Makalah PKN analisis Pemalsuan Uang
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional
berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal
utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu
produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun
dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang
diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP
No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan
UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru,
RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah,
Terkait dengan kondisi pendidikan di
Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran
penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan
Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial
politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan
pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan
di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh
lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki
sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina,
serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Memasuki abad
ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan
disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya
adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka.
Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa
Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia
yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan
negara lain.
Yang kita
rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik
pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita
membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang
dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh
karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia
yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita
amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan
di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang
mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di
berbagai bidang.
Kualitas
pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari
20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (DP).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
di atas ,maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1
Apakah yang melatar belakangi kasus pidana pemalsuan uang.
2
Bagaimana dampak dan menangani kasus Pidana pemalsuan uang tersebut.
C.
Tujuan
Adapun tujuan
penyusun membuat makalah ini adalah
untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat di kemukakan sebagai berikut:
1.
Agar dapat mengetahui apakah yang melatar belakangi terjadinya
kasus Pidana Pemalsuan Uang
2.
Agar Dapat Mengetahui bagaimana cara Menangani Kasus Pidana
Pemalsuan uang tersebut dan apa dampak dari Pemalsuan uang tersebut.
D.
Metode Penyusunan
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan paper ini yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Yaitu
pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku,
dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
berkaitan dengan apa yang di analisis.
2. Bahan – bahan tambahan yang
didapatkan melalui Intenet.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan paper ini di bagi menjadi 4 bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II : DASAR TEORI, Pada bab ini diuraikan sekilas mengenai pengertian
dari uang, macam dan jenis uang serta Landasan hukum kasus pidana pemalsuan
uang.
BAB III : PEMBAHASAN, Pada bab ini menguraikan mengenai permasalahan yang
di analisis yaitu maraknya pemalsuan uang di indonesia dan bagaimanan
Mengatasinya serta dampak yang di timbulkan.
BAB IV : PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan dari analisis
pemalsuan uang tersebut dan saran atas paper yang telah dibuat ini.
BAB II
DASAR TEORI
A.
Pengertian
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang
bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas
dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek
dari penerapan pendidikan.Maka sebelum kita membahas lebih jauh mengenai
permasalahan pendidikan di negeri ini ada baiknya kita mengetahui dahulu apa
itu pendidikan.
1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan diambil dari
kata dasar didik, yang ditambah
imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
1.1 Menurut
para ahli mengenai Pendidikan
a. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk
mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya
pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri.
Dapat Di simpulkan Bahwa Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang,
dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada
pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
2. Pengertian
Permasalahan atau Masalah
Istilah permasalahan pendidikan diterjemahkan
dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah segala sesuatu yang harus
diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan kata permasalahan berarti sesuatu yang
dimasalahkan atau hal yang dimasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah
segala-sesuatu hal yang merupakan masalah dalam pelaksanaaan kegiatan
pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa
secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita
pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang
bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini
tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup
yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara
menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun,
pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan)
yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat
1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia,
sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
B.
Subjek Pendidikan
Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok
yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik.
Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau
alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara
pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
C.
Jenis –Jenis Pendidikan
Menurut wadah yang menyelenggarakan
pendidikan, pendidikan dapat dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan
nonformal.
1. Pendidikan formal adalah segala bentuk
pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang,
baik bersifat umum maupun bersifat khusus. Contohnya adalah pendidikan SD, SMP,
SMA dan perguruan tinggi negeri ataupun swasta.
2. Pendidikan Informal dalah jenis pendidikan
atau pelatihan yang terdapat di dalam keluarga atau masyarkat yang
diselenggarakan tanpa ada organisasi tertentu(bukan organisasi). Pendidkan
nonformal adalah segala bentuk pendidikan yan diberikan secara terorganisasi
tetapi diluar wadah pendidikan formal.
D.
Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara
melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan
pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah
pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek
ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan
agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di
masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar
agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya.
Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para
siswa/mahasiswa.
Pengembangan
pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan
tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa
diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis
sesuatu serta menyimpulkannya.
BAB III
PEMBAHASAN
Seperti yang kita ketahui Permasalahan Pendidikan
Indonesia adalah segala macam bentuk masalah yang dihadapi oleh program-program
pendidikan di negara Indonesia. Seperti yang diketahui dalam TAP MPR RI No.
II/MPR/1993 dijelaskan bahwa program utama pengembangan pendidikan di Indonesia
adalah sebagai berikut.
- Perluasan dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
- Peningkatan mutu pendidikan
- Peningkatan relevansi pendidikan
- Peningkatan Efisiensi dan efektifitas pendidikan
- Pengembangan kebudayaan
- Pembinaan generasi muda
Sayangnya
Program tersebut tidak berjalan dengan semestinya,yang di akibatkan oleh faktor
faktor internal dan eksternal yang mana nantinya akan kita bahas permasalahan
tersebut.
A.
Masalah Pokok Pendidikan
Permasalahan pendidikan merupakan suatu
kendala yang menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Pada bab ini akan
dibahas beberapa hal yang merupakan permasalahan pendidikan di Indonesia.
Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pemerataan Pendidikan
2. Mutu dan Relevansi Pendidikan
3. Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan
Berikut ini adalah penjelasan-penjelasan
mengenai 3 poin permasalahan pendidikan di atas.
1.
Pemerataan Pendidikan
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang
berarti: 1) meliputi seluruh bagian, 2) tersebar kesegala penjuru, dan 3)
sama-sama memperoleh jumlah yang sama. Sedangkan kata pemerataan berarti
proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan
pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat
dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah pelaksanaan program pendidikan yang dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia
untuk dapat memperoleh pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan atau
biasa disebut perluasan keempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam
pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama unutk memperoleh pendidikan. Kesempatan
memperoleh pendidikan tersebut tidak dapat dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial, agama, amupun
letak lokasi geografis.
Dalam propernas tahun
2000-2004 yang mengacu kepada GBHN 1999-2004 mengenai kebijakan pembangunan
pendidikan pada poin pertama menyebutkan:
“Mengupayakan perluasan
dan pemeraatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat
Indonesia menuju terciptanya Manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan
peninggakatan anggaran pendidikan secara berarti“. Dan pada salah satu tujuan
pelaksanaan pendidikan Indonesia adalah untuk
pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan bagi setiap warga negara.
Dari penjelasan tersebut
dapat dilihat bahwa Pemerataan Pendidikan merupakan tujuan pokok yang akan
diwujudkan. Jika tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan
pendidikan belum dapat dikatakan berhasil. Hal inilah yang menyebabkan masalah
pemerataan pendidikan sebagai suatu masalah yang paling rumit untuk
ditanggulangi.
Permasalahan Pemerataan
dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini
menyebabkan terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah.
Selain itu masalah pemerataan pendidikan juga terjadi karena kurang berdayanya
suatu lembaga pendidikan untuk melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja
terjadi jika kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak
menjangkau daearh-daerah terpencil. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas
penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan
pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Permasalahan pemerataan
pendidikan dapat ditanggulangi dengan menyediakan fasilitas dan sarana belajar
bagi setiap lapisan masyarakat yang wajib mendapatkan pendidikan. Pemberian
sarana dan prasrana pendidikan yang dilakukan pemerintah sebaiknya dikerjakan
setransparan mungkin, sehingga tidak ada oknum yang dapat mempermainkan program
yang dijalankan ini.
2. Mutu dan Relevansi Pendidikan
Mutu sama halnya dengan
memiliki kualitas dan bobot. Jadi pendidikan yang bermutu yaitu pelaksanaan
pendidikan yang dapat menghsilkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan
negara dan bangsa pada saat ini. Sedangkan relevan berarti bersangkut paut, kait
mangait, dan berguna secara langsung.
Sejalan dengan proses
pemerataan pendidikan, peningkatan mutu untuk setiap jenjang pendidikan melalui
persekolahan juga dilaksanakan. Peningkatan mutu ini diarahkan kepada
peningkatan mutu masukan dan lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan
anggaran yang digunakan untuk menjalankan pendidikan.
Rendahnya mutu dan
relevansi pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor terpenting yang
mempengaruhi adalah mutu proses pembelajaran yang belum mampu menciptakan
proses pembelajaran yang berkualitas. Hasil-hasil pendidikan juga belum
didukung oleh sistem pengujian dan penilaian yang melembaga dan independen,
sehingga mutu pendidikan tidak dapat dimonitor secara ojektif dan teratur.Uji
banding antara mutu pendidikan suatu daerah dengan daerah lain belum dapat
dilakukan sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga hasil-hasil penilaian pendidikan belum berfungsi unutk
penyempurnaan proses dan hasil pendidikan.
Selain itu, kurikulum
sekolah yang terstruktur dan sarat dengan beban menjadikan proses belajar
menjadi kaku dan tidak menarik. Pelaksanaan pendidikan seperti ini tidak mampu
memupuk kreatifitas siswa unutk belajar secara efektif. Sistem yang berlaku
pada saat sekarang ini juga tidak mampu membawa guru dan dosen untuk melakukan
pembelajaran serta pengelolaan belajar menjadi lebih inovatif.
Akibat dari pelaksanaan
pendidikan tersebut adalah menjadi sekolah cenderung kurang fleksibel, dan
tidak mudah berubah seiring dengan perubahan waktu dan masyarakat. Pada pendidikan
tinggi, pelaksanaan kurikulum ditetapkan pada penentuan cakupan materi yang
ditetapkan secara terpusat, sehingga perlu dilaksanakan perubahan kearah
kurikulum yang berbasis kompetensi, dan lebih peka terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Rendahnya mutu dan
relevansi pendidikan juga disebabkan oleh rendahnya kualitas tenaga pengajar.
Penilaian dapat dilihat dari kualifikasi belajar yang dapat dicapai oleh guru
dan dosen tersebut. Dibanding
negara berkembang lainnya, maka kualitas tenaga pengajar pendidikan tinggi di
Indonesia memiliki masalah yang sangat mendasar.
Melihat permasalahan tersebut, maka
dibutuhkanlah kerja sama antara lembaga pendidikan dengan berbagai organisasi
masyarakat. Pelaksanaan kerja sama ini dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Dapat dilihat jika suatu lembaga tinggi melakukan kerja sama dengan lembaga
penelitian atau industri, maka kualitas dan mutu dari peserta didik dapat
ditingkatkan, khususnya dalam bidang akademik seperti tekonologi industri.
3.
Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan
Sesuai dengan pokok permasalahan pendidikan
yang ada selain sasaran pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan,
maka ada satu masalah lain yang dinggap penting dalam pelaksanaan pendidikan,
yaitu efisiensi dan efektifitas pendidikan. Permasalahan efisiensi pendidikan
dipandang dari segi internal pendidikan. Maksud efisiensi adalah apabila
sasaran dalam bidang pendidikan dapat dicapai secara efisien atau berdaya guna.
Artinya pendidikan akan dapat memberikan hasil yang baik dengan tidak menghamburkan
sumberdaya yang ada, seperti uang, waktu, tenaga dan sebagainya.
Pelaksanaan proses pendidikan yang efisien
adalah apabila pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan biaya tepat
sasaran, dengan lulusan dan produktifitas pendidikan yang optimal. Pada saat
sekarng ini, pelaksanaan pendidikan di Indonesia jauh dari efisien, dimana
pemanfaatan segala sumberdaya yang ada tidak menghasilkan lulusan yang
diharapkan. Banyaknya pengangguran di Indonesia lebih dikarenakan oleh kualitas
pendidikan yang telah mereka peroleh. Pendidikan yang mereka peroleh tidak
menjamin mereka untuk mendapat pekerjaan sesuai dengan jenjang pendidikan yang
mereka jalani.
Pendidikan yang efektif adalah pelaksanaan
pendidikan dimana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana / program yang telah
ditetapkan sebelumnya. Jika rencana belajar yang telah dibuat oleh dosen dan
guru tidak terlaksana dengan sempurna, maka pelaksanaan pendidikan tersebut
tidak efektif.
Tujuan dari pelaksanaan pendidikan adalah
untuk mengembangkan kualitas SDM sedini mungkin, terarah, terpadu dan
menyeluruh melalui berbagai upaya. Dari
tujuan tersebut, pelaksanaan pendidikan Indonesia menuntut untuk menghasilkan
peserta didik yang memeiliki kualitas SDM yang mantap. Ketidakefektifan
pelaksanaan pendidikan tidak akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Melainkan akan menghasilkan lulusan yang tidak diharapkan. Keadaan ini akan
menghasilkan masalah lain seperti pengangguran.
Penanggulangan masalah pendidikan ini dapat
dilakukan dengan peningkatan kulitas tenaga pengajar. Jika kualitas tenaga
pengajar baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk
pendidikan yang siap untuk mengahdapi dunia kerja. Selain itu, pemantauan
penggunaan dana pendidikan dapat mendukung pelaksanaan pendidikan yang efektif
dan efisien. Kelebihan dana dalam pendidikan lebih mengakibatkan
tindak kriminal korupsi dikalangan pejabat pendidikan. Pelaksanaan pendidikan
yang lebih terorganisir dengan baik juga dapat meningkatkan efektifitas dan
efisiensi pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pendidikan seperti ini akan lebih
bermanfaat dalam usaha penghematan waktu dan tenaga.
B. Faktor Pendukung Masalah Pendidikan
Masalah pokok pendidikan
akan terjadi di dalam dalam bidang pendidikan itu sendiri. Jika di analisis
lebih jauh, maka sesungguhnya permasalahan pendidikan berkaitan dengan beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya masalah itu. Adapun faktor-faktor yang dapat
menimbulkan permasalahan pokok pendidikan tersebut adalah sebagai berikut.
1. IPTEK
2. Laju Pertumbuhan Penduduk
3. Permasalah Pembelajaran
1.
IPTEK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pada saat ini berdampak pada pendidikan di Indonesia. Ketidaksiapan bangsa
menerima perubahan zaman membawa perubahan tehadap mental dan keadaan negara
ini. Bekembangnya ilmu pengetahuan telah membentuk teknologi baru dalam segala
bidang, baik bidang social, ekonomi, hokum, pertanian dan lain sebagainya.
Sebagai negara berkembang Indonesia dihadapkan
kepada tantangan dunia global. Dimana segala sesuatu dapat saja berjalan dengan
bebas. Keadaan seperti ini akan sangat mempengaruhi keadaan pendidikan di
Indonesia. Penemuan teknologi baru di dalam dunia pendidikan, menuntut
Indonesia melakukan reformasi dalam bidang pendidikan. Pelaksanaan reformasi
tidaklah mudah, hal ini sangat menuntut kesiapan SDM Indonesia untuk
menjalankannya.
2.
Laju Pertumbuhan Penduduk
Laju pertumbuhan yang sangat pesat akan
berpengaruh tehadap masalah pemerataan serta mutu dan relevansi pendidikan.
Pertumbuhan penduduk ini akan berdampak pada jumlah peserta didik. Semakin
besar jumlah pertumbuhan penduduk, maka semakin banyak dibutuhkan
sekolah-sekolah unutk menampungnya. Jika daya tampung suatu sekolah tidak
memadai, maka akan banyak peserta didik yang terlantar atau tidak bersekolah.
Hal ini akan menimbulkan masalah pemerataan pendidikan.
Tetapi apabila jumlah dan daya tampung suatu sekolah
dipaksakan, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara tenaga pengajar dengan
peserta didik. Jika keadaan ini dipertahankan, maka mutu dan relevansi
pebdidikan tidak akan dapat dicapai dengan baik.
Sebagai negara yang berbentuk kepulauan,
Indonesia dihadapkan kepada masalah penyebaran penduduk yang tidak merata.
Tidak heran jika perencanaan, sarana dan prasarana pendidikan di suatu daerah
terpencil tidak terkoordinir dengan baik. Hal ini diakibatkan karena lemahnya
kontrol pemerintah pusat terhadap daerah tersebut. Keadaan seperti ini adalah
masalah lainnya dalam bidang pendidikan.
Keterkaitan antar masalah ini akan berdampak
kepada keadaan pendidikan Indonesia.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang
standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses
untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan
terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah
apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere
globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang
kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun
informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian
pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan
kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan
terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan
akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu
kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja
sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik
Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan
saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan.
Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai
yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di
atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja
karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan
lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di
Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi
kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah
cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu
yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya
dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang
telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug
sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa
mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain
juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran
di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak,
dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami
bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita
dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa
penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan
pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia.
4. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana
fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
Data Balitbang
Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang
menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh
ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau
34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami
kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih
tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga
terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak
sama.
5. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja,
sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase
guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94%
(swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29%
(negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49%
(negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya
13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari
sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru
dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi,
pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah
juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
6. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU
Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai,
antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi,
kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang
muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9
Januari 2006).
7. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan
yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS)
2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam
hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi
sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan
Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal
prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara
serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA
(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),
74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu,
hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
8. Kurangnya Pemerataan Kesempatan
Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
9. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan
Kebutuhan
Hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak
putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
10. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK
dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000.
Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1
juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan
lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.
Privatisasi atau
semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005
hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya
perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),
Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan
begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada
dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi
pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama
oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan
(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh
sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat
tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu
harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
11. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum
Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas
merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam
menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005
tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan
bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan
habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di
sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada
siswa secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag
direkomendasikan oleh pemerintah. Dalam tahun 2007 ini, pemerintah melalui
Ketua Satker Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) Dana BOS buku 2007
akan dicairkan karena dana BOS buku tahun 2006 sudah terserap semuanya. Meski
dalam pelaporan serapan dana BOS buku 2006 belum masuk semua ke Satker PKPS BBM
tingkat kabupaten/kota. Unit cost untuk setiap siswa dari BOS buku ini Rp
22.000 yang diperuntukkan untuk membeli satu buah jenis buku. Jadi kalau
dijumlahkan dana BOS buku, baik untuk siswa tingkat SD maupun SMP sekitar Rp
131,088 miliar lebih. Selain itu, buku yang dibeli juga harus sesuai dengan
peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005. Jumlah penerbit yang telah
mendapatkan sertifikat dan sesuai menurut Permendiknas No. 11 Tahun 2005
sebanyak 98 penerbit dan ratusan judul buku. Ke-98 penerbit tersebut jika
dirinci, untuk penerbit buku matematika sebanyak 31 penerbit, bahasa Indonesia
sebanyak 45 penerbit, dan bahasa Inggris sebanyak 22 penerbit (www. Klik-galamedia.com, 08 Februari
2007).
12. Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan
kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 tentang
Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan
diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka
penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan
diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri. Dalam penjelasan pasal 3 ayat
2 RUU Badan Hukum Pendidikan disebutkan bahwa Kemandirian dalam penyelengaraan
pendidikan merupakan kondisi yang ingin dicapai melalui pendirian BHP, dengan
menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan
menengah, serta otonomi pada pendidikan tinggi. Hanya dengan kemandirian,
pendidikan dapat menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas,
dan mobilitasnya.
13. Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai
dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan
tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang
Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan
bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) (ayat 1).
Permasalahan lainnya yang
juga penting untuk diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan
anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki
kemampuan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal
kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi, maupun barang
tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi karena selama ini penanganannya
secara kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah dirampas Oleh para
ahli pemilik modal.
14. Permasalahan
Pembelajaran
Pelaksanaan kegiatan belajar adalah sesuatu
yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dalam kegiatan belajar formal ada
dua subjek yang berinteraksi, Yaitu pengajar/pendidik (guru/dosen) dan peserta
didik ( murid/siswa, dan mahasiswa).
Pada saat sekarang ini, kegiatan pembelajaran
yang dilakukan cenderung pasif, dimana seorang pendidik selalu menempatkan
dirinya sebagai orang yang serba tahu. Hal ini akan menimbulkan kejengahan
terhadap peserta didik. Sehingga pembelajaran yang dilakukan menjadi tidak menarik
dan cenderung membosankan. Kegiatan belajar yang terpusat seperti ini merupakan
masalah yang serius dalam dunia pendidikan.
Guru / dosen yang berpandangan kuno selalu
menganggap bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan materi, sedangakan tugas
siswa/mahasiswa adalah mengerti dengan apa yang disampaikannya. Bila peserta
didik tidak mengerti, maka itu adalah urusan mereka. Tindakan seperti ini
merupakan suatu paradigma kuno yang tidak perlu dipertahankan.
Dalam hal penilaian, Pendidik menempatkan
dirinya sebagai penguasa nilai. Pendidik bisa saja menjatuhkan, menaikan,
mengurangi dan mempermainkan nilai perolehan murni seorang peserta didik. Pada
satu kasus di pendidikan tinggi, dimana seorang dosen dapat saja memberikan
nilai yang diinginkannya kepada mahasiswa tertentu, tanpa mengindahkan
kemampuan atau skill yang dimiliki oleh mahasiswa tersebut. Proses penilaian
seperti sungguh sangat tidak relevan.
Penanggulangan Masalah Pembelajaran
Penanggulangan masalah pembelajaran ini lebih
diarahkan kepada pokok permasalahan pendidikan di atas.
a. Gaya
Belajar
Untuk menanggulangi masalah pembelajaran ini,
diperlukan pelaksanaan kegiatan belajar baru yang lebih menarik. Gaya belajar
dapat dilakukan dalam 3 bentuk, dan dilaksanakan pada saat yang bersamaan.
Yaitu belajar secara Somatis, Auditori dan Visual.
1)
Somatis
Somatic bersal dari
bahasa Yunani, yang berarti tubuh. Jadi belajar somatis dapat disebut sebagai
balajar dengan menggunakan indra peraba, kinestetis, praktis, dan melibatkan
fisik serta menggunakan dan menggerakkan tubuh sewaktu belajar. Dalam
pelaksanaan kegiatan belajar pada saat ini otak merupkan organ tubuh yang
paling dominan. Pembelajaran yang dilakukan seperti merupakan kegiatan yang
sangat keliru.
Anak-anak yang bersifat
somatis tidak akan mampu untuk duduk tenang. Mereka harus menggerakkan tubuh
mereka untuk membuat otak dan pikiran mereka tetap hidup. Anak-anak seperti ini
disebut sebagai “Hiperaktif“. Pada sejumlah anak, sifat hiperaktif itu normal
dan sehat. Namun yang dijumpai pada anak-anak hiperaktif adalah penderitaan,
dimana sekolah mereka tidak mampu dan tidak tahu cara memperlakukan mereka.
Aktivitas anak-anak yang hiperaktif cenderung dianggap mengganggu, tidak mampu
belajar dan mengancam ketertiban proses pembelajaran.
Dalam satu penelitian
disebutkan bahwa “jika tubuhmu tidak bergerak, maka otakmu tidak beranjak“.
Jadi menghalangi gaya belajar anak somatis dengan menggunakan tubuh sama halnya
dengan menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya. Mungkin dalam beberapa kasus,
sistem pendidikan dapat membuat cacat belajar anak, dan bukan menggangu
jalannya pembelajaran.
2) Auditori
Pikiran auditori lebih
kuat dari yang kita sadari. Telinga terus menerus menangkap dan menyimpan
informasi auditori, dan bahkan tanpa kita sadari. Begitu juga ketika kita
berbicara, area penting dalam otak kita akan menjadi aktif.
Semua pembelajaran yang
memiliki kecenderungan auditori, belajar dengan menggunakan suara dari dialog,
membaca dan menceritakan kepada orang lain. Pada saat sekarang ini, budaya
auditori lambat laun mulai menghilang. Seperti adanya peringatan jangan berisik
di perpustakaan telah menekan proses belajar secara auditori.
3)
Visual
Ketajaman visual
merupakan hal yang sangat menonjol bagi sebagian peserta didik. Alasaannya
adalah bahwa dalam otak seseorang lebih banyak perangkat untuk memproses
informasi visual daripada semua indra yang lain.
Setiap orang yang
cenderung menggunakan gaya belajar visual akan lebih mudah belajar jika mereka
melihat apa yang dibicarakan olah guru atau dosen. Peserta didik yang belajar
secara visual akan menjadi lebih baik jiak dapat melihat contoh dari dunia
nyata, diagram, peta gagasan, ikon, gambar, dan gambaran mengenai suatu konsep
pembahasan.
Peserta didik yang
belajar secara visual ini, akan lebih baik jika mereka menciptakan peta
gagasan, diagram, ikon dan gambar lainnya dengan kreasi mereka sendiri.
b.
Gaya Mengajar
Pelaksanaan pembelajaran
sangat ditunjang oleh keahlian pendidik dalam mengatur suasana kelasnya.
Seringkali dalam proses penyampaian materi, pendidik langsung mengajar apa
adanya. Ada pendidik yang tidak mau memikirkan cara menyampaikan materi
pelajaran yang akan dibahasnya. Menyampaikan materi bukan hanya sekedar
berbicara di depan kelas saja, tetapi suatu cara dan kemampuan untuk membawakan materi
pelajaran menjadi suatu bentuk presentasi yang menarik, menyenangkan, mudah
dipahami dan diingat oleh peserta didik. Dalam hal ini, komunikasi menjadi
lebih penting. Dengan komunikasi seseorang bisa mengerti dengan apa yang
dibicarakan.
Komunikasi yang efektif
tidak berarti pasti dan harus dapat menjangkau 100%. Komunikasi yang efektif
berarti mengerti dengan tanggung jawab dalam proses menyampaikan pemikiran,
penjelasan, ide, pandangan dan informasi. Dalam komunikasi pembelajaran, sering
dijumpai permasalahan, yaitu masalah mengerti dan tidak mengerti. Jika peserta
didik tidak mengerti dengan apa yang disampaikan pendidik, maka tanggung jawab
seorang pendidiklah untuk membuat mereka menjadi lebih mengerti.
Jika dulu pendidik
dipandang sebagai sumber informasi utama, maka pada saat sekarang ini pandangan
seperti itu perlu disingkirkan. Sumber-sumber informasi pada abad ini telah
menimbulkan kelebihan informasi bagi setiap manusia di muka bumi ini. Informasi
yang tersedia jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan. Hal inilah yang
menyebabkan peninjauan kembali terhadap gaya belajar masa kini.
Oleh karena itu peran utama
seorang pendidik perlu diperbaharui. Peran pendidik seharusnya adalah sebagai fasilitator dan katalisator.
Peran guru sebagai
fasilitator adalah menfasilitasi proses pembelajaran yang berlangsung di kelas.
Dalam hal ini, peserta didik harus berperan aktif dan bertanggung jawab
terhadap hasil pembelajaran. Karena sebagai fasilitator, maka posisi peserta
didik dan pendidik adalah sama.
Sedangkan peran pendidik
sebagai katalisator adalah dimana pendidik membantu anak-anak didik dalam
menemukan kekuatan, talenta dan kelebihan mereka. Pendidik bergerak sebagai pembimbing yang
membantu, mangarahkan dan mengembangkan aspek kepribadian, karakter emosi,
serta aspek intelektual peserta didik. Pendidik sebagai katalisator juga
berarti mampu menumbuhkan dan mengembangkan rasa cinta terhadap proses
pembelajaran, sehingga tujuan pembelajran yang diinginkan dapat terjadi secara
optimal.
Gaya mengajar seperti ini
akan lebih bermanfaat dalam proses peningkatan mutu, kualitas, efektifitas dan
efisiensi pendidikan.
C. Langkah Pemerintah untuk mengatasi
Masalah kualitas pendidikan
Seperti yang
telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini
terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru
tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada
siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi
guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali
guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain
berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai
pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur
mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk
di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan
mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya,
antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini
menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal
Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden
memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1.
Langkah pertama yang akan dilakukan
pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati
pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2.
Langkah kedua, menghilangkan
ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan
kota, serta jender.
3.
Langkah ketiga, meningkatkan mutu
pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan
nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4.
Langkah keempat, pemerintah akan
menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah
kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5.
Langkah kelima, pemerintah berencana
membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di
sekolah-sekolah.
6.
Langkah keenam, pemerintah juga
meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7.
Langkah ketujuh, adalah penggunaan
teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8.
Langkah terakhir, pembiayaan bagi
masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
D. Solusi dari
Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi
masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan
yaitu:
1. Pertama,
solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
–seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
2. Kedua,
solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah
kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian
masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat
diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari
perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat
penting dan utama.
Ibarat mobil
yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah : (1) langkah awal adalah
mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar
bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu
diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan
yang salah. (2) Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah
mobil itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.
Artinya,
setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang
pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas
guru, kesejahteraan gutu, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan,
relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Solusi masalah mendasar itu
adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme
diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata
dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada
dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar
yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem
pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem
pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
Solusi Masalah-Masalah
Cabang
Seperti diuraikan di atas,
selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami
masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan
gutu,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan
pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Untuk mengatasi masalah-masalah
cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama,
solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal
pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya
biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi
teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas
guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
Kesimpulan
Kunjungan tim yang bersifat
sporadis, tidak akan bisa menemukan permasalahan (pendidikan) penduduk miskin
yang sesungguhnya. Diperlukan suatu tim yang bersifat permanen yang dikenal dan
padu dengan dinas instansi terkait baik di propinsi, kabupaten kota sampai ke
kecamatan. Tim itu harus berkemampuan untuk melakukan:
1.
Pengamatan langsung dan kajian bersama yang melibatkan: ahli pendidikan,
tokoh masarakat (pendidik) nagari,
serta dialog dengan kaum duafa, langsung.
2.
Perumusan program Kurikulum Muatan Lokal
di sekolah, dan program pendidikan luar sekolah yang benar-benar berguna bagi
penduduk (miskin) yang bersekolah atau berdiam di Nagari Binaan. Walaupun
memang tidak semua rakyat nagari itu miskin, dan biasanya rakyat kaya
memerlukan muatan lokal dan program keterampilan yang berbeda dari kebutuhan
mendesak rakyat miskin.
3.
Inisiasi pelaksanaan pendidikan
(kurikulum muatan lokal) serta diklat PLS , yang bersifat teknologi terapan
sederhana, yang terprogram dan terlaksana dengan rapi.
Saran
A. Kesimpulan
Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan
kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab
utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih
kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya
sarana fisik,
(2). Rendahnya
kualitas guru,
(3). Rendahnya
kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya
prestasi siswa,
(5). Rendahnya
kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya
biaya pendidikan.
Adapun
solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan
mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan
meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan
dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem
pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam
segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak
semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan
meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan
semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat
dalam segala bidang di dunia internasional.
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan-kesimpulan
yang dapat ditarik dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Dalam usaha pemerataan
pendidikan, diperlukan pengawasan yang serius oleh pemerintah. Pengawasan tidak hanya dalam bidang anggaran
pendidikan, tetapi juga dalam bidang mutu, sarana dan prasarana pendidikan.
Selain itu, perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan tinggi
merupakan kebijaksanaan yang penting dalam usaha pemerataan pendidikan.
2.
Pendidikan (dengan Bidang terkait) dalam usaha
pengendalian laju pertumbuhan penduduk sangat diperlukan. Pelaksaaan program
ini dapat ditingkatkan dengan mengakampanyekan program KB dengan sebaik-baiknya
hingga pelosok negeri ini.
3.
Pelaksanaan program belajar dan mengajar dengan
inovasi baru perlu diterapkan. Hal ini dilakukan karena cara dan sistem
pengajaran lama tidak dapat diterapkan lagi.
4.
Sistem pendidikan Indonesia dapat berjalan dengan
lancar jika kerja sama antara unsur-unsur pendidikan berlangsung secara
harmonis. Pengawasan yang dilakukan pemerintah dan pihak-pihak pendidikan
terhadap masalah anggaran pendidikan akan dapat menekan jumlah korupsi dana di
dalam dunia pendidikan.
5.
Peningkatan mutu pendidikan akan dapat terlaksana
jika kemampuan dan profesionalisme pendidik dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen
Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Buletin Hukum Perbankan dan
Kebanksentralan, Volume 3 No. 1, April 2005
Direktorat Pengedaran Uang, Perlunya
Pengaturan Mata Uang dalamUndang-
Undang Tersendiri, Buletin Hukum Perbankan
dan Kebanksentralan, Volume 3, No. 1 April 2005.
Undang Undang Hukum Pidana
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2003.
Kamus
Besar Bahasa Indoenesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana, Alumni,Bandung,
1992.
Sigalingging, Hotbin, Ery
Setiawan, dan Hilde D. Sihaloho, Kebijakan Pengedaran
Uang
di Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2005.
Addiy,2010.gambar macam macam uang.http//google//gambar-macam-macam-
uang.com.Di unduh tanggal 17 mei 2011,samarinda.
duit.html.di unduh tanggal 25 mei 2011.samarinda
Comments
Post a Comment
komen sangat di harapkan boss.