ANALISIS UU No.39 Tahun 1999
TUGAS POLITIK
HUKUM
ANALISIS UU
No.39 Tahun 1999
A. Definisi
HAM
Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut
Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku
(Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam
Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang
hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang
Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan
masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45
dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.
B. Konsep
HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999
Hak-hak
yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
terdiri dari:
1.
Hak
untuk hidup.
Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman,
damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup
yang baik dan sehat.
Dalam UU No.39 tentang HAM, dimana Hak
untuk hidup,terdapat dalam UU 1945 Pasal 28A yang berbunyi “ Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sangat
jelas bahwa setiap warga Negara republik Indonesia berahak untuk hidup,
mempertahankan kehidupanya serta hidup damai, adil, dan sejahtera sesuai dengan
impian setiap manusia, yang mana Negara harus dapat memenuhi, menjamin dan
melindungi warga negaranya sehinga sesuai dengan cita-cita yang terdapat pada
pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada Alenia ke Empat.
Kalau dilihat dalam kehidupan
sekarang dimana masih saja banyak masyarakat yang belum mendapatkan Hak
tersebut, contoh saja khasus kemiskinan yang ada di Indonesia.
2.
Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
Setiap orang berhak untuk membentuk
kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak
yang bebas.
3.
Hak
mengembangkan diri.
Setiap orang berhak untuk
memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif,
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4.
Hak
memperoleh keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan adil dan benar.
5.
Hak
atas kebebasan pribadi.
Setiap orang bebas untuk memilih dan
mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama
masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa
diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah
Republik Indonesia.
6.
Hak
atas rasa aman.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram
serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
7.
Hak
atas kesejahteraan.
Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa
dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan
sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak
mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8.
Hak
turut serta dalam pemerintahan.
Setiap warga negara berhak turut
serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih
secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9.
Hak
wanita.
Seorang wanita berhak untuk memilih,
dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap
hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10.
Hak
anak.
Setiap anak berhak atas perlindungan
oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan,
pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya
secara melawan hukum.
Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan
suatu hal yang fundamental, sensitif dan kontroversial. Selama beberapa dekade,
isu-isu hak azasi manusia telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir
modern baik di bidang politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada
kecenderungan munculnya isu-isu hak azasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh
anasir-anasir politik dan hukum melainkan juga agama dan budaya. Terbentuknya
konsensus internasional tentang Universal Declaration of Human Rights pada 10
Desember 1948 hanya dimotori oleh sekelompok negara pemenang perang setelah
berakhirnya Perang Dunia II yaitu AS, Perancis dan Inggris. Hal ini memperkuat pandangan
bahwa isu-isu hak azasi manusia tidak saja terkait dengan persoalan krusial
menyangkut aspek-aspek dan standar universalitas hak-hak azasi manusia, tetapi
juga terkait dengan latar belakang pembentukannya untuk menciptakan perdamaian
dunia.
Di kalangan negara-negara muslim termasuk Indonesia, persoalan hak-hak azasi manusia bukanlah suatu hal baru. Syari’at Islam yang bersifat universal banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar tentang persamaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan. Bahkan ketika Nabi Muhammad Saw mendeklarasikan Piagam Madinah, hak-hak azasi manusia ditempatkan dalam posisi tertinggi konstitusi Islam pertama tersebut. Ironisnya negara-negara Barat seringkali mencap negara-negara Muslim sebagai sebagai negara-negara yang dianggap banyak melanggar HAM. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana proses kodifikasi UU No. 39 Tahun 1999.
Gagasan Legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Terungkapnya tindak pelanggaran HAM yang banyak terjadi di masa lalu, khususnya pada masa rezim Orde Baru yang runtuh melalui gerakan reformasi mahasiswa pada bulan Mei 1998, telah mendorong seluruh komponen bangsa sadar akan pentingnya melindungi hak-hak dasar setiap individu. Hak-hak dasar itu, yang kemudian dikenal dengan Hak Azasi Manusia (HAM), dipandang perlu dituangkan dalam konstitusi Indonesia.
Presiden B.J. Habibie (penerus Soeharto) berhasil memancangkan pilar-pilar reformasi di bidang hukum, salah satunya adalah mengamandemen UUD 1945 yang di dalamnya dimasukan pasal yang memuat tentang HAM. Implikasinya, tentu saja perlu diikuti dengan peraturan turunan dalam bentuk UU yang khusus mengatur masalah HAM yakni UU Hak Azasi Manusia (HAM).Dalam perkembangannya, pemerintah bersama-sama dengan DPR berhasil menetapkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Berdasarkan UU ini, negara mendapatkan amanat untuk melindungi hak-hak seluruh warga negara, yang salah satunya mendirikan institusi Komisi Nasional Hak Azasi manusia (Komnas HAM).
Penegakan HAM yang masih belum maksimal, sekurang-kurangnya secara formal telah mendapat pengakuan dan upaya penegakannya setelah dikeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini juga menjadi jalan bagi penegakan HAM yang lebih fokus, terencana dan sistematis pada tataran konstitusional, sosial dan budaya serta diaplikasikan secara formal dan informal. Paling tidak, kehadiran UU ini memberi harapan besar bagi Indonesia sebagai negara yang sangat menjujung tinggi HAM.
Dasar Legislasi UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan sedikit ilustrasi tentang
proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Proses legislasi UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM dilakukan melalui pendekatan berikut:
C. Landasan Historis
Dalam
perspektif historis, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dari suatu
kenyataan dan tantangan reformasi hukum di Indonesia. Tuntutan reformasi hukum
menggariskan kepada negara untuk menjamin hak-hak dasar setiap warga negara
dalam memperoleh persamaan perlakuan di depan hukum dan keadilan. UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM ini lahir dari sikap positif Pemerintah RI atas resolusi
Komisi Tinggi HAM PBB bahwa setiap negara anggota PBB berkewajiban melindungi
hak-hak dasar warga negaranya tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, agama,
bahasa, dan status sosial lainnya.
Hukum
HAM lahir pada tanggal 10 Desember 1948 melalui sebuah konsensus internasional
pada Sidang Majelis Umum PBB (Universal Declaration of Human Rights). Hukum HAM
tersebut merupakan hukum perdata internasional dengan subyek hukum negara.
Dalam perkembangannya UDHR diiukuti hukum internasional turunan lainnya, antara
lain International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR),
sebagai pedoman hukum internasional yang berkaitan dengan HAM.
Selain
itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dari suatu kenyataan bahwa banyak
kasus tindak pelanggaran HAM yang tidak diungkap dan tidak pernah
dipertanggungjawabkan kepada publik, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II,
Penculikan Aktifis, Tanjung Priok, kasus Lampung, kasus Ambon, Kasus Poso,
Kasus Sampit, Kasus Sambas, kasus Kedung Ombo Banyuwangi, Kasus Waduk Nipah dan
sebagainya. Untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara hukum, maka
diper-lukan suatu perangkat hukum yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
D. Landasan Filosofis
Pandangan
filosofis atas UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pertama, secara ontologis
setiap individu adalah orang yang bebas, ia memili hak-hak dan kewajiban yang
sama antara satu dengan yang lain dalam konteks sosial. Kedua, Secara
efistimologis, jaminan persamaan atas setiap hak-hak dasar kemanusiaan berikut
kewajiban-kewajiban yang melekat di dalamnya, mesti dibatasi oleh hukum (hukum
HAM). Ketiga, tujuan dibuatnya hukum HAM adalah sebagai hukum materil yang
mengatur proses penegakan HAM di masyarakat. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, pemerintah berkewajiban menggaransi hak-hak dasar kemanusiaan
warganya melalui sebuah lembaga independen yang disebut Komisi Nasional Hak
Azasi Manusia (Komnas HAM).
Lebih
jelasnya dapat dilihat dalam konsideran UU HAM ini bahwa hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun.
E. Landasan Sosiologis
Gagasan
awal proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ini telah menimbulkan
pro kontra dan penafsiran yang beragam di masyarakat. Pertama, ada yang
berpendapat bahwa secara substantif UU HAM mengadopsi Statuta Roma yang pijakan
historis, filosofis dan sosiologisnya berbeda. Kedua, Lahirnya UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM dianggap sebagian pihak secara skeptis yakni sekedar untuk
menaikan pamor Indonesia di dunia internasional bahwa negara ini sangat
menjunjung tinggi HAM. Ketiga, pemerintah (dalam hal ini aparat penegak hukum)
belum sepenuhnya komitmen untuk menegakan dan melindungi hak-hak warga
negaranya. Keempat, para ahli dan praktisi hukum berpendapat bahwa pemenuhan dan
jaminan HAM hanya dapat dilaksanakan apabila dilegislasikan UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM.
Paradigma hubungan
antara penyelenggara Negara dengan warganya sejak reformasi ketatanegaraan
mengalami perubahan signifikan. Selama orde baru, hubungan tersebut "state
oriented" atau berorientasi kepada Negara. Kemudian sejak reformasi
hubungan tersebut berubah menjadi "people oriented" atau berorientasi
kepada rakyat yang berdaulat. Rakyat tidak dipandang sebagi obyek tetapi subyek
yang diberi wewenang untuk turut menentukan kebijakan publik yang menyangkut
kepentingan mereka. Negara tidak lagi menguasai penyelenggaraan segala urusan
pelayanan publik, tetapi mengatur dan mengarahkannya.
Perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut direspon oleh hukum. Pemerintah
membentuk dan mengundangkan UU SJSN untuk menyikapi dinamika masyarakat dan
menangkap semangat jamannya, menyerap aspirasi, dan cita-cita hukum masyarakat.
Penyelenggaraan program jaminan sosial diubah secara mendasar untuk memberi
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
F.
Politik Legislasi
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
diperlukan melalui sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang proporsional
yakni antara pemerintah dan masyarakat (diwakili DPR) bagi terjaminnya
kepastian hukum dan keadilan. Kiris politik yang berlangsung sejak era Orde
Lama dan Orde Baru tidak saja menyisakan sejarah panjang kasus-kasus
pelanggaran HAM, seperti kasus G-30-S/PKI, Madiun, DI/TII, Malari 1974 dan
sebagainya. Atas dasar itu, legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
merupakan suatu tuntutan realitas yang muncul dari dukungan realitas pula.
Menurut UU ini, jaminan penegakan HAM tidak hanya menjadi sebuah tanggung jawab
negara tetapi juga semua individu.
Pertimbangan politik dapat dilihat dalam konsideran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk UU HAM.
G.
Landasan Yuridis
Ada beberapa pertimbangan yuridis
yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain:
a. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74).
c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327).
Dari pertimbangan-pertimbangan itulah Presiden dan DPR menyetujui pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada gilirannya UU ini akan diikuti oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 tahun 1999 tentang peradilan HAM, yang selanjutnya akan diubah menjadi UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Proses Legislasi UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM Pada bagian ini, secara ringkas penulis menjelaskan proses
legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagaimana telah dijelaskan pada
bagian latar belakang, proses dilegislasikannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM dilakukan dengan 4 (empat) tahap:
Mengikuti
reformasi ketatanegaraan sejak medio tahun 1999, telah terjadi berbagai
perubahan pengaturan penyelenggaraan jaminan sosial. Perubahan ini meliputi
tatanan konstitusional dan undang-undang terkait dengan penyelenggaraan jaminan
sosial. Perubahan ini berpengaruh signifikan terhadap penyelenggaraan jaminan
sosial yang tengah berjalan saat ini dengan menjadikan penyelenggaraan jaminan
sosial tenaga kerja, pegawai negeri dan pensiunannya, pegawai dan pensiun TNI
dan Polri serta masyarakat miskin sebagai bagian dari sistim jaminan sosial
nasional.
1. Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945
Empat
kali perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 yang dilakukan secara berturut-turut
dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR RI tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002
telah mengubah secara mendasar prinsip-prinsip penyelenggaraan negara.
Perubahan terjadi dari kekuasaan dan tanggung jawab di tangan Presiden (concentration
of power and responsibility upon the President) dan sentralistik menjadi
sistem pemerintahan negara yang demokratis, berdasar atas hukum, dan
desentralistik . Cabang-cabang kekuasaan negara dipisahkan secara jelas dengan prinsip
chek and balances untuk mencegah munculnya kekuasaan otoriter-sentralistik
seperti pada masa lalu. Penghormatan, perlindungan, jaminan, pelaksanaan, dan
penegakan hak asasi manusia diperluas dan semakin diperkuat. Selain itu
tanggung jawab negara untuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia dipertegas.
Perubahan
penting UUD Negara RI Tahun 1945 yang bekaitan erat dengan jaminan sosial
terjadi pada perubahan kedua dan keempat. Perubahan tersebut tercantum dalam
pasal-pasal sebagai berikut.
Pasal
28 H ayat (3) yang menentukan Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.
Pasal
34 ayat (2) menentukan "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jelas menentukan bahwa jaminan
sosial yang menjadi hak setiap warga negara dimaksudkan untuk menjamin agar
mereka dapat hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh UU No. 39 Tahun 1999
Pasal 41 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 41
ayat (1).
Pasal
41 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa, Setiap warga Negara berhak
atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
Penjelasan
Pasal 41 ayat (1) tersebut dikemukakan bahwa Yang dimaksud dengan berhak atas
jaminan sosial adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan Negara.
3. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN)
Undang-undang
ini diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004, dengan pertimbangan antara lain
untuk memenuhi hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dan untuk
memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat. Tujuan SJSN
adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak
bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya (UU No. 40 Tahun
2004 Pasal 3).
SJSN
dibangun untuk menyinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan
sosial yang dilaksanakan oleh beberapa penyelenggara agar dapat menjangkau
kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi
setiap peserta (UU No. 40 Tahun
2004 Penjelasan Umum).
Konstitusi
memberlakukan setiap orang sebagai pemegang hak yang wajib memperoleh pelayanan
jaminan sosial dari negara dan diberikan kartu identitas tunggal sebagai
pembuktian hak (UU No. 40 Tahun
2004 Pasal 15 ayat 1). Kewajiban dipikul oleh peserta dan
pemerintah bagi mereka yang tidak mampu.
H.
Analisis Khasus
UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jelas menentukan bahwa jaminan
sosial yang menjadi hak setiap warga negara dimaksudkan untuk menjamin agar
mereka dapat hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh UU No. 39 Tahun 1999
Pasal 41 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 41
ayat (1).
Pasal
41 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa, Setiap warga Negara berhak
atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
Disini
terlihat jelas bahwa UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,yang
memiliki kosep peraturan yang sempurna didalamnya sangat menjanjikan bahwa
setiap warga Negara Republik Indonesia memiliki hak untuk Hidup layak yang
dijamin oleh Negara. Tetapi dalam perak dan penerapanya tidak lah sesuai dendan
apa yang dirumuskan dalam UU No 39 tahun 1999 tersebut, Masih banyaknya
Kemiskinan dan permasalahan-permasalahn social lainya yang menjadi momok bagi
Negara ini. Sebenarnya bukan salah UU melainkan oknum dan pemerintah yang kurang tanggap yang tidak
dibarengi dengan partisipasi Masyarakatnya.
Comments
Post a Comment
komen sangat di harapkan boss.