MAKALAH PKN PELAYANAN PERPAJAKAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Menyorot pelayanan pajak penghasilan (PPh) bagi pegawai negeri sipil (PNS) Oleh Zainul Karoman Widyaiswara dan Pemerhati Masalah Pelayanan Publik Dalam 2-3 bulan terakhir ini, Direktorat Jenderal Pajak sangat serius dan gencar dalam melakukan sosialisasi kebijakan publik mengenai Sunset Policy. Sunset Policy adalah suatu kebijakan Pemerintah tentang penghapusan sanksi pajak, berupa bunga bagi Wajib Pajak (WP) sesuai peraturan yang berlaku. Pajak merupakan kewajiban setiap warga negara, dalam rangka ikut berpartisipasi membangun bangsa dan negara. Sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Bengkulu dan Lampung sangat menarik dan sampai Bos-nya sendiri turun ke jalan dengan membagi-bagikan pamflet yang berisi informasi program Sunset Policy (Radar lampung, 2008). Diskusi Penulis dengan Pegawai Account Representative (AR) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bandarlampung beberapa hari yang lalu (17/12/08),
Dapat dikatakan hangat dan sangat menarik. Diskusi itu sangat baik kalau terus dilanjutkan, karena membuka cakrawala kita untuk berpikir dan memahami pajak penghasilan secara holistik. Namun sayang sekali, waktunya terbatas dan menyisakan jawaban yang belum terungkap. Catatan sementara yang dapat disimpulkan antara lain bahwa Sunset Policy memang sangat penting untuk dimanfaatkan oleh WP dari Badan, Organisasi dan Perusahaan. Namun untuk WP pribadi (PNS) di lingkungan unit kerja masih perlu dikaji dan didiskusikan lebih lanjut. Sebab mekanisme pendataan PPh-21 masih belum berjalan secara efektif. Disisi lain, ketika Penulis bertanya bagaimana mekanisme pengumpulan bukti setor pajak penghasilan, pada saat WP (PNS) melakukan sebuah aktivitas, dimana yang bersangkutan langsung dikenakan PPh-21. Apakah pengumpul pemungutan pajak penghasilan sudah menyiapkan blanko dengan lengkap? Inilah yang belum bisa di jawab dengan sempurna. Sehingga kalau demikian kondisinya, maka dapat memunculkan masalah baru yakni data yang tidak akurat dan asalan. Kasi Penyuluhan Ditjen Pajak Ahmad Rekes menyatakan, 10 Desember 2008 merupakan puncaknya Sosialisasi penghapusan sanksi pajak (Sunset Policy) dan tetap akan terus dilakukan sampai akhir tahun 2008. Tindakan yang akan dilakukan setelah kegiatan tersebut adalah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib pajak (WP) dan sanksi yang akan diterapkan berupa denda.
SDM DJP selama ini merupakan sumber keluhan masyarakat Wajib Pajak dan menjadi sumber yang menimbulkan citra negatif DJP. Kondisi ini harus direspon dengan melakukan perubahan dari sisi SDM. Sasaran perubahan ini adalah dengan melaukan perbaikan pada remunerasi, perbaikan jenjang karir, kompetensi dan pendidikan, perbaikan pada sisi job grading, serta internalisasi nilai-nilai baru organisasi melalui penerapan kode etik. Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang.
B.  Tujuan
Makalah ini kami buat dengan bertujuan agar kita mengetahui pelayanan perpajakan dapat membangkitkan kita dalam pentingnya pembayaran pajak dan bagaimana tingkat pelayanan yang menjadikan masyarakat tidak berfikir negative n menjadi momok yang menakutkan dalam melakukan pembayaran perpajak. Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.
C.  Rumusan Masalah
Pada makalah ini yang akan menjadi rumusan masalahnya adalah mencari solusi agar dalam pelayanan perpajakan tidak menjadi momok yang menakutkan pada masyarakat, sehingga dalam pembayaran perpajakan dapat dilaksanakan oleh masyarakat tanpa berpikir negatif. Dalam sistem pemungutan pajak yang self assessment, di mana para Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajaknya, DJP berwenang untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak melalui serangkaian kegiatan pemeriksaan. Namun bagi sebagian besar Wajib Pajak, pemeriksaan merupakan momok yang menakutkan. Berapa banyak kita membaca keluhan Wajib Pajak yang diperiksa baik di media massa maupun di internet, semuanya mengeluhkan pemeriksaan pajak yang diidentikkan dengan kegiatan mencari-cari kesalahan dan menambah beban Wajib Pajak.









BAB II
KAJIAN PUSTAKA

1.      Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2.      Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.


BAB III
PEMBAHASAN

A.  Reformasi Administrasi Perpajakan
Administrasi perpajakan memiliki peranan yang krusial di dalam menentukan seberapa efektif sistem perpajakan suatu negara. Sayangnya, administrasi perpajakan di banyak negara, kususnya Indonesia tidak berfungsi optimal dan menyimpang dari tujuan nya yang ada pada undang-undang perpajakan.
Banyak hal yang menjadi permasalahan di dalam administrasi perpajakan. salah satunya adalah sulitnya mengumpulkan pajak dari Wajib Pajak karena kurang nya kesadaran Wajib Pajak. Agar tujuan dari pajak itu memiliki efek terhadap pengalokasian sumber pendapatan, pendistribusian income, dan stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan, administrasi perpajakan harus berfungsi secara efektif dan efisien. Pada dasarnya untuk mengerti reformasi yang terjadi pada administrasi perpajakan membutuhkan suatu pemahaman terhadap masalah itu sendiri. Banyak masalah yang timbul yang menjadikan suatu sistem perpajakan di suatu negara begitu rumit. Sering, aturan perpajakan terlalu rumit dan suram, membuat Wajib Pajak sebenarnya tidak mungkin untuk patuh. Kadang-kadang, sistem politik juga tidak mencari jalan keluar untuk mengurangi keluhan dari Wajib Pajak.
Seringkali, masalah yang sebenarnya di dalam administrasi perpajakan adalah ada pada fiskus (pegawai pajak) sendiri. Masalah SDM yang kurang memiliki integritas, ketidakprofesioanalan (korupsi), dan tidak memiliki strategi yang brilyan untuk memperbaiki administrasi perpajakan atas keluhan Wajib Pajak. Reformasi administrasi perpajakan harus dilakasanakan untuk memperbaiki efektivitas dan efisiensi dari administrasi perpajakan. Untuk itu, reformasi harus memperbaiki pelayanan, penegakan hukum (law enforcement), dan perbaikan pelaksanaan kode etik fiskus itu sendiri.
Hasil penelitian Brondolo, dkk. (2000) menunjukkan bahwa administrasi perpajakan indonesia ditimpa oleh banyak kelemahan. Kurangnya penegakan hukum dan kerangka kerja, lemahnya sistem organisasi, ketidakefektifan pelayanan dan penegakan hukum bagi Wajib Pajak, dan lambatnya informasi menyebabkan pengurangan pendapatan negara dari pajak.
Reformasi administrasi perpajakan yang menjadi landasan bagi terciptanya administrasi perpajakan yang modern, efisien dan dipercaya masyarakat telah dilaksanakan sejak tahun 2001. Konsep modernisasi administrasi perpajakan pada prinsipnya adalah merupakan perubahan pada sistem administrasi perpajakan yang dapat mengubah pola pikir dan perilaku aparat serta tata nilai organisasi sehingga dapat menjadikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi suatu institusi yang profesional dengan citra yang baik di masyarakat. Salah satu tujuan pelaksanaan reformasi administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan kinerja. Pada praktiknya, banyak keluhan masyrakat yang berhubungan dengan pemberian pelayanan oleh instansi pemerintah. Kebanyakan dari masyarakat mengeluh atas lamanya waktu penyelesaian, prosedur birokratis yang berbelit-belit, dan penentuan biaya diluar biaya resmi yang dipungut.
Direktorat jenderal pajak sebagai lembaga harus berbenah memberi pelayanan yang lebih baik kepada Wajib Pajak. Perbaikan pelayanan lewat program perubahan (change program), penegakan hukum (law enforcement), dan pelaksanaan kode etik yang lebih baik harus diprioritaskan agar adminstrasi perpajakan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
B.     Permasalahan Yang Dihadapi
Dalam sistem pemungutan pajak yang self assessment, di mana para Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajaknya, DJP berwenang untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak melalui serangkaian kegiatan pemeriksaan. Namun bagi sebagian besar Wajib Pajak, pemeriksaan merupakan momok yang menakutkan. Berapa banyak kita membaca keluhan Wajib Pajak yang diperiksa baik di media massa maupun di internet, semuanya mengeluhkan pemeriksaan pajak yang diidentikkan dengan kegiatan mencari-cari kesalahan dan menambah beban Wajib Pajak. Memang Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan bila tidak setuju dengan hasil pemeriksaan tapi untuk mengurus keberatan apalagi banding Wajib Pajak harus melakukan kerja tambahan yang merepotkan.
Sebaliknya apa yang diberikan kepada Wajib Pajak yang setelah diperiksa kemudian memenuhi kewajiban pajaknya? Boleh dibilang tak ada. Rendahnya kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya salah satunya disebabkan tidak adanya manfaat langsung yang dirasakan oleh Wajib Pajak. Dalam benak Wajib Pajak mungkin terselip pertanyaan : ”Kalau saya sudah patuh memenuhi kewajiban perpajakan lantas apa yang saya peroleh? Jangankan piagam, ucapan terima kasih pun tidak.” Dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa kegiatan pemeriksaan pajak bukanlah sesuatu hal yang dapat dipromosikan kepada Wajib Pajak.
Dengan citra pemeriksan pajak yang masih belum menggembirakan ini, adakah peluang untuk mengubah citra pemeriksaan yang selama ini dianggap sebagai momok bagi Wajib Pajak menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak?
C.  Teori Pemungutan Pajak Dan Solusi Pelayanan Pajak Terbaik
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :
  1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
  2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. Pungutan daerah (pajak daerah dan retribusi daerah) di negeri ini kelihatannya masih tetap menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat dan dunia usaha serta belum dapat terselesaikan dengan baik. Terlebih-lebih di saat dimana Indonesia sedang berusaha mendorong peningkatan kegiatan ekonomi melalui pemberian berbagai insentif usaha, baik dalam bentuk perpajakan maupun non-pajak.
Kode etik pegawai DJP adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan, yang mengikat pegawai DJP dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik disusun atas dasar kesadaran bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, pegawai seringkali dihadapkan pada situasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan (conflict of interest) dan situasi yang dilematis.
Keberhasilan pelaksanaan kode etik tidak melekat dan hanya begantung pada badan atau unit yang berwenang mengawasi kode etik. keberhasilan juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti pengawasan keteladanan dari atasan dan tanggung jawab seluruh pegawai DJP.
Oleh karena itu pegawai diharapkan memiliki inisiatif untuk menjaga agar kode etik dapat dipatuhi antara lain dengan saling mengingatkan sesama pegawai , berkonsultasi dengan atasan, atau melaporkan apabila terjadi pelanggaran kode etik di lingkungan kerja masing-masing.





BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Langkah-langkah perbaikan administrasi ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan melalui dua cara. Adapun cara tersebut yaitu pertama, Wajib Pajak patuh karena mereka mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Kedua, Wajib Pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan mendapat sanksi yang berat.
Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang berdampak positif bagi Negara, masyarakat, dan bagi DJP sendiri. Perubahan kebiasaan menjadi lebih baik, perubahan tingkah laku menjadi lebih baik, perubahan cara kerja lebih cermat, dan perubahan pelayanan menjadi lebih efektif dan efisien.
B.  Saran
Sebagai warga negara yang baik, hendaknya membayar pajak yang telah ditentutakn oleh pemerintah. Namun jika didalam pelayanan perpajakan terjadi permasalahan, hendaknya kita melaporkan tindakannya kepada kepala kantor perpajakan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.



DAFTAR PUSTAKA

Nasucha, Chaizi, dkk. (1999). Solusi Perpajakan Terlengkap, Jakarta: Cannes Grafimedia
Pusdiklat Perpajakan (Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Depkeu RI). (2008). Modul
            Change Management. Jakarta. (Tidak Dipublikasikan).
Pusdiklat Perpajakan (Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Depkeu RI). (2008). Modul   
            Law Enforcement. Jakarta. (Tidak Dipublikasikan).
Pusdiklat Perpajakan (Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Depkeu RI). (2008). Modul
            Pelayanan Prima. (Tidak Dipublikasikan).














Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

contoh sosiometri(non tes )

makalah perkawinan adat