebih melihat
simbol-simbol amerika sebagai target peledakan bom. Dan untuk itu,
perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di indonesia lebih bisa menjadi target
daripada sebuah mesjid, karena pesan AS sebagai musuh langsung dicapai.
Perusahaan itu tidak harus dalam bentuk hotel, atau kedubes (yang notabene
pengawasannya ketat), tetapi juga semacam rumah makan seperti Mc D, Pizza, dan
lain-lain.
2) Ledakan bersifat low explosive. Dari
beberapa kasus, terlihat bahwa jaringan internasional selalu menggunakan bom
berdaya ledak tinggi, sehingga korban meninggal bisa mencapai puluhan orang.
Dalam kasus bom di cirebon, korban yang meninggal adalah yang melakukan bom
bunuh diri, sementara yang lainnya mengalami luka.
3) Selain itu, biasanya jaringan
internasional selalu matang mempersiapkan aksi. Mulai dari adanya kaki tangan
eksekutor di dalam target yang hendak di bom, dan seterusnya. Jarang yang aksi
sendiri seperti ini.
4) Kalau polisi sebagai target, maka
persiapan kurang matang, kurang berani dan kurang besar. Aksi yang cukup besar
dilakukan kelompok ini misalnya ketika di sumatera utara, membombardir kantor
polisi dengan tembakan secara bersamaan.
Jadi menurut saya, bom di mesjid
cirebon adalah bagian dari masalah internal indonesia sendiri. Dan kemungkinan
merupakan bagian atau kelanjutan dari bom buku. Kalau bom buku sasarannya malah
sangat tidak jelas. Mulai dari Ulil, Ahmad Dani, kompleks perumahan, dstnya.
Tetapi semua berdaya ledak rendah, dan bukan bom bunuh diri. Lebih tinggi daya
ledak elpiji 3 kg.
Kemudian, kalau bagian dari konflik
agama,di Indonesia, pada dasarnya friksi antar agama atau internal islam
sendiri, tidak sampai menimbulkan permusuhan ‘diam-diam’ dan ‘pengecut’
seperti ini. Justru friksi itu terlihat terbuka. Seperti dengan Ahmadyah, kasus
Temanggung, atau kasus Pasuruan.
Jadi siapa dibelakang bom di mesijid
cirebon ini? Ya memang ada orang yang sengaja membuat ‘kerusuhan’ ini. Siapa
tahu yang disebut Aljazeera benar, para mantan jenderal yang ingin membuat
indonesia tempat yang tidak aman. Teror ke sana kemari kayak orang mabuk dan
tidak jelas.
B.
latar belakang munculnya terorisme
a. Kemiskinan :
orang rela mendapatkan uang
dengan cara apapun, tidak peduli dia mati atau hidup, yang penting kehidupan
keluarganya terpenuhi.Ironisnya, orang yang pelaku bom bunuh diri itu mungkin
orang yg bener bener susah, tidak kerja sama sekali, butuh uang, hidupin keluarga
susah.dan pada saat itu ditawarin kerjaan bom bunuh diri dengan diiming imingi
keluarga dibiayain seumur hidup,hidup bakal kecukupan, dll.padahal padasaat
bunuh diri dia gak tau apakah keluarganya akan di biayai, keluarga dia beneran
dapet kehidupan yang layak ?
b. Ideologi :
kalau seseorang mau
mengubah negara, lakukanlah dengan cara yang benar, bukan dengan cara bom sana
bom sini. Apa yang akan berubah jika mereka melakukan hal itu? tidak ada...
hanya ingin membuktikan bahwa pemimpin tersebut tidak becus memimpin negara?lalu?
ingin membuatnya turun? memangnya tidak ada orang yang tidak memiliki
kekurangan?kalau ingin yang sempurna kenapa tidak dia saja yang jadi pemimpin?
ubah dulu pola pikir diri sendiri, mulai dari diri sendiri, keluarga,
lingkungan dan terus meluas...atau memang dasarnya mereka senang dengan
kekacauan? kalau benar, mereka tidak lebih dari orang gila..
c. Penyimpangan agama :
orang yang bener bener
fanatik sama agamanya, menanggap semua agama lain adalah salah selain agama
dia, biasanya mudah untuk dimanipulasi oleh orang lain yang mengatasnamakan
agama. Misalkan : bunuh si A, artinya kamu berbuat baik dengan melenyapkan
orang (si A) yang berbuat jahat...
Tindakan itu adalah tindakan yang salah, tidak ada di dalam agama manapun yang membenarkan seseorang untuk mencabut nyawa orang lain, walaupun orang itu baik / jahat... hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa orang... Lalu kenapa kita dengan bangga mencabut nyawa orang? karena agama yang menyuruh? Tidak Mungkin !! tindakan kita memang benar harus patuh pada agama, tapi jangan lupakan akal budi yang Tuhan berikan untuk kita... Gunakanlah akal budi tersebut untuk berpikir, bukan untuk jadi budak orang lain yang mengatasnamakan agama.
Tindakan itu adalah tindakan yang salah, tidak ada di dalam agama manapun yang membenarkan seseorang untuk mencabut nyawa orang lain, walaupun orang itu baik / jahat... hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa orang... Lalu kenapa kita dengan bangga mencabut nyawa orang? karena agama yang menyuruh? Tidak Mungkin !! tindakan kita memang benar harus patuh pada agama, tapi jangan lupakan akal budi yang Tuhan berikan untuk kita... Gunakanlah akal budi tersebut untuk berpikir, bukan untuk jadi budak orang lain yang mengatasnamakan agama.
C. Sasaran Terorisme:
Sasaran Terorisme
Pada umumnya sasaran teroris baik manusia maupun obyek lain dipilih secara
random bertujuan untuk menyoroti kelemahan sistem dan atau dipilih secara
seksama untuk menghindari reaksi negatif publik atau telah dirancang untuk
menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik. \
Sasaran strategis
teroris adalah sebagai berikut :
1)
Menunjukan kelemahan alat-alat
kekuasaan (aparatur pemerintah).
2)
Menimbulkan pertentangan dan
radikalisme di masyarakat atau segmen tertentu dalam masyarakat.
3)
Mempermalukan aparat pemerintah
dan memancing mereka bertindak represif kemudian mendiskreditkan pemerintah dan
menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris.
4)
Menggunakan media massa sebagai
alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris.
Sacara spesifik sasaran teroris
meliputi :
1)
Militer. Senjata yang sensitif,
lembaga pendidikan, senjata, amunisi, fasilitas komando dan pengendalian,
fasilitas logistik, fasilitas komputer, bahan peledak, fasilitas rekreasi,
sekolah dan bus sekolah.
2)
Bangunan dan sistem energi.
Pembangkit tenaga listrik, kilang minyak lepas pantai, fasilitas nuklir, pipa
gas, bendungan dan jaringan listrik.
3)
Sarana komunikasi dan dukungan.
Fasilitas dan jaringan komunikasi, tempat penimbunan bahan kimia, fasilitas
dok, gudang peralatan, fasilitas komputer, tempat penyimpanan senjata khusus
dan konvensional.
4)
Sarana transportasi. Jaringan
kereta api dan jalan raya, dipo kendaraan, lapangan terbang dan pesawat
terbang, fasilitas angkutan truk dan galangan kapal laut.
Manusia. Personil
kedutaan besar, pegawai pemerintah, pelaku bisnis, personil polisi dan personil
anggota angkatan perang
D.
Dampak Terorisme
Dampak Terorisme
Sebagai akibat dari teroris memanfaatkan dan menggunakan perkembangan teknologi
mutakhir yang sangat maju di bidang alat peralatan, komunikasi, transportasi,
bahan peledak dan senjata (termasuk potensi Nubika) dalam kegiatan operasinya
maka dampak aksi terorisme berskala sangat besar, luas dan kompleks dalam
bentuk kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang berbentuk fisik
maupun non fisik.
1. Bidang politik, hukum,
pemerintahan, antara lain :
a)
Gangguan terhadap kehidupan
demokrasi;
b)
Hukum dan tata tertib terganggu;
c)
Roda Pemerintahan tidak berjalan
lancar;
d)
Pada tahap tertentu isu terjadi
vaccum of power;
e)
Suatu pemerintahan yang lemah bisa jatuh.
2.
Bidang ekonomi,
antara lain :
a)
Gangguan terhadap mekanisme
ekonomi: kegiatan produksi, distribusi barang dan jasa, harga saham jatuh;
b)
Investasi/penanaman modal menurun
drastis;
c)
Kehancuran sarana prasarana ekonomi;
d)
Timbul pengangguran dalam jumlah
besar.
3.
Bidang psikologi,
antara lain:
a)
Timbul rasa takut dalam
masyarakat;
b)
Akibat trauma, masyarakat
bersikap apatis dan bereaksi tidak wajar.
4.
Bidang sosial,
antara lain:
a)
Law and order dalam masyarakat
terganggu;
b)
Bisa menimbulkan perpecahan dalam
masyarakat;
c)
Bisa menyebabkan terjadinya
perubahan nilai dan pergeseran norma dalam masyarakat.
5.
Bidang keamanan,
diantaranya:
a)
Kemanan dan ketertiban masyarakat
terganggu;
b)
Ruang gerak anggota masyarakat
terganggu.
6. Bidang hubungan internasional,
yaitu: - Hubungan antar negara bisa terganggu.
E.
Cara menangani terorisme di
Indonesia.
Terorisme
dapat dipahami secara sederhana adalah sebuah gerakan baik secara perorangan
maupun kelompok/organisasi yang melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan dan
tindakan dalam bentuk kekerasan baik fisik maupun mental dengan tujuan
menciptakan suatu kondisi teror di suatu tempat dan waktu tertentu. Pada
hakekatnya, teror bertujuan “penciptaan kondisi” di suatu wilayah dan waktu
tertentu sehingga menguntungkan bagi pihaknya (Teroris) guna pencapaian tujuannya
yang lebih besar. Dalam hal ini. terror merupakan salah satu cara/metode yang
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Latar belakang/motif terorisme
bermacam-macam, yaitu kepentingan politik, idiologi dan ekonomi. Dari ketiga
motif tersebut, latar belakang idiologi adalah bentuk terorisme yang paling
berbahaya, karena pelaku-pelaku terror memiliki militansi yang sangat tinggi
hingga mau melakukan bom bunuh diri, kamikaze dan sebagainya.
Terorisme
dapat dipandang sebagai gerakan intelijen lawan karena bergerak secara
klandestin dan membentuk jaringan bawah tanah secara terorganisir rapi.
Sehingga untuk menghadapi teorisme tersebut harus dengan kekuatan dan kemampuan
anti terror (counter intelligent). Cara kerja badan anti terror dengan badan
penanggulangan terror sangat jauh berbeda. Indikator keberhasilan sebuah badan
anti terror adalah “terror tidak pernah terjadi”, sedangkan indikator
keberhasilan badan penanggulangan terror salah satunya adalah “tertangkapnya
para pelaku terror”. Hal inilah yang harus dipahami bersama.
Kita
memiliki POLRI yang pada saat ini bertindak sebagai garda depan dalam menangani
terorisme di Indonesia. Namun perlu kita ingat, bahwa POLRI adalah badan
penegak hukum yang bekerja lebih sebagai penanggulangan terror. Kepolisian
tidak bisa menangkap dan menahan seseorang yang belum terbukti melakukan tindak
kejahatan/criminal. Artinya, Kepolisian baru akan mencari dan menangkap teroris
setelah teoris tersebut terbukti “telah” melakukan tindakan terror. Artinya
kita akan selalu ketinggalan beberapa langkah dengan pihak teroris. Kita dalam
keadaan selalu menunggu terror terjadi barulah kita beraksi dengan cara
mengejar dan memburu pelaku peledakan bom, pembunuhan, penculikan dan lain
sebagainya. Menangani teorisme seharusnya tidak demikian.
Bangsa ini
seharunya memiliki badan anti terror sekaligus badan penanggulangan terror
secara proporsional dan tepat. Badan anti terror saharusnya diserahkan kepada
badan kontra intelijen yang dilengkapi dengan system perundang-undangan yang
memadai. Permasalahannya, saat ini Indonesia belum memiliki badan kontra
intelijen. Kalau kita lihat di setiap Negara di dunia mamiliki dua perangkat
badan intelijen dan badan kontra intelijen, seperti AS dengan CIA sebagai badan
intelijen dan FBI sebagai badan kontra intelijen, Inggris dengan MI5 dan MI6,
Israel dengan Mossad dan Shin Bet sedangan Indonesia hanya memiliki badan
intelijen yaitu BIN sedang badan kontra intelijen tidak ada. Disinilah kunci
kesalahannya. Badan kontra mutlak harus dimiliki setiap Negara karena acaman
berupa kegiatan intelijen pihak musuh selalu ada baik pada masa damai maupun
perang. Kegiatan intelijen lawan seperti halnya terorisme tidak akan mampu
ditangani hanya oleh badan intelijen saja, tetapi harus ditangani oleh badan
kontra intelijen.
Kita
sebenarnya telah memiliki banyak personel intelijen yang berkualifikasi kontra
intelijen. Sekolah kontra intelijen BAIS TNI telah mencetak dan meluluskan
personel-personel kontra intelijen yang siap pakai, namun karena badan kontra
intelijen tidak ada, personel-personel berkemampuan kontra intelijen tersebut
sampai saat ini belum terwadahi dan diberdayakan dengan baik.
Inilah salah
satu jawaban bagaimana menghadapi terorisme di wilayah NKRI saat ini dan masa
mendantang, yaitu dengan membentuk badan kontra intelijen nasional. Dengan
demikian, dalam badan kontra intelijen tersebut sudah terwadahi adanya badan
anti terror secara tepat.
1.
Kebijakan Dasar
dalam Pembrantasan Terorisme.
a.
Perang melawan teror ialah
kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945.
b.
Bahwa kebijakan dan langkah pemerintah untuk
menyusun undang-undang tentang pemberantasan terorisme bukan karena tekanan negara-negara
maju.
c.
Langkah-langkah pemberantasan terorisme tidak
melanggar HAM tapi justru untuk melindungi HAM. Adanya Undang-undang
Pemberantasan Terorisme untuk memberikan kepastian hukum dan memberi
batas-batas yang jelas tentang tindakan yang dapat dilakukan dan tidakan yang
tidak boleh dilakukan oleh aparat.
d.
Bahwa langkah-langkah yang
dilakukan oleh pemerintah tidak diskriminatif. Undang-undang terorisme tidak
ditujukan pada suatu kelompok manapun. Siapapun yang melakukan perbuatan teror
akan diperlakukan sama sesuai perbuatannya dan tanpa melihat latar belakang
etnis maupun agamanya.
e.
Bahwa undang-undang terorisme didasarkan pada
3 paradigma, yaitu :
1)
Melindungi bangsa dan kedaulatan
NKRI;
2)
Melindungi hak azasi korban dan
saksi-saksi;
3)
Melindungi hak azasi pelaku
terorisme.
f.
Bahwa kerjasama dengan pihak
asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan karena gerakan terorisme
mempunyai jaringan global dan hal ini merupakan perwujudan upaya mencapai
tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, yaitu “turut
serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi”.
g.
Bahwa terorisme internasional
ataupun terorisme lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional
merupakan ancaman bagi kemanusiaan dan sangat membahayakan ketertiban dan
kemanan dunia termasuk bangsa dan negara RI.
h.
Bahwa untuk mencegah dan mendorong agar tidak
timbul korban-korban masal yang tidak berdosa akibat tindakan terorisme, maka
diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan jika menemukan
kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan-tindakan terorisme.
i.
Bahwa dalam perang melawan
terorisme, perlu dilakukan upaya secara terkoordinasi lintas instansi, lintas
nasional dan secara simultan dilakukan langkah-langkah yang bersifat represif,
preventif, preemptif maupun rehabilitasi.
Dengan
tertangkapnya para pelaku teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang
jelas dimana teroris lokal telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan
teroris global. Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan
terorisme mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komperhensif
dengan pendekatan lintas sektoral dan lintas negara.
Untuk itu perlu
ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme. Misi
nasional dalam pemberantasan terorisme adalah menghentikan aksi teroris yang
mengancam kehidupan bangsa, warga negara dan kepentingan nasional serta
menciptakan lingkungan internasional yang menyuburkan terorisme. Untuk memenuhi
misi ini harus dilaksanakan upaya-upaya strategis sebagai berikut :
a.
Mengalahkan teroris dan
organisasinya dengan menghancurkan persembunyiannya, kepemimpinan, komando,
kontrol, komunikasi, dukungan materiil dan keuangan. Kita harus bekerja sama
dan mengembangkan kemitraan baik luar negeri maupun dalam negeri untuk
mengisolasi teroris. Mendorong instansi terkait lainnya serta mengembangkan
mekanisme penanganan aksi teror dalam suatu sistem keterpaduan dan koordinasi
yang efektif.
b.
Meningkatkan kesiapsiagaan dan
kewaspadaan semua komponen bangsa terhadap ancaman terorisme untuk mencegah
dijadikannya wilayah tanah air Indonesia sebagai tempat persembunyian para
teroris dan tempat tumbuh suburnya ideologi terorisme.
c.
Menghilangkan faktor-faktor
korelatif penyebab yang dapat di eksploitasi menjadi alasan pembenaran aksi
teroris seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik politik dan SARA.
d.
Melindungi bangsa, warga negara
dan kepentingan nasional. Kemenangan perang melawan terorisme dapat dicapai
melalui upaya yang berkelanjutan menekan ruang lingkup dan kapabilitas
organisasi teroris, mengisolasi teroris serta menghancurkannya.
Kemenangan hanya
dapat dicapai selama pemerintah dan rakyat memelihara kesiap-siagaan dan
bekerja tanpa mengenal lelah untuk mencegah teroris melakukan tindakan yang
akan membawa bencana.
2.
Metode dan Teknik
Mengatasi Terorisme.
a.
Kelompok teroris dalam upaya
mencapai tujuannya melaksanakan taktik bombing, arson, hijacking,
assassination, ambush, kidnapping, hostage taking and robberies/expropriations.
Kegiatan teroris tidak semua dilakukan oleh hard-core political terrorist (crusaders),
banyak juga yang dilakukan oleh criminal (seeking personal tather than
political gain) atau oleh crazies (individual who are mentally ill).
b.
Strategi, kebijakan, taktik,
metoda, pendekatan dan taktik mengatasi terorisme yang diterapkan berbeda dari
satu negara dibanding negara lainnya, mengingat adanya perbedaan bentuk
(variants) atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh perbedaan motif,
seperti: kelompok sparatis, anarchists, dissidents, nationalists, marxist
revolutionaries or religius true beliviers. Disamping itu, perbedaan penanganan
teroris disebabkan juga karena adanya perbedaan kondisi daerah, budaya/adat
istiadat, hukum dan sumber daya serta kemampuan lembaga/satuan anti teror yang
tersedia.
c.
Beberapa negara menganut program
antiterorisme yang mengaplikasikan
d.
metoda dasar, yaitu :
1)
Prevention. Menggunakan inisiatif
internasional dan diplomasi untuk membujuk negara pendukung terorisme, dan
membuat konsensus bahwa kegiatan teroris bertentangan dengan hukum
internasional.
2)
Deterrence. Dilakukan tindakan atau upaya
perlindungan dan keamanan oleh masyarakat dan sektor swasta untuk mencegah
kegiatan teroris.
3)
Reaction. Melaksanakan operasi
counter terrorism, menjawab kegiatan terorisme yang besar dan khusus.
4)
Prediction. Melakukan tindakan
intellegence dan counterintelligence secara terus menerus mendukung ke-3 metoda
lainnya.
F.
Hambatan dalam
Pemberantasan Terorisme.
1.
Adanya mispersepsi dan tudingan
bahwa perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam;
2.
Adanya kesan bahwa negara maju
menerapkan standar ganda dalam menghadapi terorisme. Pandangan ini merujuk pada
sikap negara maju dalam penanganan konflik berlarut-larut di Timur Tengah.
Persepsi terhadap kondisi ini sekaligus merupakan motif paling signifikan bagi
maraknya aksi teror yang berbasis pada fundamentalis garis keras serta
kelompok-kelompok radikal militan di berbagai negara.
3.
Adanya kesan yang cukup kuat
bahwa langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror merupakan
skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam
bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Dan oleh karenanya setiap hasil
investigasi hanya sekedar upaya pembenaran skenario asing dan proses
peradilannyapun dipaksakan menuruti ketentuan hukum yang telah didesain untuk
melindungi kepentingan negara maju.
4.
Adanya trauma masa lalu
berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum yang berlaku
untuk menangani terorisme hanya merupakan alat kekuasaan otoriter militeristik
untuk kepentingan mempertahanakan kekuasaan yang anti demokrasi dan melanggar
hak azasi manusia, serta membungkam hak-hak sipil, hak-hak politik masyarakat
dan memasung kreatifitas serta menimbulkan keengganaan masyarakat untuk berpartisaipasi
dalam proses politik.
G.
Apakah kasus
teroris di indonesia rekayasa atau sungguhan
Bak Sinetron kejadian-kejadian
mengejutkan silih berganti dilakoni oleh polisi, mulai dari [me]manipulasi
kasus, [m]enyergap teroris, sampai kejadian terbaru markasnya diserbu oleh
‘teroris.’
Hal ini cukup menarik untuk kita
analisis. Menarik karena unik dan karena banyaknya keganjilan disana-sini. Jika
mengacu pada teori Kriminalitas, maka disini hanya ada dua kemungkinan, Pertama,
Kepolisian menjadi Subjek kasus, dalam artian polisi mengetahui bahkan
terlibat didalamnya. Kedua, Kepolisian menjadi Objek kasus dalam
artian polisi tidak mengetahui sebelumnya bahkan dalam situasi tertentu menjadi
korban.
Maraknya kriminalitas (termasuk
korupsi dan aksi terorisme) tidak bisa dipungkiri merupakan bukti anjloknya
kinerja dan mentalitas aparat hukum ini. Maka wajar jika kita berani
menyimpulkan bahwa sedikit banyak polisi sepertinya terlibat didalamnya. Saya
berpendapat baik dalam kasus mafia hukum maupun dalam kasus terorisme sangat
kental keterlibatan polisi didalamnya.
Memang kalau terkait dengan
kasus-kasus mafia hukum (melakukan korupsi atau melindungi para koruptor) sudah
tak terhitung bukti dan saksi yang menunjukkan hal tersebut, mulai dari
terbongkarnya kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK (Bibit-Candra), kasus
Gayus, Laporan Susno, dan lain lain. Akan tetapi berkaitan dengan keterlibatan
polisi dalam aksi terorisme tidak banyak orang yang tahu.
Rekayasa dalam kasus-kasus terorisme
ini nampaknya semakin hari semakin kental terasa. Misalnya banyaknya
keganjilan-keganjilan dalam kasus penggerebekan tersangka perampokan Bank CIMB
Niaga di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kenapa Densus 88 harus sampai menembak
mati secara brutal para (terduga) teroris tersebut? padahal orang-orang itu
belum tentu juga bersalah. Prinsipnya kan kalau ada orang yang dianggap
terlibat, harus dibuktikan secara yuridis. Bukan dengan tembak-tembakan ala
perang.
Terlebih ada sinyalemen bahwa polisi
telah merekayasa Identitas korban yang dianggap teroris tersebut. Salah satu
tersangka teroris Perampok Bank Niaga (versi polisi) yang mati ditembak Densus
88 adalah seorang pemuda bernama Yuki Wantoro. Faktanya waktu kejadian
perampokan bank CIMB Niaga pada tanggal 18 Agustus lalu Yuki sedang berada di
Solo. Lalu atas dasar apa polisi menuduh Tuki sebagai salah satu teroris pelaku
perampokan dan atas dasar apa Yuki sertamerta ditembak mati pada saat
penggerebekan beberapa hari yang lalu. Tidakkah ini menunjukkan adanya
Rekayasa?
Terjadi dugaan Perubahan status
kasus perampokan Bank CIMB Niaga dari yang awalnya kasus kriminalitas biasa
menjadi bagian dari kasus terorisme, dikarenakan ketidakmampuan polisi membokar
pelaku sebenarnya. Untuk melindungi muka polisi dari rasa malu maka
dihubung-hubungkanlah kasus ini dengan kasus terorisme. Makanya pada awalnya
Mabes Polri sama sekali tidak menyinggung dan tidak mengaitkan kasus perampokan
ini dengan terorisme. Akan tetapi belakangan ini kasus tersebut dianggap bagian
dari terorisme yang berujung diturunkannya -Datasemen Maut-
Densus 88 dalam aksi penggerebekan teroris pelaku perampokan Bank CIMB Niaga.
Seperti yang sama-sama telah kita
ketahui, jika Densus 88 turun maka alamat yang terjadi adalah sapu bersih alias
tembak di tempat. Sepertinya menurut polisi ini lebih aman, cepat, dan lebih
mudah dipercaya oleh masyarakat. Dengan menurunkan Densus 88 (yang hobinya
menembak orang yang belum tentu bersalah), maka polisi tidak usah capek-capek
melakukan penyelidikan. Selain itu dengan mengaitkan aksi perampokan Bank Niaga
dengan terorisme maka polisi merasa punya tema baru untuk mengalihkan
perhatian publik, dan yang terpenting merasa punya amunisi baru untuk
mengintimidasi dan menangkapi aktivis Islam.
Oleh polisi, kasus terakhir kemarin
berupa penyerbuan terhadap Markas Polisi sektor Hamparan Pasir, Sumatra Utara,
dikaitkan dengan aksi balas dendam para teroris. Menurut polisi, para teroris
ini melakukan balas dendam karena rekan-rekan mereka dibunuh dan ditangkap oleh
Densus 88 dalam penggerebekan sebelumnya. Ada banyak keanehan besar disini.
Pertama, Sepanjang sejarah kampanye
perburuan teroris oleh Polisi, orang-orang yang disebut ‘teroris’ ini tidak
pernah secara gegabah dan emosional langsung melakukan aksi balas dendam secara
membabi buta manakala rekan-rekan mereka digrebek atau dibunuh oleh Densus 88.
Tidak rasional mereka langsung balas dendam menyerbu markas polisi ketika 3
orang rekan mereka dibunuh oleh Densus 88, sedangkan tatkala para pemimpin
mereka semisal Dr Azhari dan Nurdin M Top terbunuh sama sekali tidak ada aksi
balas dendam langsung.
Kedua, seperti yang telah sama-sama
diketahui, dalam pekan ini kota Medan dan sekitarnya merupakan daerah operasi
perburuan terorisme, saat ini Kota Medan dan Sekitarnya sedang dipenuhi’ oleh
polisi terutama Densus 88. Logika sederhanaya mana mungkin para teroris
‘sisa-sisa’ penggerebekan ini bisa leluasa menenteng senjata Ak-47 kemudian
dengan penuh gaya menyerbu markas polisi yang ada di kawasan yang dipenuhi
polisi dan Densus 88. Ini kan sesuatu yang aneh.
Ketiga, kenapa baru sekarang teroris ini
membalas dendam dan kenapa yang diserang Markas Polsek tidak langsung markas
Brimob atau Markas Densus 88 sekalian. Jika mereka terlatih dan memiliki
senjata lengkap seperti yang disampaikan oleh Kadiv Humas Polri, kenapa mereka
tidak sekalian saja menyerbu Mako Brimob Kelapa Gading untuk membebaskan
‘pemimpin-pemimpin’ mereka yang sedang ditahan polisi disana?Jadi, tidakkah
kita memiliki dugaan kuat bahwa aksi penyerbuan terhadap Markas Polsek
Hamparan Perak dilakukan oleh Polisi sendiri?.
Bisa jadi ini dilakukan supaya Polisi mendapatkan
simpati publik dan supaya kampanye besar “Perang Melawan Teroris” semakin
mendapat tempat di hati masyarakat.Berdasarkan fakta yang diapparkan
disana , tentunya masih mengelitik di pikiran kita , apa sebenarna faktor
pemacu tindakan terorisme yang terjadi berlakangan ini .
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terorisme merupakan
tindakan kekerasan yang didorong motivasi politik, yang tindakannya diarahkan
kepada sasaran noncombatant, untuk mencapai tujuan politik (menghancurkan
kebebasan dan demokrasi), tujuan keagamaan atau tujuan idiologi dengan cara
penciptaan rasa ketakutan atau kekerasan. Terorisme merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan dan peradaban.
Teroris dengan jeli
memanfaatkan kemajuan pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir di bidang
komunikasi, transportasi, informasi, persenjataan dan bahan peledak termasuk
pemanfaatan potensi NBC. Keadaan ini menjadikan ancaman terorisme akan semakin
meningkat dampaknya di masa yang akan datang.
Upaya
pengangulangan terorisme baik yang berskala lokal maupun internasional/global
mempersyaratkan pemerintah dan masyarakat melakukan sinergi upaya secara
komperhensif dengan pendekatan multi-dimensial termasuk di dalamnya kerjasama
dan koordinasi internasional, menghormati hukum internasional, serta
melaksanakan resolusi DK PBB dan menghormati konvensi PBB untuk melawan
terorisme.
Penguasaan bidang
intelijen, penegakkan hukum, pembuatan kebijakan pemerintah yang populer, sikap
pemerintah yang tegas, adil dan bijaksana merupakan faktor dominan dalam
mendukung keberhasilan kegiatan pencegahan terorisme. The prefered method of
reducing the incidenceof terrorism iswithproactive, rather thanreactive
measures.
B.
Saran
Untuk memerangi
tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis
represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan
rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat
dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan Agama
maupun Budaya. Karma Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian
tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya penanganan tindak pidana terorisme
tidak akan memadai jika hanya mengandalakan undang-undang saja.
Tampa di dukung oleh kinerja aparat penegak
hukum yang professional dalam menegakan peraturan yg ada dan perlu dilakukanya
Revisi UU anti terorisme yang harus di sesuai dengan kerangka hukum yang harus
mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan
transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan
pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak,
bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil.
Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara
nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada Nama, 2006, ”Kumpulan Peraturan Perundangan Anti
Terorisme”,
Pustaka Yustisia , cet-1, Jakarta.
Tidak ada Nama, 2006, ”Kebijakan dan Strategi Nasional
Pemberantasan
Terorisme”, Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme, Jakarta.
Menko Polhukam RI, 2006, “Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan
Aksi
Terorisme”, Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme, Jakarta.
Saktiman,2011,Di balik Terorisme,Http//google.blogerspot//Terorisme indonesia
.//.com, di unduh tanggal 28 mei
2011.Samarinda
Tidak ada nama,2009,Artikel Terorisme di Indonesia dan pembahasannya.
Http//google/welcom/?wepress/mulyadi/kumpulan
artikel.com.di unduh
tanggal 28 Mei 2011 .Samarinda
Comments
Post a Comment
komen sangat di harapkan boss.