HUKUM PIDANA kejahatan tentang keamanan Negara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi
di berbagai bidang, mencuatkan bermacam gejolak hukum yang berkaitan dengan
keamanan negara. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana sejarah
pengaturan kejahatan keamanan negara di Indonesia, mulai pada masa
kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan sekarang, dengan
menyoroti pengaturannya di KUHP dan di berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya. Melalui kajian terhadap periodesasi pengaturan
kejahatan terhadap keamanan negara, diketahui berbeda-beda dalam
penerapannya sesuai dengan sitruasi negara dan pemerintah yang melatar
belakanginya.
Pada
era reformasi yang merambah bidang ekonomi, politik, hukum dan
sebagainya, pergaulan hidup berbangsa dan bernegara memasuki kondisi yang
rentan bagi terjadinya disintergrasi. Di satu sisi nampak dari berbagai potret
penegakan HAM di Indonesia, dalam hubungan antar warga negara dengan
negara/ pemerintah, sering bersinggungan dengan persaingan hukum dan politik,
yang terpicu oleh maraknya berbagai reaksi yang menimbulkan gejolak hukum
dalam bidang pengaturan kejahatan terhadap keamanan negara. Terlihat dari
banyaknya kasus hukum/ politik, yang bila terjadi di masa Orde Baru jelas bisa
masuk dalam batas-batas jeratan pasal karet UU Subversi, sedangkan di
awal era reformasi bisa berlalu begitu saja. Tetapi, sekarang dengan
adanya UU Anti Terorisme kasus hukum/ politik tersebut mendapatkan
penanganan dan perlakuan yang berbeda.
Karenanya
tulisan ini, berusaha mengkaji masalah: bagaimana sejarah pengaturan
kejahatan keamanan negara di Indonesia, mulai pada masa
kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan sekarang, dengan
menyoroti pengaturannya dalam KUHP dan di luar KUHP?
B. Batasan
Masalah
Adapun batasan masalah pada makalah ini
adalah:
1.
Bagaimanakah pengertian kejahatan tentang keamanan Negara ?
2. Bagaimanakah
pengaruh kejahatan tentang keamanan negara yang termuat dalam KUHP?
3. Memahami
Sejarah pengaturan keamanan negara ?
C Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari Penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui:
1. Mengetahui
jalannya sejarah perkembangan KUHP tentang kejahatan
megenai keamanan Negara.
2. Berusaha
mengetahui bagaimana penerapan KUHP hingga sekarang
tentang pelangaran megenai keamanan Negara.
D. Manfaat
1.Untuk menambah
kasanah ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana khususnya mengenai KUHP.
2.Bahan masukan
bagi pihak lain yang hendak mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai makalah
ini.
3.Dapat menjadi
pelajaran berbagai pihak khususnya pelajar dan mahasiswa untuk lebih memahami
tugas maupun pekerjaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA.
Kejahatan
terhadap keamanan negara merupakan kejahatan yang menyerang
kepentingan hukum negara. Sesuai dengan namanya, kejahatan ini mempunyai
obyek keamanan negara. Lebih tepat apabila disebut sebagai Kejahatan
Terhadap Pelestarian Kehidupan Negara, karena yang dijaga di sini adalah
berlangsungnya kehidupan bernegara, atau Kejahatan Tata negara. Dibentuknya
kejahatan ini adalah ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum atas
keselamatan dan keamanan negara dari perbuatan-perbuatan yang mengancam,
mengganggu dan merusak kepentingan hukum negara.
Dari hal di
atas dapat diketahui ada ketertiban hukum yang harus dilindungi dalam
aturan tentang kejahatan terhadap keamanan negara itu. Ketertiban hukum
tersebut meliputi:
-Keamanan kepala negara
-Keamanan wilayah negara
-Keamanan bentuk pemerintahan.
Kejahatan terhadap keamanan negara secara
sosiologis disebut Kejahatan politik Kata politik berasal dari
bahasa Yunani “politia” artinya “segala sesuatu yang berhubungan dengan negara
atau segala tindakan, kebijaksanaan, siasat mengenai pemerintahan suatu
negara”1.
Ada beberapa
teori untuk menentukan tindak pidana sebagai kejahatan politik, yaitu:
a. Teori
obyektif atau disebut teori absolut: ditujukan terhadap negara dan berfungsinya
lembaga-lembaga negara.
b. Teori
Subyektif atau teori relatif: semua tindak pidana berlatarbelakang dan bertujuan
politik
c. Teori
Predominan: membatasi pengertian pada dominannya perbuatan politik
d. Teori
Political Incidence: melihat perbuatan yang dianggap bagian dari kegiatan
politik.2
Jadi kejahatan
politik adalah suatu kejahatan, yang menyerang baik organisasi ataupun
hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Bentuk klasik dari
delik politik dapat ditemukan dalam Bab I Buku Ke dua dari
Nederlands Strafrecht yang bunyinya pada hakekatnya sama dengan Bab I Buku Ke
dua KUHP Indonesia.3 Jadi bila demikian maka delik politik
adalah delik yang terumuskan dalam undang-undang hukum pidana politik yang
menggunakan motif politik. Sedangkan motivasi politik adalah menyalahi
(membahayakan atau mengganggu) pelaksanaan hukum kenegaraan. Dan pembuat
undang-undang dalam hukum politik memberikan kekuasaan yang luas pada
hakim untuk menentukan apa yang dianggap sebagai hukum dalam setiap kasus
konkrit.
B. JENIS KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
Sebagaimana
telah sama diketahui KUHP secara garis besar membuat perbedaan atas semua jenis
tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran. Buku II memuat segala
jenis kejahatan dan Buku III segala jenis pelanggaran, didasarkan atas
perbedaan antara Rechtsdelicten dan wetsdelicten.Maksudnya, Rechtsdelicten:
perbuatan-perbuatan yang dirasakan telah memiliki sifat tidak adil, wajar untuk
dapat dihukum, meskipun belum terdapat dalam UU yang melarang dan mengancam
dengan hukuman. SedangkanWetsdelicten: perbuatan-perbuatan dapat dihukum,
karena perbuatan-perbuatan tersebut secara tegas dinyatakan dalam UU sebagai
terlarang dan diancam dengan hukuman4.
Di samping
pendapat di atas, di antara para penulis hukum pidana hampir merata
suatu pendapat bahwa perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini
tidak bersifat “kualitati”, tetapi hanya “kuantitatif”, yaitu kejahatan yang
pada umumnya diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran dan ini
nampaknya didasarkan pada sifat yang lebih berat kejahatan dari
pelanggaran.
Sifat yang
khusus dimiliki oleh Kejahatan terhadap terhadap negara adalah adanya sifat
pengkhianatan, yakni Pengkhianatan intern dan pengkhinatan ekstern.
Walaupun KUHP tidak mengadakan perbedaan untuk hal itu. Untuk lebih
jelasnya berikut diketengahkan pokok-pokok yang menjadi bahasan dalam
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, sebagai berikut:
a. Makar
terhadap kepala negara
b. makar untuk
menaklukan Indonesiia di bawah kekuasaan asing
c. makar untuk
menggulingkan pemerintah
d.
pemberontakan
e. permufakatan
jahat
f.
berhubungan dengan negara asing
g. pengedaran
surat-surat rahasia
h. memasuki
bangunan pertahanan negara
i. masalah yang
memberatkan
j.
pengkhianatan diplomatik
k. mata-mata
musuh
l. penipuan
dalam penyerahan barang keperluan negara
m. hukuman
tambahan
n. kejahatan
terhadap kawan perang.5
Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa lingkup
kejahatan terhadap keamanan Negara di dalamnya termasuk pula delik
politik. Di dalam kepustakaan hukum, delik politik dibedakan menjadi 2, yaitu: Kesatu.
kejahatan terhadap pemerintah, dapat berupa kekerasan sebagai protes atas
kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh suatu pemerintah, keinginan merubah
struktur pemerintah di luar konstitusi dan sebagainya; Kedua. kejahatan
yang lakukan pemerintah, dapat berupa serangan atau ancaman terhadap
hak-hak azasi warga, kejahatan penyalahgunaan wewenang dan
sebagainya6.
Dari situ
terlihat, kejahatan politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan dalam
berbagai bentuk kejahatan, baik oleh rakyat sebagai warga negara maupun oleh
pemerintah sebagai penguasa negara, dalam lingkup satu negara nasional ataupun
yang mempunyai dimensi antar negara/ internasional, yang mengancam
berbagai sendi kelangsungan kehidupan bernegara..
Kejahatan
terhadap keamanan Negara berdimensi nasional, yang merupakan kejahatan
politik, bisa berupa:
- Pengkhianatan (pelanggaran tugas kesetiaan)
- Penghasutan (provokator/ penganjur)
- Makar terhadap kepala Negara.
- Bergabung dengan musuh
- Pemberontakan
- Penculikan
- Penyerangan
- Kegiatan mata-mata
- Kerusuhan (gangguan dengan kekerasan/ ancaman kekerasan)
- Permusuhan antar ras/ suku/ penganut agama
- Pengrusakan barang-barang untuk kepentingan umum
- Fitnah terhadap pejabat pemerintah. 7
Kejahatan
terhadap keamanan negara berdimensi internasional, yang merupakan
kejahatan politik, bisa berupa:
1. Piracy
(Pembajakan kapal laut)
2. Hijacking
(Pembajakan pesawat terbang)
3. Teroris
(Penggunaaan kekerasan untuk tujuan politik)
4.
Sabotase ( perbuatan yang menyebabkan kerusakan atau gangguan).
5. Genocide
(pemusnahan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras atau kelompok agama)
6. Hostages
(penyanderaan)
7. Misuse of
Drugs (Penyalahgunaan obat)
8. Contempt of
Court (penghinaan terhadap pengadilan)
9. Apartheid (
tindakan kekerasan atas dasar perbedaan ras, warna kulit atau asal kebangsaan).8
C. SEJARAH
PENGATURAN KEAMANAN NEGARA
Untuk mengetahui dengan lebih lengkap tentang pengaturan keamanan
negara di Indonesia, maka akan dilihat pengaturannya secara umum dan
secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Secara umum,
dimaksudkan untuk menampilkan nama-nama peraturan di bidang keamanan negara.
Sedangkan secara khusus, dimaksudkan akan menyoroti beberapa peraturan yang
dijadikan contoh, yang pernah coba dipergunakan untuk menjerat kasus keamanan
negara tertentu.
Pengaturan masalah yang berkaitan dengan keamanan negara secara umum di
Indonesia, antara lain terdapat dalam:
1.
UU No. 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU
Pemberantasan Kegiatan Subversi
2. UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korups
3. UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian
4. UU No, 19
tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
5. UU No. 1
tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
6. UU No. 1
tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah Hong Kong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum Yang Melarikan Diri
7. UU No.
15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
8. UU No.
15 tahun 2003 tentang PERPU No. 1 Tahum 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU
9. UU No. 16
tahun 2003 PERPU No. 2 Tahum 2002 tentang Pemberlakuan PERPU No.1/2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di
Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi UU
10. UU No. 2
tahun tentang 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
11. UU No. 22
Tahun 1997 tentang Narkotika
12. UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
13. UU No. 27
Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara
14. UU No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
15. UU
No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
16. UU No. 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
17. UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM
18. UU No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika
19. UU No. 5
Thn 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
20. UU No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP
21. UU No. 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian
22. UU No.1
tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan
Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
23. UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
24. UU No12/
DRT/ 1951 tentang senjata api dan bahan peledak
25. UU No.18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Dalam
Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam
26. UU No.21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua
27. UU
No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
28. UU
No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
29. PP No. 74
tahun 2001 tentang pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
30. PP No 2
Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
31. PP No 2
Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam
Pelanggaran HAM Yang Berat
32. KepPres No.
103 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat
33. Instruksi
Presiden No. 4 Th. 2002 kepada Menteri negara Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme;
34. Instruksi
Presiden No. 5 Th. 2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara sebagai
koordinator bagi operasi intelijen, dsb.
Pengaturan keamanan negara secara
khusus, disajikannya dalam periodesasi pengaturan, sebagai berikut:
1.
Periode 1945 - 1963.
2.
Periode 1963 - 1999.
5.
Periode 1999 - 2002.
6.
Periode 2002.- sekarang.
Pembagian
beberapa periode tersebut, baik seperti yang diatur dalam KUHP maupun di
luar KUHP, engan asumsi adanya perbedaan penerapannya, yang mungkin dipengaruhi
oleh politik pemerintahan pada masa-masa tersebut.
1.
Periode 1945 - 1963:
Sejak
kemerdekaan Republik Indonesia sampai masa dikeluarkannya Penpres
No. 11/PNPS/1963, yakni masa pengaturan kejahatan keamanan Negara hanya
bersumber KUHP belaka. Kebijakan pengaturan berkaitan dengan
KUHP tersebut, antara lain:
a.
Berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945.
Pada
Aturan Peralihan UUD 1945 dikatakan,bahwa segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini. Maka pada masa itu berlakulah Wetboek van
Strafrecht voor nederlandsch Indie, yang telah dilakukan perubahan oleh
pemerintah Tentara pendudukan Jepang, yang dianggap perlu bagi kekuasaan
mereka. Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya berlaku dualisme KUHP yaitu
wetboek van Strafrecht voor Indonesie dan KUHP hasil Undang-Undang. No.1
tahun 1946, yang sama-sama bersumber dari Staatblaad 732 tahun 1915 tentang
Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie yang mulai berlaku sejak tanggal
1 januari 1918 di Hindia Belanda, dan masing-masing melakukan perubahan
sendiri-sendiri.
b. Berdasarkan staatblaad
no.135 tahun 1945.
Pemerintah
Pelarian Hindia Belanda di Ausrtralia (di kota Brisbane) mengatur
tentang perubahan Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie menjadi wetboek
van Strafrecht voor Indonesie, untuk daerah-daerah selain jawa dan madura
berlaku KUHP ini, yang lebih dikenal dengan “Brisbane Ordonantie”.
Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indieini, teks aslinya masih
dalam bahasa Belanda, dimana dasar yuridis, filosofis maupun
sosiologisnya merupakan pandangan Belanda pada masa tersebut
Perubahan yang
dilakukan oleh “Brisbane Ordonantie”, antara lain:
- diaturnya kejahatan mata-mata,
- penambahan pasal 159 a dan pasal 159 b yaitu mengancam perbuatan yang dianggap mengganggu ketertiban umum dengan kekerasan dan merobohkan pemerintah syah.
- pasal 335 tambah ayat (3), mengatur perbuatan menyangkut kepentingan perekonomian.
- penambahan satu pasal baru yaitu pasal 570 tentang pelanggaran terhadap keamanan Negara, sehingga Wetboek van Strafrecht voor Indonesie menjadi berjumlah 570 pasal.
- penambahan ancaman pidana pasal 110, semula diancam dengan pidana penjara, diubah menjadi pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun
Perubahan
ancaman pidana yang semula telah ada, misalnya yang semula diancam dengan
pidana penjara, diubah menjadi pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara
selama-lamanya dua puluh tahun. Padahal pidana mati di negara
Belanda telah dihapus. Dapat disimpulkan, perubahan yang dilakukan tersebut
mempunyai tujuan politik. Untuk menunjang kembalinya mereka ke negara bekas
jajahannya yaitu Indonesia.
Perubahan
itu mempunyai dampak pada tahun-tahun berikutnya, antara lain terhadap
timbulnya UU Anti Subversi. Ini terjadi karena ada perbuatan yang
tidak diatur dan diancam pidana oleh KUHP, umpamanya perbuatan
mata-mata. Sehingga Pemerintah Indonesia perlu mengadakan peraturan tentang
beberapa perbuatan yang belum diatur oleh KUHP.
c.
Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946,
Dengan
UU ini, Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa untuk hukum
pidana diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah berlaku
sejak tanggal 8 Maret 1942, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederladch
Indie yang belum dirubah oleh pemerintah tentara pendudukan Jepang,
disebut “KUHP hasil Undang-Undang. No.1 tahun 1946”. UU ini memberikan
kekuatan untuk menyesuaikan materi KUHP dengan kondisi negara Indonesia,
terlihat pada ketentuan dalam pasal V, yang menyebutkan:
“Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak
dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai
negara yang merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya
atau sebagian tidak berlaku”. Menurut pasal XVII, UU ini berlaku bagi Jawa dan
madura, kemudian menyusul Jakarta dan sebagian dari pulau sumatra.
Materi
pengaturan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Bab I Buku Ke dua KUHP
dirumuskan mulai pasal 104 sampai dengan pasal 129, ringkasnya sebagai berikut:
- Pasal 104, makar dengan maksud membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden dan Wakilnya memerintah.
- Pasal 106, makar dengan maksud seluruh atau sebagian wilayah Negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah Negara.
- Pasal 107, makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.
- Pasal 108, pemberontakan.
- Pasal 110, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 104, 106, 107, 108.
- Pasal 111, mengadakan hubungan dengan Negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan memusuhi atau perang dengan Negara RI dsb.
- Pasal 111 bis, mengadakan hubungan dengan orang atau badan di luar negeri dengan maksud menggerakkannya supaya membantu mempersiapkan, memperlancar, atau menggerakkan untuk menggulingkan pemerintah yang sah dsb.
- Pasal 112, sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita yang diketahuinya harus dirahasikan untuk kepentingan Negara.
- Pasal 113, sengaja mengumumkan , atau memberitahukanmaupun menyerahkan kepada orang yang tidak wenang mengetahui, surat-surat, peta-peta dan lain sebagainya yang bersifat rahasia yang bersangkutan dengan pertahan dan keamanan Negara.
- Pasal 114, karena kealpaannya menyebabkan surat-surat atau benda-benda dalam pasal 113 yang menjadi tugasnya untuk menyimpannya, diketahui umum atau yang tidak berhak dsb.
- Pasal 115, melihat atau membaca surat-surat atau benda-benda rahasia dalam pasal 113, yang diketahuinya bahwa benda-benda itu dimaksudkan untuk diketahui olehnya dsb.
- Pasal 116, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 113 dan 115.
- Pasal 117, sengaja memasuki bangunan AD atau AL atau daerah terlarang dsb.
- Pasal 118, tanpa wenang, sengaja membuat, mengumpulkan dsb, yang bersangkutan dengan kepentingan militer.
- Pasal 119, memberi tumpangan kepada orang yang diketahuinya mempunyai niat untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113.
- Pasal 120, kejahatan pasal 113, 115, 117, 118, 119 yang dilakukan dengan aqal curang.
- Pasal 121, orang yang ditugasi untuk berunding dengan Negara asing, dengan sengaja merugikan Negara Indonesia.
- Pasal 122, dalam masa perang yang tidak menyangkut Indonesia, dengan sengaja melakukan perbuatan yang membahayakan kenetralan Negara.
- Pasal 123, WNI yang masuk menjadi tentara asing yang sedang menghadapi perang atau perang dengan Indonesia.
- Pasal 124, dalam masa perang sengaja memberi bantuan pada musuh dsb.
- Pasal 125, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dalam pasal 124.
- Pasal 126, dalam masa perang tidak dengan maksud membantu musuh, memberi pondokan kepada mata-mata musuh, menyembunyikan dsb.
- Pasal 127, dalam masa perang melakukan perbuatan tipu muslihat atau aqal curang dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
- Pasal 129, diterapkannya pidana-pidana yang ditentukan terhadap perbuatan-perbuatan dalam pasal 124–127, kepada si pembuat yang melakukan salah satu perbuatan itu terhadap atau bersangkutan dengan Negara sekutu dalam perang bersama.
Pada periode berlakunya KUHP berdasar UU No.1 tahun 1946 ini, ada beberapa
peraturan perundangan yang mengatur tentang keamanan negara, antara lain:
1).
Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya sebagaimana
telah diubah dua kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 52 Prp Tahun 1960 .
UU
keadaan bahaya yang lazim dinamakan UU darurat, dalam rangka menindaklanjuti
pasal 12 UUD 1945, yang menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditentukan dengan Undang-undang". Keadaan bahaya adalah
“suatu keadaan terganggunya keamanan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan
yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan
memisahkan diri dari wilayah negara dengan kekerasan atau timbul ancaman perang
atau terjadi perang yang tidak dapat diatasi oleh aparatur negara secara
biasa”.
UU 23/ 1959 ini, dalam proses penegakan hukum kejahatan terhadap keamanan
Negara, mempunyai beberapa ketentuan untuk itu, antara lain:
Pasal 1
Presiden dapat menyatakan seluruh atau sebagian wilayah RI dalam keadaan bahaya
dengan tiga tingkatan: darurat sipil, darurat militer, keadaan perang.
(1) Keadaan
darurat dapat diumumkan Presiden jika keamanan atau ketertiban hukum di seluruh
atau sebagian RI terancam pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat
bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat negara
secara biasa.
(2) Keadaan
darurat itu dapat pula diumumkan jika timbul perang, atau bahaya perang, atau
dikhawatirkan terjadi perkosaan wilayah RI dengan cara apa pun juga. Dengan
kata lain, hidup negara dalam bahaya.
Sehingga Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya kedaulatan negara,
terpeliharanya persatuan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayahnya, bisa jadi
suatu ketika menghadapi berbagai ancaman dari dalam dan luar
negeri dengan intensitas tinggi, memerlukan penanggulangan keadaan bahaya
itu.
Dalam situasi seperti di atas, tanggung jawab utama ada pada Presiden
sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, oleh karena itu
berwenang mengambil tindakan untuk menyelamatkan dan mengamankan negara, dengan
menetapkan negara dalam keadaan bahaya dengan status darurat sipil atau status
darurat militer atau dalam keadaan perang. Dan berhak mengumumkan dan mencabut
keadaan bahaya kapan pun dia suka, karena UU Darurat tidak mengatur ketentuan
pertanggungjawabannya. Presiden dapat menentukan waktu darurat ini sesuka hati
seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan 10 tahun, tanpa perlu persetujuan DPR.
Mengenai
kekuasaan presiden untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya, berikut
diketengahkan beberapa peraturan perundangan yang pernah ada, antara lain:
a). Keppres RI
no. 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan Maluku
Utara sebagaimana telah diubah dengan KeppresNo.40 Tahun 2002
b). Keppres RI
no. 97 tahun 2003 Tentang Pernyataan Perpanjangan Keadaan bahaya Dengan
Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam.
2). UU No.
73 tahun 1958 Tentang pemberlakuan UU No. 1 tahun 1946 untuk seluruh wilayah
Indonesia
Dualisme
sistem hukum pidana tersebut berlangsung terus meskipun kedaulatan
sepenuhnya ada pada pemerintah Indonesia baik secara de jure maupun
secara de facto, Hal ini disebabkan karena baik konstitusi RIS maupun
UUDS 1950 tetap memberlakukan semua peraturan yang ada sebelum adanya peraturan
yang baru, sehingga baik KUHP maupun Wetboek van Strafrecht voor Idonesia
masih tetap berlaku secara berdampingan dalam daerah masing-masing di wilayah
Indonesia.
Keadaan
demikian baru disadari setelah timbulnya beberapa kasus, umpamanya “kasus
Cikini”, yaitu kasus percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang
terjadi di jalan Cikini Raya Cakarta tahun 1957, dengan cara melemparkan granat
yang menimbulkan korban tewas 9 orang dan luka-luka sebanyak 55 orang.
Peristiwa tersebut merupakan suatu peristiwa yang dilatar belakangi
politik atau bertujuan politik, yakni ingin merobohkan pemerintahan dengan
jalan membunuh kepala negara agar tidak dapat berfungsi sebagai kepala
negara. Tetapi di depan pengadilan para pembela terdakwa mengemukakan
bahwa di Jakarta sebenarnya yang berlaku adalah Wetboek van Strafrecht voor
Indonesie, dalam dalam undang-ungdang pidana tersebut yang dilarang
adalah seseorang yang ingin mencoba atau membunuh “koning/
koningen” yang diterjemahkan raja atau ratu. Sedangkan dalam peristiwa Cikini
yang akan dibunuh adalah Presiden. Presiden bukan raja, sehingga pasal-pasal
dalam KUHP tidak dapat dipergunakan untuk menuntut terdakwa.
Dualisme
sistem perundang-undangan hukum pidana tersebut baru diakhiri dengan
dikeluarkannya UU No. 73 tahun 1958 yang menyebutkan bahwa UU No. 1 tahun 1946
berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, artinya di seluruh wilayah Indonesia
berlaku KUHP hasil perubahan UU No. 1 tahun 1946 dari Wetboek van Strafrecht
voor Nederladsch Indie, yang diberlakukan di Hindia Belanda secara
efektif sejak 1 Januari 1918., yang tentunya teks aslinya masih dalam bahasa
Belanda.
Dan Wetboek van
Strafrecht voor Nederladsch Indie itu merupakan saduran atau dapat
dikatakan sama seperti yang berlaku di negeri Belanda tahun 1886.
Sehingga dapat diperkirakan bahwa baik dasar yuridis, filosofis maupun
sosiologis yang mendasari adalah merupakan pandangan pada masa tersebut,
yang jelas pasti berbeda dengan bangsa Indonesia.
Aslinya di
negeri Belanda Wetboek van Strafrecht telah banyak dilakukan perubahan, antara
lain dengan menambahkan ketentuan tentang perbuatan mata-mata serta
perbuatan sabotase. Sehingga dengan keluarnya UU No. 73 tahun 1958 maka
perbuatan mata-mata serta perbuatan sabotase itu tidak terlarang
lagi di Indonesia dan belum didapati pengaturannya dalam KHUP.
Peristiwa
Cikini tersebut diikuti dengan dikeluarkannya Penpres No. 5 tahun 1959
yang memperberat ancaman pidana terhadap delik yang tersebut dalam titel
I dan II Buku Ke dua KUHP, dengan tambahan kualifikasi
menghalang-halangi program pemerintah. Memang ketentuan-ketentuan tsb
merupakan tindak pidana politik juga , tetapi belum mencakup
kejahatan-kejahatan seperti kegiatan mata-mata, sabotase, penjualan rahasia
negara kepada pihak asing , subversi dalamarti merencanakan dan mempersiapkan
intervensi atau invasi tentara asing ke dalam negeri dan sebagainya. Hal
seperti itu baru diatur dalam UU Anti subversi.
2. Periode
1963 – 1999
Masa
berlakunya hukum pidana dibidang subversi, yakni sejak berlakunya Penpres
No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi hingga dikeluarkannya
UU No. 26 tahun 1999 tentang pencabutan UU No. 5 tahun 1969 tentang
pengesahan Penpres No. 11 tahun 1963 menjadi Undang-Undang. Pada periode
ini sekedar untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan dalam
pelaksanaannya, maka disajikan sebagai berikut:
a. Masa berlakunya Penpres
No. 11 tahun 1963 pada Orde lama.
Sejak
berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 sampai dengan mulanya Orde Baru yaitu 11
Maret 1966. Yakni masa setelah ada peraturan tentang pemberantasan
kegiatan subversi, akan tetapi dalam masa pemerintah Orde Lama. Dalam periode
ini KUHP sebagai undang-undang pidana umum dan Penpres No. 11 tahun 1963
yang saat itu berlaku sebagai penetapan presiden, merupakan undang-undang
pidana khusus.
Dalam
membicarakan keabsahan Penetapan Presiden ini, tidak dapat dilepaskan
dari adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1969, karena dekrit ini yang mendorong
timbulnya Penpres No. 11 tahun 1963. Dekrit Presiden 5 Juli 1969 lahir karena
keadaan pada saat itu dianggap membahayakan kesatuan bangsa, jadi pada waktu
itu negara dalam keadaan darurat, sehingga ada sebagian orang yang membenarkan
presiden membuat peraturan yang bersifat darurat dan tidak dalam rangka
struktur dan hirarki perundang-undangan menurut UUD 1945. Jadi sebagai hukum
revolusi. Ia merupakan alat Orde Lama . Bersama Partai Komunis yang tergabung
di dalamnya, yang ditujukan kepada lawan politiknya.
Sebagai
hukum pidana khusus, Penpres No 11 tahun 1963 memuat beberapa
penyimpangan terhadap KUHP. Secara ringkas penyimpangan tersebut antara lain:
- Perumusan delik bersifat meluas dan serba meliputi.
- Kemungkinan dijatuhkannya putusan in absentia.
- Dimungkinkannya pemidanaan terhadap badan hokum perseroan, perserkatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, disamping orang sebagai subyek hukum.
- Penerobosan rahasia bank.
- Dapat ditempuhnya upaya banding atas putusan hakim yang berupa pembebasan.
- pelaksanaan sidang perkara mutlak harus terdiri 3 hakim.
- Putusan pengadilan yang bukan pidana mati, tidak tertunda karena permohonan grasi.
- Jaksa Agung/ Oditur Jendral berwenang mengadakan penahanan terhadap seseorang yang didakwa melakukan kegiatan subversi untuk paling lama satu tahun.
- Perkara subversi diperiksa dalam batas waktu tertentu.
- Mengecualikan berlakunya pasal 63 ayat 2 KUHP, yang berbunyi:”Jika untuk seseuatu perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum ditentukan aturan pidakhusus, maka hanyalah aturan pidana khusus itu saja yang dikenakan”.
- Kemungkinan dijatuhkannya pidana (penjara) dan denda, dengan variasi berupa pidana badan saja, dapat pula pidana badan dan denda, juga mungkin pidana denda saja.
- Dapat dirampasnya benda yang menjadi milik atau bukan milik terpidana yang diperoleh dari atau digunakan alat melakukan tindak pidana subversi.
b. Masa
berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 pada Orde Baru.
Yakni
tenggang waktu antara sejak 11 Maret 1966 (Surat Perintah Sebelas
maret) sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969. Saat
digunakannya peraturan tentang kegiatan subversi dalam masa Orde Baru,
untuk menjerat berbagai kejahatan terhadap keamanan Negara.
Dalam
periode ini Penpres No. 11 tahun 1963 dipakai sebagai undang-undang
dalam mengadili pera pelaku gerakan 30 September 1966/ PKI, yaitu tokoh-tokoh
Orde Lama dan PKI. Hal ini dapat dibenarkan secara filosofis, bahwa
barang siapa membuat suatu aturan yang dipandang adil dan sah untuk diterapkan
kepada orang lain, tentulah adil dan sah jika diterapkan pula kepadanya,
jika ia melakukan perbuatan yang memnuhi unsur-unsur dalam peraturan tersebut.
Dalam sejarah pernah terjadi, yaitu peraturan “darurat” yang dibuat oleh regim
Nazi Hitler, diberlakukan pula terhadap mereka sebagai penjahat perang.
c. Masa
berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 sebagai UU No. 11/PNPS/1963 dengan
UU No. 5 tahun 1969.
Periode
ini terjadi antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1999. Yakni masa sejak
ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyataan Berbagai Penpres dan dan
Keppres sebagai undang-undang, sebagai tindak lanjut atas peninjauan kembali
terhadap semua produk perundang-undangan dari tahun 1959 sampai
tahun 1966 sampai dengan ditetapkannya UU No.26 tahun 1999
tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 dan UU No. 27 tahun 1999 tentang
Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dengan
UU No. 5 tahun 1969 tersebut , maka Penpres No. 11 tahun 1963 menjadi UU
No. 11/PNPS/1963. Sehingga pada periode ini kejahatan terhadap keamanan
negara dijerat dengan UU Anti Subversi. Dengan dilegalisasikan dan
ditempatkan dalam jajaran perundang-undangan yang konstitusional, maka
menjadi hukum formal bagi hukum pidana politik. Walaupun disadari saat itu
belum ada putusan Mahkamah Agung yang konstan mengenai harus ada atau
tidaknya latar belakang serta tujuan politik pelaku tindak pidana
politik, ada kalanya berlatar belakang politik ada kalanya tidak.
Beberapa kasus yang bisa dijadikan contoh, misalnya: Kasus Gerakan Aceh
Merdeka. Kasus Jayus dan Slamet dalam kasus Wei Jepara Lampung, yang ditahan
sejak1989 dan baru diketahui LBH pada 1993. Kasus HR Darsono,
Kasus Tengku Bantaqia, Kasus Sri Bintang Pamungkas dan Kasus Budiman Sujatmiko.
Tetapi
setidaknya UU No. 5 tahun 1969 telah memberikan ruang gerak kepada
hakim yang cukup memadai untuk menerapkan penafsiran penghalusan
hukum, bahwa undang-undang tersebut bersifat darurat yang akan
ditinjau dan diselaraskan dengan UUD 1945 dan hati nurani rakyat.12
Pada
periode ini ada beberapa peraturan yang dikeluarkan berkaitan dengan keamanan
Negara, antara lain:
1). UU No. 1
Tahun 1979 Tentang Ekstradiksi.
Ekstradisi
adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan
seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar
wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang
meminta penyerahan, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Di dalam
Pasal 4, ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang di dalamnya
memuat daftar kejahatan yang dapat di ekstradisi13. Dalam hal belum
ada perjanjian, ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika
kepentingan Negara menghendakinya.
Ekstradisi
dapat dilakukan terhadap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara
asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana
atau perintah penahanan. Ekstradisi dapat juga dilakukan terhadap orang yang
disangka melakukan atau telah dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan
dan permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan. Sepanjang pembantuan,
percobaan, dan permufakatan jahat itu dapat dipidana menurut hukum Negara
Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi.
Di
dalam pasal 2 dari UU ini, disebutkan pelanggaran hukum yang dapat
diserahkan oleh suatu Negara Diminta kepada Negara Peminta penyerahan, antara
lain:
- pelanggaran
yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum Negara yang
terikat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia yakni berdasarkan asas tindak
pidana ganda (double criminality),
-
pelanggaran hukum tersebut diancam dengan pidana penjara lebih dari 1 (satu)
tahun atau dengan pidana lebih berat.
Secara
garis besar di dalam penjelasan pasal 4 UU ini, Negara Diminta boleh menolak
untuk menyerahkan dalam hal yang berkaitan dengan proses peradilan pidana yang
berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana, antara lain.
1- tindak
pidana yang berlatar belakang politik,
2- tindak
pidana militer,
3- penuntutan
yang telah kadaluarsa,
4- ne bis in
idem.
5- tindak
pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial
crime) dan tidak diatur menurut hukum Negara Diminta
6- tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati.
Dalam
UU ini ketentuan ekstradisi tidak dapat dipisahkan dari hak asasi
manusia, sehingga amat mempengaruhi pelaksanaan ekstradisi atas diri seorang
penjahat. Hak asasi manusia itu telah mendorong lahirnya beberapa azas-azas
ekstradisi yang berlaku dalam perjanjian antar Negara. Hal yang perlu di garis
bawahi, bahwa terhadap delik politik tidak dapat diekstadisi, ini
sehubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian
kejahatan politik. Pengecualian terhadap tidak dapat diserahkannya seorang
penjahat politik dari Negara yang Diminta kepada Negara Peminta adalah apabila
terjadi pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap Kepala Negara atau
anggota keluarganya. Karena perbuatan tersebut dianggap bukan kejahatan
politik, meskipun mungkin terjadi dengan latar belakang atau tujuan-tujuan
politik. Kasus yang menarik untuk disimak misalnya kasus ekstradisi
Umar al. Faruq yang dituduh bersama-sama dengan ustad Abu Bakar ba”asyir
terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap presiden Megawati Soekarno Putri
Beberapa
peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti Undang-undang No.1 tahun
1979 tentang ekstradisi antara lain:
- Undang-undang No. 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah indonesia dengan Pemerintah Malaysia,
- Undang-undang No. 2 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Pemeritah Republik Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Thailand.
2).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982
UU
no. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia (LNRI Tahun 1982 No. 51, TLN No. 3234), sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No. 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia (LNRI Tahun 1988 No. 3, TLN No. 3368), dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan ketatanegaraan RI dan perubahan kelembagaan
TNI, yang didorong perkembangan
kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga UU tersebut perlu
diganti.Dalam era reformasi diupayakan untuk diganti dengan munculnya RUU
Penanggulangan keadaan bahaya (RUU PKB) dan RUU Keamanan dan Keselaman Negara
(RUU KKN), yang dalam masa pembahasan dan persetujuannya kedua RUU ini telah
memicu pro kontrak masyarakat yang mengkhawatirkan akan kembali dan menguatnya
peran TNI seperti semasa Orde Baru, sehingga pemerintah terpaksa penunda
pemberlakuannya.
3.
Periode 1999 – 2002
Masa sejak ditetapkannya UU No. 26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No.
11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan ditetapkannya UU No.
27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara sampai dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 dan No. 2 tahun
2002. Pada masa ini seiring dengan tidak berlakunya lagi UU Anti Subversi,
maka kejahatan terhadap keamanan negara penanganannya dikembalikan kepada
KUHP.
Beberapa
peristiwa menarik di Indonesia pada saat itu antara lain:
1. Tahun ketiga
setelah penghancuran (bumi hangus saat jajag pendapat ) oleh militer Indonesia
dan milisi pro-integrasi, belum diketahui secara pasti berapa jumlah korban
tewas, hilang, korban perkosaan, dan kejahatan lainnya di Timor Timur. Semua
masih menjadi misteri. Sedangkan para pelaku kejahatan itu masih bebas,
sementara para korban dan keluarga korban terus menuntut keadilan kepadaUnited
Nations Transitional Administration for East Timor (UNTAET) untuk membentuk
Special Panel (Regulasi 2000/15) yang memiliki kewenangan mengusut
kejahatan-kejahatan serius.
2. Penanganan
atas Peristiwa idul fitri berdarah di Ambon pada 19 Januari 1999,
antara muslim (yang belakangan dibantu Laskar Jihad) dengan Kristen yang di
dukung oleh Forum Kedaulatan Maluku (FKM) yang diketuai oleh Alex Manuputy,
yang sampai masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati
Soekarno Putri belum juga tuntas.
3. Adanya
pemahaman lain tentang makar, yang dilontarkan pada ceramah anggota Fraksi
Kebangkitan Bangsa DPR, KH Nur Muhammad Iskandar SQ di Kebumen, Jawa Tengah.
yang menyebut Amien Rais dan Akbar Tandjung telah berbuat makar dan halal
darahnya karena bermaksud untuk menurunkan Gus Dur dari jabatan Presiden “
4.
Periode 2002 – sekarang
Pada periode
ini ada beberapa ada beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan
keamanan negara, antara lain:
1). UU
no. 3 tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
Dalam
UU no. 3 tahun 2002, diatur tentang pertahanan Negara, Sistem pertahanan
Negara, tujuan dan usaha pertahanan Negara.. Pertahanan negara,
diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem
pertahanan Negara. Pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu
fungsi pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan
mendukung kebijakan nasional di bidang pertahanan. Dalam menghadapi ancaman
militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan
didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, dalam menghadapi
ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan
sebagai unsur utama, didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa,
misalnya komponan cadangan dan pendukung.
Komponen
cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya
buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk
dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.
Dan Komponen pendukung, yang terdiri atas warga negara, sumber daya alam,
sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung
atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama
dan komponen cadangan.
Ancaman
pertahanan negara, sebenarnya merupakan Ancaman terhadap kedaulatan Negara,
semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multi
dimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun
dari dalam negeri. Ancaman bisa berupa ancaman militer
dan ancaman non militer.
UU
Pertahanan Negara ini, isinya mengesankan hanya mengatur tentang pemberian
wewenang yang lebih besar pada pihak militer untuk berkuasa, tidak
mengatur syarat-syarat keadaan bahaya dan prosedur keselamatan negara dari ancaman
krisis ekonomi, politik, sosial budaya, dan iptek. Sehingga menimbulkan
penafsiran bahwa UU ini memiliki tujuan tendensius untuk memberikan
kekuasaan dan wewenang berlebihan terhadap militer. Terlihat dari
dimungkinkannya TNI untuk melakukan operasi militer.
UU
ini memberi peluang pada militer untuk berkuasa total dengan menggantikan
fungsi keamanan domestik yang merupakan tugas Polri, dan fungsi administratif
pemerintahan sipil, baik pusat maupun daerah. Bahkan UU ini bisa
memberikan peluang pada militer untuk memberlakukan hukumnya sendiri di atas
hukum yang berlaku, dan mengambil alih pengadilan tindak pidana sipil oleh
peradilan militer. diberlakukan, maka kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya
banyak korban tak bersalah, tidak ada penegakan hukum dan demokrasi, dan
akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat karena merasa kebebasannya direnggut
penguasa militer. Dengan demikian sistem pertahanan negara
"Militerisme" bukannya menjamin keselamatan dan keamanan negara,
namun justru berpotensi menimbulkan perang saudara yang mengancam keutuhan
wilayah negara dan persatuan bangsa. tentuan seperti itu beresiko tinggi
melahirkan rejim militer di Indonesia, karena tujuannya adalah memberi
kekuasaan yang sangat besar pada militer untuk berkuasa di atas hukum apapun,
setelah perseorangan Presiden dengan pengaruh Pejabat Militer dengan mudahnya
dapat mengesahkan keadaan darurat.
Dalam
UU ini, memang Presiden berwenang dan bertanggung jawab mengelola sistem
pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan Negara, dengan menetapkan
kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan,
penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara, berdasarkan prinsip
demokrasi, HAM, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional,
hukum dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara
damai.
Warna
militerisme di masa lalu, tampil dalam sosok kekuasaan Presiden Indonesia.
Terungkap dalam laporan: Al-Qaeda in South-east Asia: the Case of the
"Ngruki Network" in Indonesia (2002), oleh Direktur International
Crisis Group, Sidney Jones, peneliti dari Amerika Serikat. Dalam laporan itu,
tergambar suatu operasi intelijen yang merekayasa kasus Darul Islam (DI) dan
Jama’ah Islamiyah (JI) oleh Ali Murtopo masa Presiden Soeharto, dalam rangka
mempertahankan kekekuasan rezim tersebut. .15
2). UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 merupakan penetapan atas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang mana Perpu no 1 tahun 2002 itu sempat
diberlakukan terhadap kasus peledakan bom tanggal 12 oltober 2002 di Bali
berupa Perpu no. 2 tahun 2002 yang kemudian dijadikan UU no. 16 tahun 2003,
kemudian untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 pemerintah
telah membentuk Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara
Tindak Pidana Terorisme.
Pada
masa ini, saat-saat isu terorisme demikian menglobal dan sarat dengan muatan
kepentingan pasca peledakan bom 11 September 2001, maka di Indonesia
untuk menangani kasus-kasus kejahatan terhadap keamanan negara
dikeluarkanlan Perpu No. 1 dan 2 tahun 2002 tentang Pemberantasan Kegiatan
Terorisme Namun seiring dengan meningkatnya jumlah ledakan bom dan perbuatan
teror maka Perpu tersebut ditingkatkan menjadi UU No. 15 dan 16 tahun
2003. Sehingga pada masa ini kejahatan terhadap keamanan negara dijerat dengan
UU Anti Terorisme.
Sekedar
gambaran tentang beberapa peristiwa teror yang terjadi, dapat dikemukakan,
antara lain:
1. Ledakan bom
yang terjadi di Bali pada Sabtu (12/10) pukul 23.15 WITA disebut-sebut sebagai
aksi teror terburuk semenjak peristiwa 11 September 2001 yang meruntuhkan
menara kembar World Trade Center, New York, dan menghancurkan markas militer
AS, Pentagon.Sebagian orang menyebut dua tragedi tersebut saling berkaitan
karena ledakan bom di jalan Legian, Kuta, Bali, terjadi tepat 1 tahun, 1 bulan
dan 1 hari selang tragedi "Black September". Setidaknya 182 orang
tewas dan 300 orang mengalami luka-luka dalam tragedi yang menimbulkan
kengerian dan kepanikan luar biasa itu16.
2. Ledakan
hebat terjadi di Hotel JW Marriott, Jakarta Selatan, Selasa (5/8) pukul 12.45.
Diperkirakan, ledakan dari bom yang diletakkan di dalam mobil. Kuat dugaan
bencana itu akibat bom bunuh diri. Korban tewas ledakan bom di kawasan Hotel
Marriott sedikitnya tercatat 12 orang. Sebanyak 52 orang lainnya saat ini telah
dievakuasi ke RS Jakarta, kawasan Benhil, Jaksel, Selasa (5/8/2003). Asap tebal
hingga kini masih tergambar
jelas di kawasan bisnis di segitiga emas itu. Sekadar diketahui, Marriott adalah
hotel bintang lima yang sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan perwakilan
asing. Hotel ini terdiri dari 33 lantai, 333 kamar dan beroperasi pada
September 200117.
3. Sebuah bom
berkekuatan besar (high explosive), meledak di depan kantor Kedutaan Besar
Australia, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/9)
sekitar pukul 10.25. Hingga Kamis malam, setidaknya enam orang tewas dalam
kejadian ini, serta 161 lainnya luka-luka. Ledakan itu dipastikan berasal dari
bom mobil, modus yang mirip dengan bom Bali dan bom JW Marriot.
Terorisme
sebagai sebuah isu global dalam dunia internasional, regional, maupun nasional
sebenarnya sudah lama kita kenal meskipun harus diakui tidaklah mudah untuk
mendefinisikannya. Namun, barangkali perlu diupayakan secara lebih spesifik
agar mendapatkan suatu karakteristik dari pengertian teror maupun
terorisme, paling tidak untuk membentuk sarana hukum yang tepat dalam
penanggulangan kejahatan terorisme.
Dalam
UU No. 15 Tahun 2003 dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme diupayakan untuk memberikan batasan dan karakteristik
pengertian teror, teroris, dan terorisme. Namun tidak memberikan definisi yang
memuaskan tentang perbuatan teror sebagai sebuah delik pidana, seperti halnya
dalam delik pencurian, pembunuhan, pemerkosaan sehingga unsur-unsur perbuatan
pidana menjadi kabur dan terlalu luas pengertiannya. Hal ini sulit untuk
dirumuskan dan membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam proses
penegakan hukumnya.
Sejauh
ini masyarakat internasional telah mengategorikan terorisme sebagai extra
ordinary crime karena akibat dari kejahatannya menyebabkan rangkaian
kejahatan dan kerugian yang sangat luas mulai dari nyawa manusia, harta,
fasilitas umum, objek-objek vital negara, kepentingan umum, dan kemerdekaan
masyarakat diciderai secara serius. Hal ini juga memberikan peluang bagi
pihak-pihak yang ingin menjatuhkan pihak tertentu yang berseteru dengan
berusaha memasukkan lawan seterunya sebagai pelaku terorisme. Untuk itu harus
sangat berhati-hati terhadap kategorisasi kejahatan terorisme tersebut, apalagi
bila yang dominan memberi label
teroris tersebut adalah pihak yang berkuasa sosial politik maupun ekonomi
secara internasional.
Apa
yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme. Dalam ketentuan umum UU no.15
tahun 2003 terorisme didefinisikan sebagai: perbuatan yang merupakan kekerasan
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau atau
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional
Dari
rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, bisa ditafsirkan meliputi dua macam tindak
pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:
1. Menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menim-bulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain.
2. Menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional.
Rumusan
tindak pidana teror selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 8, yang mengharuskan
adanya kesengajaan dan memungkinkan menjerat kealpaan sebagai suatu
perbuatan terorisme ( pasal 8, d dan g )20. Pasal 8
memasukan 18 macam perbuatan sebagai tindak pidana teror dalam bidang
penerbangan (sama dengan KUHP) dan dipidana sama dengan tindak pidana teror
dalam Pasal 6.
Kata
“merencanakan” dan kata “menggerakkan” dalam pasal ini tidak memiliki ukuran
jelas sehingga bisa saja ditafsirkan yang “memotivasi” atau yang
“menginspirasi” dari suatu perbuatan yang masuk kategori tindak pidana teror.
Seorang guru, ulama, pastor, atau pengamat dapat dikenai pasal ini jika
kemudian ada seseorang yang melakukan tindak pidana teror berdasarkan ucapan
mereka.
Selain
longgarnya definisi dalam UU ini juga bertebar rumusan pasal yang bersifat
karet, yang banyak mengandung implikasi negatif dalam penerapkan. Rumusan karet
dalam UU Anti terorisme tersebut, antara lain:
1. Menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan
2. suasana
terror/ rasa takut thd orang secara meluas
3. objek-objek
vital yang strategis (ps. 6)
4. pengertian
kata “bermaksud” (ps. 7)
5. merencanakan
dan/atau menggerakkan orang (ps. 14)
6. tafsir :
mengintimidasi, proses peradilan menjadi terganggu, tidak langsung (ps.20, 22)
7. dapat
menggunakan setiap laporan intelijen (ps.26)
Untuk
dapat membedakan
antara tindak pidana teror dengan tindak pidana lainnya, maka perlu
disampaikan unsur-unsur tindak pidana teror yang berbeda dengan tindak pidana
biasa. Unsur pokok tindak pidana teror, adalah:
1. tindak
kekerasan itu terencana rapi, bukan bersifat impulsif atau spontan.
2. perbuatan
itu berlatar belakang politis, bukan kriminal seperti tindak kejahatan yang
dilakukan para mafia yang bermotifkan uang. Politis dalam arti bertujuan untuk
menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau sistem politik yang ada.
3. sasaran
terorisme selalu masyarakat sipil, bukan instalasi militer atau pasukan
bersenjata.
4. dilancarkan
oleh kelompok-kelompok sempalan dalam negeri yang merasa tidak puas dan marah
terhadap kebijakan pemerintah.
Apakah
tindak pidana teror dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime?
Banyak pihak menyatakan, tindak pidana teror adalah extra ordinary
crime. karena sifat perbuatannya yang luar biasa, dengan alasan sulitnya
pengungkapan, juga karena merupakan kejahatan transboundary dan
melibatkan jaringan internasional.
Tindakan
teror bisa dilakukan oleh individu atau sekelompok individu, organisasi
dan negara. Tindakan terror yang dilakukan individu, sering kali merupakan
bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau
cita-cita religius tertentu. Namun dijumpai pula beberapa
kasus teror yang dilakukan seorang atau beberapa orang, bukan berasal
dari sebuah organisasi.Tindakan teror yang dilakukan oleh negara, bisa berupa
tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM (gross
violation against human rights). Terorisme negara berkembang seiring sejarah
perkembangan
peradaban manusia, contoh fenomena sosial yang pernah terjadi
adalah, “perang psikologis yang ditulis Xenophon (431-350), Kaisar Tiberius
(14-37 SM) dan Caligula (37-41 SM) dari Romawi Romawi mempraktekkan terorisme
dalam penyingkiran, perampasan harta benda, dan menghukum lawan-lawan
politiknya. Roberspierre (1758-1794) saat revolusi Perancis. Setelah perang
sipil di AS muncul kelompok teroris rasialis Ku Klux Klan. Demikian
juga Hitler di Jerman dan Joseph Stalin di Rusia.
Mengenai
hal di atas dan dalam rangka menindak lanjuti upaya penegakan hukum dari
resolusi PBB no 1267 tahun 1999, pemerintah Indonesia melakukan beberapa hal,
antara lain: Mengajukan permohonan kepada PBB agar memasukkan GAM, JI dan
beberapa WNI (Agus Dwikarna, Faturrahman Al Ghozy, dan Oskar Makawata), kedalam
daftar teroris yang disusun PBB dalam revolusi PBB tersebut.
Bila
tindakan teror itu dilakukan oleh negara terhadap warganegaranya sendiri, maka
akan diadili oleh Pengadilan HAM (di Indonesia bernama Pengadilan ad hoc HAM
berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM serta PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat). Bila tindak pidana
teror itu dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya yang melanggar international
criminal law, walaupun ini erat bersinggungan dengan masalah kedaulatan negara
maka idealnya diselesaikan pada Pengadilan internasional. Perlu diingat
untuk tindak pidana teror oleh suatu negara terhadap negara lainnya,
bila melibatkan negara-negara kecil, pengadilan Internasional masih mungkin
untuk dilakukan, tetapi bila melibatkan negara besar terhadap negara
kecil, akan sulit dilakukan.
Sehingga
seharusnya alternatif Kebijakan Legislasi dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme, yang seharusnya bisa dilakukan adalah:
1. Karena
terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka
pada dasarnya pengaturan anti-terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukan
dalam satu peraturan.
2.
Mengefektifkan ketentuan hukum yang ada dan terpencar dalam UU, dengan
mengintegrasikannya ke dalam kerangka hukum yang komprehensif.
3. Melakukan
aksesi dan atau ratifikasi berbagai ketentuan internasional tentang terorisme
4. Kerangka
hukum di atas harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan: pengawasan
perbatasan (darat, laut dan udara), keamanan transportasi, bea-cukai,
keimigrasian, money laundering, basis rekrutmen dan pelatihan (milisi
dan latihan-latihan militer ilegal), keuangan, bahan peledak, bahan kimia, dan
persenjataan, serta perlindungan terhadap keselamatan masyarakat.
5. Mewajibkan
setiap prosedur dan tindakan hukum secara non-diskriminatif, selalu menghormati
dan melindungi HAM yang non-derogable rights.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Reformasi
di berbagai bidang, memicu maraknya berbagai reaksi yang menimbulkan gejolak
hukum dalam bidang pengaturan kejahatan terhadap keamanan negara. Kejahatan ini
mempunyai obyek keamanan negara, sehingga lebih tepat apabila disebut
sebagai Kejahatan Terhadap Pelestarian Kehidupan Negara. Kejahatan terhadap
terhadap negara, terdiri dari berrmacam-macam jenis, namun ada sifat
khusus yang menadainya yaitu adanya sifat pengkhianatan, secara intern
dan ekstern. Pengaturan mengenai Kejahatan terhadap keamanan negara di
Indonesia, dapat dilihat secara umum dan secara khusus, di dalam KUHP
maupun di dalam peraturan perundang-undangan lainnya, yang penerapannya bisa
dibedakan melalui periodesasi pengaturannya.
B. SARAN
1.Setiap guru maupun calon guru Pkn
diharapkan lebih dapat mengisi waktu luang mereka untuk melakukan aktivitas
yang bermanfaat juga bisa memperkaya ilmu pegetahuan. Khususnya Hukum pidana yang mengenai tindakan kejahatan
tehadap keamanan Negara yang Tertuang dalam KUHP dan dapat berfikir keritis
seta dapat diterapkan pada peserta didiknya.
2.Diharapkan mahasiswa lebih berperan
aktif di dalam kegiatan perkuliahan mata kuliah Hukum Pidana agar dapat lebih memahami mata kuliah jenis
ini secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazami, 2001,
Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Biro Konsultasi dan
Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,
Andi hamzah,
1992, Hukum Pidana Politik, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
H.A.K.Moch.Anwar,
1994. Hukum Pidana Bagian Khusus
(KUHP Buku II), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung,
Loebby Loqman,
1985, Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, Lebsi,
Jakarta
Loebby Loqman, 1993,
Delik Politik di Indonesia, Ind=Hill-Co, Jakarta,
Sumiyanto, 1999,Laporan
Hasil Penelitian Tentang Berbagai rumusan Kejahatan yang Dapat Dikualisir
Sebagai Kejahatan Politik dan Sanksinya. Universitas Brawijaya,
Malang.
http://pdfsearchpro.com/pdf/tindak-pidana-kejahatan-terhadap-keamanan-negara.html
Http://www.isnandi.net/artikel.
Comments
Post a Comment
komen sangat di harapkan boss.