BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan kejahatan terorisme global telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan baik modus, kuantitas maupun kualitasnya, Indonesia tidak lepas dari sasaran terorisme. Terungkap fakta adanya keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan internasional. Selain ancaman terorisme, ancaman non tradisional lainnya yang muncul saat ini telah merebak pula lewat pintu sendi kehidupan bangsa.
Aktifitas teroris telah membidik dan memanfaatkan ideologi dan agama bagi masyarakat dunia sebagai garapan agar memihak kepada perjuangan mereka. Oleh sebab itu perlu ditangani secara bijak. Untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan dan kegiatan teroris, Pemerintah Indonesia menyikapi fenomena terorisme secara arif, menganilisis berbagai aspek kehidupan bangsa saat ini, guna memerangi aksi terorisme, bersama dunia internasional.
Dengan memanfaatkan kemampuan teknologi modern saat ini teroris dapat menghancurkan sasaran yang diijinkan dari jarak jauh, seperti telepon genggam atau bom bunuh diri seperti yang terjadi di Bali.
Membendung langkah teroris di Indonesia, perlu melihat secara obyektif karakteristik daerah, potensi yang dimilki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme harus terukur dan teruji. Segala upaya untuk menghadang tindakan terorisme harus dilandasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional dan sensitifitas SARA, pada hakekatnya kemajemukan identitas NKRI harus tetap terjaga. Untuk menengarai, menuduh bahkan menangkap sekalipun terhadap seseorang atau kelompok orang adalah teroris, baik teroris lokal maupun teroris internasional tidak mudah.
Memerlukan data akurat dan pencermatan indikasi-indikasi dalam kurun waktu yang relatif panjang. Dengan mencermati apa yang telah terjadi modus operandi tindak kejahatan terorisme berupa bom-bom yang sudah meledak, temuan bom yang belum meledak dan perangkat yang digunakan terorisme serta tempat persembunyian kaum teroris, ada beberapa rumusan masalah yang telah teridentifikasi pada pembahasan sebelumnya, yaitu :Penegakan hukum terhadap penanggulangan terorisme masih lemah.Teroris mudah memanfaatkan kualitas SDM masyarakat yang masih rendah untuk digalang menjadi simpatisan atau pelaku bom bunuh diri
Kepedulian masyarakat terhadap kewaspadaan terhadap terorisme masih lemah.
Kemampuan aparat untuk mendeteksi, menangkal, mencegah, menangkap tokoh teroris belum optimal. Guna merumuskan konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam rangka menjaga tetap tegaknya keutuhan NKRI secara komprehensif dan integral, diperlukan analisis dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi.
Meskipun tokoh-tokoh penting di belakang aksi teror telah dapat ditangkap atau terbunuh, beberapa peristiwa terakhir seperti penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, perburuan teroris di Sumatera Utara, dan pengungkapan jaringan terorisme di Aceh menandakan mereka masih eksis.
Pihak kepolisian juga yakin telah terjadi perubahan dalam pola gerakan mereka. Modus lama berupa peledakan bom  di tempat-tempat umum berganti menjadi aksi teror melalui gerakan bersenjata.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas ,maka rumusan masalah dalam makalah Analisis ini adalah sebagai berikut:
1        Apakah terorisme itu dan di bagaimana mengkatagorikan seseorang sebagai teroris.
2        Apakah yang melatar belakangi kasus Terorisme.
3        Bagaimana dampak dan menangani kasus Terorisme  tersebut.

C.    Tujuan
Adapun tujuan penyusun membuat makalah  ini adalah untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat di kemukakan sebagai berikut:
1.      Agar dapat mengerti apakah terorisme itu dan di bagaimana mengkatagorikan seseorang sebagai teroris.
2.      Agar dapat mengerti apakah yang melatar belakangi kasus Terorisme.
3.      Agar dapat mengerti Bagaimana dampak dan menangani kasus Terorisme  tersebut.

D.    Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan paper ini yaitu :
1.      Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan apa yang di analisis.
2.      Bahan – bahan tambahan yang didapatkan melalui Intenet.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan paper ini di bagi menjadi 4 bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : DASAR TEORI, Pada bab ini diuraikan sekilas mengenai pengertian dari Tindak pidana, definisi Terorisme ,Kireteria terorisme serta landasan hukamnya.
BAB III : PEMBAHASAN, Pada bab ini menguraikan mengenai permasalahan yang di analisis yaitu undang undang no 1 tahun 2002 pada kasus terorisme bom cirebon di masjid kantor palisi , serta latar belakang ,dampak dan penanganan seputar kasus terorisme..
BAB IV : PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan da saran dari analisis undang undang no 1 tahun 2002 pada kasus terorisme atas paper yang telah dibuat ini.
BAB II
DASAR TEORI
A.    Pengertian
1.      Definisi Tindak Pidana Terorisme
Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
a)      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
b)      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7)
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
a)      Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
b)      Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
c)      Menggunakan kekerasan.
d)     Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
e)      Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
1.1 Definisi tindak pidana(Strafbaar feit) menurut para ahli
a.      Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003:1) mengemukakan bahwa:
Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.
Menurut Moeljatno (1993:9) menyatakan istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial.
b.      pendapat Zainal Abidin Farid (Andi Hamzah, 1994:86) mengusulkan pemakaian istilah:
“Perbuatan kriminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai oleh Moeljatno. Itu jadi kurang tepat karena dua kata benda bersambungan yaitu “perbuatan” dan “pidana”. Sedangkan tidak ada hubungan logis antara keduanya, tetapi lebih baik dipakai istilah padanannya saja yang umum dipakai oleh para sarjana yaitu delik (dari bahasa latin delictum).
c.       Satochid Kartanegara, (Kanter dan Sianturi, 1982:208) memakai istilah tindak pidana.
Istilah tindak pidana (tindakan) mencakup pengertian/berbuat dan/atau pengertian melakukan, tidak berbuat, tidak mencakup pengertian mengakibatkan dan/atau tidak melakukan. Istilah peristiwa pidananya hanya menunjukkan kepada manusia, sedangkan terjemahan pidana untuk Strafbaar feit adalah sudah tepat.
d.      Menurut Roeslan Saleh (1968:10) menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.
e.       Menurut Moeljatno (Kanter dan Sianturi, 1982:207) menyatakan bahwa: untuk menerjemahkan istilah tersebut beliau menggunakan istilah perbuatan pidana dengan alasan: perbuatan adalah perkataan lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti: perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya.
f.       Menurut Utrecht (Kanter dan Sianturi, 1982:206) bahwa peristiwa pidana itu meliputi suatu perbuatan hukum atau melalaikan ataupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikannya).

Setelah penulis mengetengahkan beberapa pengertian Tindak Pidana ( strafbaar feit) yang dikemukakan oleh pakar hukum yang memberi kesan bagi penulis, bahwa para pakar hukum tersebut belum sepakat tentang istilah yang beragam untuk terjemahan strafbaar feit.
1.2 Unsur unsur Tindak pidana Menurut para Ahli
Moeljatno, unsur-unsur perbuatan (tindak) pidana :
a.         perbuatan manusia
b.         memenuhi rumusan UU (syarat formil : sebagai konsekuensi adanya asas legalitas)
c.         bersifat melawan hokum (syarat materiil : perbuatan harus betul-betul dirasakan oelh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat)
d.        Kesalahandan kemampuan bertanggungjawab tidak masuk sebagai unsure perbautan pidana karena unsur ini terletak pada orang yang berbuat.
Unsur-unsur tindak pidana pemidanaan menurut Sudarto :
Syarat pemidanaan  pidana Mencakup:
a.       Perbuatan
1)             memenuhi rumusan UU
2)             bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
b.      Orang (Berupa Kesalahan / Pertanggungjawaban)
1)      mampu bertanggung jawab
2)      dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)


Pandangan Monistis    
Penganut pandangan monistis adalah : Simons, Van Hamel, E. Mezger, J. Baumann, Karni dan Wirjono Prodjodikoro. Definisi yang dikemukakan : tidak adanya pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, misalnya :

Simons, unsur-unsur tindak pidana :
a.      Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)
b.      diancam dengan pidana
c.       melawan hukum
d.      dilakukan dengan kesalahan
e.       orang yang mampu bertanggungjawab.

Kesimpulan terhadap perbedaan antara pandangan monistis dan dualistis :
a.      Untuk menentukan adanya pidana, kedua pandangan ini tidak mempunyai perbedaan yang prinsipiil
b.      Bagi yang berpandangan monistis, orang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana.
c.       Bagi yang berpandangan dualistis, orang yang melakukan tindak pidana belum mencukupi syarat untuk dipidana karena harus disertai pertanggungjawaban pidana yang ada pada diri orang yang berbuat.

2.      Definisi Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
2.1  Definisi Teroris oleh para ahli
Definisi tentang terorisme belum mencapai kesepakatan yang bulat dari semua pihak karena disamping banyak elemen terkait juga dikarenakan semua pihak berkepentingan melihat atau menerjemahkan permasalahan (term of terrorism) dari sudut pandang kepentingan masing-masing.
Masing Masing Pendapat mengenai terorisme adalah sebagai berikut:
Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate.” Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen:
  1. kekerasan
  2. tujuan politik
  3. teror/intended audience.
Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI)Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik .
Menurut Muhammad Mustofa. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal .
Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas .

Menurut TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan
2.2  Karakteristik PsikologisTerorisme
Berdasarkan hasil studi dan pengalaman empriris dalam menangani terorisme yang dilakukan oleh PBB dapat disimpulkan beberapa karakteristik psikologis dari pelaku-pelaku terorisme sebagai berikut :
a.       Bahwa para terorisme umumnya mempunyai persepsi tentang adanya kondisi yang menindas secara nyata atau khayalan. Para teroris menganggap bahwa kondisi tersebut harus diubah.
b.      Para teroris menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak akan diperoleh. Dan oleh karenanya cara kekerasan sah dilakukan yang penting tujuan tercapai.
c.       Pilihan tindakan pada hakekatnya berkaitan dengan idiologi yang dianut dan tujuan yang oleh pelaku dirasakan sebagai kewajiban.
d.      Oleh karena itu konsep deteren konvensional tidak efektif lagi dalam upaya pemberantasan terorisme.
e.       Tanpa upaya resosialisasi dan reintegrasi kedalam masyarakat, mereka akan lebih radikal dan para pengagum akan berbuat kekerasan lebih lanjut dan menjadikan mereka sebagai pahlawan (dan korban sekaligus).

B.     Latar belakang di bentuknya uu no 1 tahun 2002
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1.      Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2.      Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3.      Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4.      Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
a)      bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
b)      bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
  1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
  2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
  3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
C.    Tujuan Dan Sasaran uu no 1 tahun 2002
1.      Tujuan pertama. Mengalahkan teroris dan organisasinya. Mengalahkan organisasi teroris dan mencegah pencapaian tujuan global mereka dengan menggunakan upaya diplomatik, ekonomi, informasi, penegakan, hukum, militer, finansial, intelijen dan instrumen lain.
Evolusi organisasi teroris menjadi kelompok-kelompok kecil dan bersifat informal merupakan tantangan dalam perang melawan terorisme. Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa serta dengan kerja sama internasional akan menjadikan para teroris baik individu, kelompok pendukung maupun jaringannya sebagai target dalam pemberantasan terorisme.
Cara terbaik adalah mengisolasi dan lokalisasi aktivitas teroris dan kemudian menghancurkannya. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mereduksi ruang lingkup dan kapasitasnya. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi teroris, melokalisir tempat persembunyiannya dan menghancurkan merencanakan dan organisasinya. Kita tidak bisa menunggu sampai terjadi serangan teroris baru merespon.
Sasaran:
a.       Identifikasi teroris dan organisasi teroris
b.      Melokalisasi teroris dan organisasinya.
c.       Menghancurkan teroris dan organisasinya
d.      Membawa para pelaku teroris ke pengadilan
2.      Tujuan kedua. Meningkatkan kesiap-siagaan dan kewaspadaan terhadap terorisme. Ditujukan untuk menghilangkan atau mengiliminir peluang bagi kelompok teroris untuk mendapat akses ke wilayah Indonesia sebagai tempat persembunyian, tempat beroperasi, tempat latihan dan tempat merencanakan dan mempersiapkan serangan terorisme, atau tempat pengumpulan serta pengembangan dana bagi kegiatan terorisme.
Sasaran:
a.       Membangun kesadaran akan tanggung jawab dan komitmen bersama dalam perang melawan terorisme.
b.      Pengawasan dan pengaturan kegiatan dari kelompok-kelompok masyarakat yang mengarah pada konflik SARA.
c.       Memperkuat dan mempertahankan kerja sama internasional dalam perang melawan terorisme.
d.      Melakukan interdiksi terhadap lalu lintas para teroris melalui pintu-pintu keluar masuk di darat, laut dan udara serta interdiksi terhadap kemungkinan para teroris memperoleh bahan dan senjata pemusnah masal.
e.       Memutus hubungan para teroris dengan sindikat kriminal seperti narkotika, pengiriman tenaga kerja ilegal, penyelundupan senjata api dan bahan peledak, imigran gelap, dan sebagainya.
f.       Mengembangkan prosedur dan mekanisme untuk mencegah adanya tempat pelarian dan tempat berlindung para teroris.

3.      Tujuan ketiga. Meredam faktor-faktor korelatif yang dapat dieksploitasi sebagai alasan pembenaran tindakan terorisme dan meredam kondisi-kondisi yang dapat dieksploitasi para teroris. Walaupun diakui di beberapa negara rakyatnya hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan, konflik politik dan konflik regional, namun kondisi tersebut tidak boleh dijadikan pembenaran.
Sasaran:
a.       Berusaha memecahkan pertentangan-pertentangan regional, penguatan/peningkatan kehidupan di bidang ekonomi, sosial dan politik, pemerintah yang baik dan penegakan hukum dalam rangka mengatasi kondisi-kondisi yang sering dimanfaatkan oleh para teroris.
b.      Melakukan upaya memenangkan perang melawan ideologi terorisme yang mengeksplotir nilai ekstrim keagamaan sebagai alat pembenaran aksi teroris.
c.        Melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam kebijakan politik untuk mengakomodir aspirasi kelompok fundamentalis garis keras dan menyalurkan secara demokratis dalam organisasi politk secara formal. d. Membangun jaringan kerja bersifat kemitraan dengan segenap instansi pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah serta dengan komponen masyarakat non-pemerintah.

4.      Tujuan keempat. Mengarahkan upaya kolektif nasional untuk mempertahankan kedaulatan, teritorial dan kepentingan nasional. Upaya ini meliputi perlindungan fisik kepada masayarakat, harta benda dan kepentingan nasional, sejalan dengan penegakkan prinsip demokrasi. Dengan meningkatkan dan mengkoordinasikan sistem peringatan dini, kita dapat mendeteksi rencana-rencana para teroris.
Melalui penegakkan hukum dan kegiatan intelejen yang terus menerus serta pemburuan terhadap teroris oleh aparat kemanan, kita dapat menghancurkan kemampuan mereka dalam melakukan serangan di dalam negeri maupun di luar negeri. Melalui peningkatan kesiagaan secara fisik, kita dapat mengurangi kelemahan personil, infrastruktur dan kepentingan-kepentingan lain. Respon terhadap misi yang kompleks ini memerlukan suatu upaya terkoordinasi dan fokus dari segenap komponen bangsa di tingkat nasional dan daerah.

D.    Kebijakan Pemberantasan Terorisme.
1.      Kebijakan Internasional. Dalam perang melawan terorisme diperlukan upaya komprehensif secara lintas instansi dan lintas negara. PBB melalui United Nations Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara komperhensif, yaitu sebagai berikut :
a)      Aspek politik dan pemerintahan (politics and governance)
b)      Aspek ekonomi dan sosial (economic and social)
c)      Aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (psychology, communication, education).
d)     Peradilan dan hukum (judical and law)
e)      Aspek kepolisian dan sistem pemasyarakatan (police and prison system) \
f)       Aspek intelejen (intelligence)
g)      Aspek militer (military)
h)      Aspek imigrasi (immigration)
2.      Kebijakan di berbagai negara. Pemerintah AS, Inggris, Australia dan Jepang serta sejumlah negara lain menganggap semua terorisme sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasionalnya seperti halnya dengan tindakan kriminal. AS dan Australia misalnya bertekad untuk menggunakan semua daya guna mencegah, menghambat, mengalahkan serta membahas semua serangan teroris, baik di dalam negeri, di perairan internasional maupun di negara asing.
Strategi pemberantasan terorisme diimplementasikan melalui upaya represif, preventif, preemptif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infrastruktur pendukung.
Upaya Represif.
a.      Peradilan dan perundang-undangan.
1)      Pembentukan undang-undang yang khusus ditujukan untuk pemberantasan terorisme.
2)      Pertukaran informasi dengan negara-negara lain.
3)      Meratifikasi konvensi-konvensi internasional dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan upaya melawan terorisme.
4)      Memperluas perjanjian ektradisi dengan negara lain.
5)      Merevisi undang-undang dan ketentuan yang kontra-produktif dalam pemberantasan terorisme.
6)      Penyetaraan ancaman hukuman terhadap pelaku teror sesuai ancaman hukuman yang berlaku di berbagai negara dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.
7)      Pemberian perlindungan saksi.
8)      Mempercepat proses peradilan.
9)      Penerapan peradilan khusus.
10)  Penerapan pengadilan in absentia.
b.      Investigasi
1)       Melakukan oleh TKP secara profesional.
2)      Melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, pemeriksaan sesuai ketentuan hukum dengan menghindari pelanggaran HAM serta penyimpangan lainnya.
3)      Kerja sama internasional dalam penyidikan termasuk kerja sama penggunaan teknologi mutakhir dalam penyidikan.
4)      Kerja sama internasional di bidang teknis seperti laboratorium, cyber forensic, communication forensic, surveillance, indentifikasi dan dukungan teknis lainnya.
5)      Pelatihan penyelidik di bidang investigasi pasca pengeboman.
6)       Memperbanyak dan mengintensifkan informan.
7)      Latihan simulasi satuan-satuan anti teror TNI dan Polri dalam penanganan terorisme.
8)      Mengungkap jaringan teroris secara tuntas.
9)      Pembebasan sandra.
10)  Pembekuan aset organisasi teroris dan kelompok yang berkaitan dengan terorisme.
11)  Pelaksanaan undang-undang pencucian uang secara konsisten.
12)  Penelusuran aliran dana jaringan teroris dengan menyampaikan kerahasiaan bank.
c.        Intielijen.
1)      Penggunaan teknologi mutakhir untuk melakukan surveillance dan intersepsi.
2)      Penyusupan ke dalam organisasi teroris.
3)      Pengembangan sistem deteksi dini.
4)      Pertukaran informasi intelijen dengan negara lain.
5)      Pembangunan database terorisme.
6)      Deteksi dini terhadap provokasi ke arah permusuhan bernuansa SARA dan kebencian terhadap kelompok agama atau negara tertentu.
d.      Militer.
1)      Serangan ke markas teroris untuk penangkapan.
2)      Pembebasan sandra.
3)      Pengamanan VIP dan instalasi vital.
4)      Penyiapan pasukan khusus anti teroris.
Upaya Preventif.
a.       Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api.
b.      Peningkatan pengamanan terhadap sistem transportasi.
c.       Peningkatan pengamanan sarana publik.
d.      Peningkatan pengamanan terhadap sistem komunikasi.
e.       Peningkatan pengaman terhadap VIP.
f.       Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatik dan kepentingan asing.
g.      Peningkatan kesiap-siagaan menghadapi serangan teroris.
h.      Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional.
i.        Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom.
j.        Pengetatan pengawasan perbatasan pintu-pintu keluar-masuk.
k.      Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa dan sebagainya).
l.        Harmonisasi kebijakan visa dengan negara tetangga.
m.    Penertiban pengeluaran KTP dan administrasi kependudukan.
n.       Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror.
o.       Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa.
p.      Kampanye anti teroris melalui media massa, yaitu meliputi :
1)      Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi teroris.
2)      Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat tindakan teroris.
3)      Penggunaan public figures terkenal untuk mengutuk aksi teroris.
4)      Pemanfaatan eks pelaku teroris yang telah sadar dalam kampanye anti terorisme.
5)      Penggunaan wanted poster dan dipublikasikan.
6)      Pemanfaatan pelatihan pers yang meliput berita tentang aksi terorisme.
q.      Penyelenggaraan pelatihan pers yang meliput berita tentang aksi terorisme.
r.        Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris.
s.       Pelarangan publikasi naskah-naskah dan pernyataan-pernyataan para teroris.
Upaya Preemptif
a.       Pencerahan ajaran agama oleh tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk mengeliminir dan radikalisme pemahaman ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis garis keras.
b.      Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan sebagai berikut :
1)      Merespon tuntutan politik teroris dengan kebijakan politik yang dapat mengakomodir aspirasi kelompok radikal.
2)      Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang potensial mengarah pada tindakan teror dalam penyelesaian konflik secara damai melalui dialog, negosiasi dan sebagainya.
3)      Penawan konsesi politik bagi kelompok-kelompok yang bergerak di bawah tanah menjadi gerakan formal secara konstitusional.
c.       Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan/LSM yang mempunyai kesamaan atau kemiripan visi dan idiologi dalam dialog dengan kelompok-kelompok radikal.
d.      Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.
Upaya Resosialisasi dan Rehabilitasi.
a.       Reedukasi terhadap para pelaku teroris yang telah mengalami “cuci otak” dengan ideologi ekstrim/radikal sehingga eks-pelaku dapat diresosialisasikan dan direintegrasikan ke dalam cara-cara berfikir normal kehidupan kemasyarakatan.
b.      Perbaikan sarana prasarana serta fasilitas publik yang rusak
c.        Normalisasi pelayanan publik dan kegiatan masyarakat.

E.     Pengembangan infrastruktur pendukung pemberantasan terorisme .
1.      Dukungan melalui bantuan internasaional untuk pengadaan peralatan dan teknologi canggih untuk melawan terorisme bagi Polri, Intelijen, TNI dan fasilitas koordinasi (Desk KPT).
2.      Peningkatan kualitas SDM satuan-satuan pelaksana lapangan (Pain, TNI, Intelijen serta instansi terkait lainnya).
3.      Peningkatan kualitas SDM di jajaran penegak hukum (penyidik, jaksa, hakim) dalam proses peradilan terorisme agar setara dengan negara-negara lain.
4.      Pembangunan kapasitas organisasi lembaga koordinasi agar efektif dalam mengantisipasi perkembangan ancaman terorisme yang diperkirakan akan terus berlanjut.
5.      Penetapan kelembagaan secara permanen dengan besaran organisasi sesuai skala perkembangan kegiatan pemberantasan terorisme dengan personil yang permanen pula.
6.      Pengembangan jaringan kerja melalui kemitraan, dengan instansi pemerintah dan lembaga non-pemerintah terkait dalam upaya pemberatasan terorisme.
7.      Pengembangan kemitraan untuk kajian dan sosialisasi terorisme dengan lembaga akademik independen dan netral.
8.      Pengembangan kemitraan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan partisipasi dalam memenangkan perang melawan ideologi terorisme.
Tuntutan Kemampuan Menghadapi (Krisis-Akibat) Terrorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam implementasi strategi serta besar, luas dan kompleksnya dampak terorisme, maka untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
a.       Pemerintah, memiliki kemampuan antara lain :
1)      Mampu membuat kebijakan politik dan ekonomi yang baik
2)      Mampu bertindak tegas dan tepat.
3)      Mampu membuat program sosial ekonomi yang populer.
4)      Mampu bekerja sama dan berkoordinasi dengan instansi/badan dalam negeri dan bekerja sama antar negara.
b.      Organisasi Antiteror, memiliki kemampuan antara lain
1)      Mampu melaksanakan kebijakan nasional antiteror yang digariskan pemerintah.
2)      Menguasai pengetahuan tentang terorisme.
3)      Mampu bekerja sama dengan badan/lembaga lain dalam dan luar negeri.
4)      Mampu memberi arahan kepada satuan pelaksana. e. Mampu memberi saran ke satuan atas.
5)      Menguasai masalah hukum, intelijen dan teknologi.
c.       Satuan Antiterror, memiliki kemampuan antara lain :
1)      Mampu melaksanakan tugas yang diberikan.
2)      Menguasai dan mampu menerapkan taktik dan teknis antiteror.
3)       Mampu bekerja sama dan berkoordinasi baik dengan satuan dan instansi lain
4)      Memiliki jiwa dan semangat satuan yang solid.
5)      Menguasai masalah hukum, intelijen dan teknologi.
Personil satuan antiteror, menguasai kemampuan antara lain :
1)      Menguasai masalah hukum dan HAM dengan baik
2)      Menguasai kemampuan perorangan antiteror.
3)      Menguasai kemampuan intelijen.
4)      Menguasai teknologi dan persenjataan, serta bahan peledak yang mutakhir.
5)      Menguasai kemampuan komunikasi massa.
6)      Menghormati hak-hak sipil dan politik serta hak asasi manusia lainnya.
7)      Menguasai budaya dan adat istiadat setempat.













BAB III
PEMBAHASAN

A.    Terorisme di Indonesia

1.      Kasus terorisme yang pernah terjadi di Indonesia

Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi Indonesia di luar negeri:

Tahun 1981

Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1 tentara komando tewas; 3 teroris tewas.

Tahun  1985

Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia.

Tahun  2000

a.       Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
b.       Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
c.        Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.
d.       Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.

Tahun  2001

a.       Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas.
b.       Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.
c.        Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak.
d.       Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.

Tahun  2002

a.       Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.
b.       Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
c.        Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald's Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.

Tahun 2003

a.       Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
b.       Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
c.        Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

Tahun 2004

a.       Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC)
b.       Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004)
c.        Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.

Tahun  2005

a.       Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
b.       Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
c.        Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa.
d.       Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.
e.        Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.[1]

Tahun  2009

Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB.[2]

Tahun 2010

a.       Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010
b.       Perampokan bank CIMB Niaga September 2010
Taun 2011
Baru baru ini kasus teroris terhangat adalah kasus Bom Cirebon yang mana Polisi Jadi sasaran Targetnya.bom yang meledak pada saat menjelang solat jumat si sebuah masjid di kantor polisi cirebon yang mengundang pertanyaan,siapa pelaku bom tersebut,mengapa di mesjid kantor polisi,bagaimana bisa lolos dan masuk ke dalam mesjid kantor polisi tersebut.
2.      Analisis Kasus Terorisme di Indonesia
a.      Kasus Bom Cirebon dan Polisi Jadi Target
Bom bunuh diri meledak di tengah jamaah yang hendak menunaikan salat Jumat di Mesjid Al-Zikrah, di Mapolres Cirebon Kota. Pengamat menilai pelakunya adalah jaringan dari kelompok lama.
Pengamat teroris Mardigu WP beranggapan, berdasarkan data forensik terkait jenis bom serta pola yang dijalani, aksi bom bunuh diri itu bukan metode baru. Menurutnya, cara itu sama dengan yang dilakukan eskekutor dari kelompok teroris yang selama ini beraksi misalnya pada Bom Bali II 2005 serta ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton. “Itu ciri kelompok lama,” ujarnya.
Ciri mereka, sambungnya, menggunakan bom berdaya ledak rendah. Selain itu, material bom yang terlempar setelah ledakan juga sama dengan peledakan yang terjadi sebelumnya. “Kalau soal sasaran, selain mengincar polisi juga menebar ketakutan di masyarakat.”
Mardigu menambahkan, aksi bom bunuh diri yang dilakukan di dalam mesjid merupakan hal pertama terjadi. “Dari 19 kasus bom bunuh diri sejak 2000, aksi ‘pengantin’ di dalam keramaian mesjid, baru pertama terjadi di Indonesia. Saya belum bisa menganalisa kenapa pelaku memilih mesjid sebagai lokasi karena biasanya yang menjadi target dalah tempat yang banyak ditempati orang asing,” paparnya lagi
Dalam pandangan pengamat intelijen Dynno Chresbon, bom bunuh diri di markas polisi tak lepas dari rangkaian terorisme sebelumnya. “Kelompok ini berasal dari pelaku teror bom buku. Serangan terhadap mesjid ini, membuktikan kelompok yang sama dan pernah melakukan teror yang sama di sebuah mesjid di Yogjakarta tahun 2005,” ungkapnya. “Di Mesjid Istiqlal, pada tahun 1999, pernah ada bom .”
Ia menduga pelakunya adalah kelompok yang pernah melakukan pelatihan di Aceh. “Mereka telah memberikan pernyataan bahwa mereka memusuhi aparat keamanan. Dan peledakan bom di mesjid bukan sesuatu yang baru,” tuturnya.
Pengamat intelejen Wawan Purwanto menjelaskan, bom di Cirebon terkait balas dendam teroris terhadap kepolisian. “Dilihat dari lokasi mesjid di halaman kantor polisi , bom bunuh diri itu ada unsur dendam dan terkait rentetan peristiwa sebelumnya,” katanya.
Meski begitu, ia belum bisa memprediksi jaringan di balik aksi itu. ”Saya belum bisa menuduh. Tapi dilihat caranya, ada kaitan dengan jaringan yang selama ini eksis,” ucapnya. Menurutnya, pelaku sengaja menunggu orang lengah. “Saat khusyuk beribadah, akan jadi sulit melakukan antisipasi. Ini celah yang sengaja dia pakai,” katanya.Wawan mengatakan, kasus peledakan di mesjid merupakan yang pertama di Indonesia. Ia melihat ada pergeseran target yang semula sasarannya segala simbol berbau barat.
Sedangkan pengamat intelijen Mufti Makarim menduga peristiwa ledakan bom di Mesjid Polres Cirebon Kota, terkait dengan kasus bom Bali serta JW Marriot, Jakarta. Ketiganya memiliki kesamaan menggunakan metode bom bunuh diri. Ia menilai kasus ini tak sama dengan paket bom di Kantor KBR 68H di Jalan Kayu Manis, Jakarta Timur dan paket lainnya.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, menilai aksi bom bunuh diri di Mesjid At-Taqwa, Mapolres Cirebon Kota, sebagai tindakan teror tak terduga. “Sasaran itu sudah meningkat ke tempat ibadah,” ujarnya.
Menurutnya, modus pengeboman di tempat ibadah dan menyasar markas kepolisian termasuk baru. Djoko membenarkan, sasaran aksi teror itu adalah kepolisian. Namun, menurutnya, tetap masyarakat yang menjadi korban. “Salah satu sasaran ya polisi, tapi korban kejahatannya bukan cuma polisi, imamnya juga kena. Dalam setiap tindak terorisme, yang selalu jadi korban adalah masyarakat,” katanya.
Menurut Djoko, pemerintah terus mencari pelaku yang bertanggung jawab atas aksi itu. “Kapolri diminta untuk mencari jawaban,” katanya. “Yang jelas hal ini merusak suasana damai di antara masyarakat.”
Di lihat dari sasaran peledakan bom, peristiwa kali ini berbeda. Biasanya sasaran adalah aset milik negara asing, terutama negara-negara yang dianggap sekutu Amerika. Tapi kali ini sasaran kelompok teroris adalah mesjid. Menanggapi hal ini Kadiv Humas Polri belum bisa mengungkapkan apa motif dari ledakan ini termasuk apakah terkait dengan penangkapan Umar Patek.
Peringatan akan terjadinya ledakan bom di Indonesia telah dikeluarkan oleh pemerintah Australia. Dalam websitenya, Departemen Luar Negeri Australia pada 30 Maret 2011 mengingatkan penangkapan tokoh peledakan bom Bali, Umar Patek di Afganistan akan memicu serangan balasan. Negara ini mengingatkan warganya untuk mempertimbangkan perjalanan ke Indonesia.
Polisi menetapkan Raden Muhammad Basuki sebagai salah satu tersangka dalam kasus bom bunuh diri di masjid kantor Kepolisian Resor Kota Cirebon. Basuki adalah adik Muhammad Syarif, pelaku bom bunuh diri itu.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, mengatakan, selain Basuki, polisi menetapkan Arif Budiman alias Dede sebagai tersangka. Dede diduga ikut merencanakan. Ia menemani Syarif makan di rumah makan Minang dekat Mapolres sebelum peledakan.
Arif dicokok pada Ahad siang lalu di rumah orang tuanya di Jalan Suratno, Kelu-rahan Kebon Baru, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, sekitar 500 meter dari kantor Polres. Saat itu tim Detasemen Khusus 88 Antiteror juga membawa serta ibu Arif, Siti Juhariah; istri; serta dua anak Dede. Polisi juga menyita sejumlah barang dalam empat kantong plastik.
Adapun Basuki ditetapkan sebagai tersangka karena kedapatan menyimpan sejumlah rangkaian bom di rumahnya di Blok Bangbangan RT 13, Desa Trusmi Wetan, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon.
Kemarin polisi juga menetapkan 12 tersangka dalam kasus rencana peledakan bom di dekat pipa gas di Ser-pong. Mereka adalah bagian dari 21 orang yang ditangkap polisi karena diduga terlibat serangan bom buku beberapa waktu lalu. Mereka adalah FK alias F, W abas T, HS alias H, FD alias P, FH alias A, AG alias S, MMS alias S, RR alias I, D, MS, MG, serta JK alias J.
Di antara mereka ada Pepi Fernando, 32, yang diduga pemimpin kelompok ini. Saat ini mereka ditahan di Polda Metro Jaya. Boy memastikan Deny Carmanita, istri Pepi, masin berstatus saksi. Polisi pun belum menemukan kaitan bom Cirebon dan bom buku. "Keduanya kasus terpisah."
Dalam kaitan dengan kasus rencana. peledakan bom di Serpong itu, Densus 88 telah menangkap Matun, 30 tahun, Ahad lalu. Matun adalah warga RT 01 RW 04 Desa Cido-kom, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. "Sudah enam warga diciduk," kata Kepala Desa Cidokom, Achmad Dahlan H., kemarin. Matun adalah tetangga Jo-kaw, yang ditangkap di Aceh.
Pada hari yang sama, polisi juga menangkap Supebri alias Togel alias Awi. Supebri dijemput di rumah mertuanya di Jatimulya Blok Jatisena, Kecamatan Kasokandel, Majalengka. Perangkat desa setempat, Dede, mengaku tak tahu mengapa Supebri ditangkap.
b.      Teroris Bom Mesjid Cirebon bukanlah Bagian dari Teroris Internasional
Ini cuma perkiraan saya saja. Ada beberapa alasan mengapa teror bom di mesjid Cirebon bukanlah bagian dari teroris internasional alias Al Qaeda. Alasan tersebut:
1)      Teroris internasional lebih melihat simbol-simbol amerika sebagai target peledakan bom. Dan untuk itu, perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di indonesia lebih bisa menjadi target daripada sebuah mesjid, karena pesan AS sebagai musuh langsung dicapai. Perusahaan itu tidak harus dalam bentuk hotel, atau kedubes (yang notabene pengawasannya ketat), tetapi juga semacam rumah makan seperti Mc D, Pizza, dan lain-lain.
2)      Ledakan bersifat low explosive. Dari beberapa kasus, terlihat bahwa jaringan internasional selalu menggunakan bom berdaya ledak tinggi, sehingga korban meninggal bisa mencapai puluhan orang. Dalam kasus bom di cirebon, korban yang meninggal adalah yang melakukan bom bunuh diri, sementara yang lainnya mengalami luka.
3)      Selain itu, biasanya jaringan internasional selalu matang mempersiapkan aksi. Mulai dari adanya kaki tangan eksekutor di dalam target yang hendak di bom, dan seterusnya. Jarang yang aksi sendiri seperti ini.
4)      Kalau polisi sebagai target, maka persiapan kurang matang, kurang berani dan kurang besar. Aksi yang cukup besar dilakukan kelompok ini misalnya ketika di sumatera utara, membombardir kantor polisi dengan tembakan secara bersamaan.
Jadi menurut saya, bom di mesjid cirebon adalah bagian dari masalah internal indonesia sendiri. Dan kemungkinan merupakan bagian atau kelanjutan dari bom buku. Kalau bom buku sasarannya malah sangat tidak jelas. Mulai dari Ulil, Ahmad Dani, kompleks perumahan, dstnya. Tetapi semua berdaya ledak rendah, dan bukan bom bunuh diri. Lebih tinggi daya ledak elpiji 3 kg.
Kemudian, kalau bagian dari konflik agama,di Indonesia, pada dasarnya friksi antar agama atau internal islam sendiri, tidak sampai menimbulkan permusuhan ‘diam-diam’  dan ‘pengecut’ seperti ini. Justru friksi itu terlihat terbuka. Seperti dengan Ahmadyah, kasus Temanggung, atau kasus Pasuruan.
Jadi siapa dibelakang bom di mesijid cirebon ini? Ya memang ada orang yang sengaja membuat ‘kerusuhan’ ini. Siapa tahu yang disebut Aljazeera benar, para mantan jenderal yang ingin membuat indonesia tempat yang tidak aman. Teror ke sana kemari kayak orang mabuk dan tidak jelas.
B.     latar belakang munculnya terorisme
a.      Kemiskinan :
orang rela mendapatkan uang dengan cara apapun, tidak peduli dia mati atau hidup, yang penting kehidupan keluarganya terpenuhi.Ironisnya, orang yang pelaku bom bunuh diri itu mungkin orang yg bener bener susah, tidak kerja sama sekali, butuh uang, hidupin keluarga susah.dan pada saat itu ditawarin kerjaan bom bunuh diri dengan diiming imingi keluarga dibiayain seumur hidup,hidup bakal kecukupan, dll.padahal padasaat bunuh diri dia gak tau apakah keluarganya akan di biayai, keluarga dia beneran dapet kehidupan yang layak ?

b.      Ideologi :
kalau seseorang mau mengubah negara, lakukanlah dengan cara yang benar, bukan dengan cara bom sana bom sini. Apa yang akan berubah jika mereka melakukan hal itu? tidak ada... hanya ingin membuktikan bahwa pemimpin tersebut tidak becus memimpin negara?lalu? ingin membuatnya turun? memangnya tidak ada orang yang tidak memiliki kekurangan?kalau ingin yang sempurna kenapa tidak dia saja yang jadi pemimpin? ubah dulu pola pikir diri sendiri, mulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan dan terus meluas...atau memang dasarnya mereka senang dengan kekacauan? kalau benar, mereka tidak lebih dari orang gila..
c.       Penyimpangan agama :
orang yang bener bener fanatik sama agamanya, menanggap semua agama lain adalah salah selain agama dia, biasanya mudah untuk dimanipulasi oleh orang lain yang mengatasnamakan agama. Misalkan : bunuh si A, artinya kamu berbuat baik dengan melenyapkan orang (si A) yang berbuat jahat...
Tindakan itu adalah tindakan yang salah, tidak ada di dalam agama manapun yang membenarkan seseorang untuk mencabut nyawa orang lain, walaupun orang itu baik / jahat... hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa orang... Lalu kenapa kita dengan bangga mencabut nyawa orang? karena agama yang menyuruh? Tidak Mungkin !! tindakan kita memang benar harus patuh pada agama, tapi jangan lupakan akal budi yang Tuhan berikan untuk kita... Gunakanlah akal budi tersebut untuk berpikir, bukan untuk jadi budak orang lain yang mengatasnamakan agama.
C.    Sasaran Terorisme:
Sasaran Terorisme Pada umumnya sasaran teroris baik manusia maupun obyek lain dipilih secara random bertujuan untuk menyoroti kelemahan sistem dan atau dipilih secara seksama untuk menghindari reaksi negatif publik atau telah dirancang untuk menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik. \
Sasaran strategis teroris adalah sebagai berikut :
1)      Menunjukan kelemahan alat-alat kekuasaan (aparatur pemerintah).
2)      Menimbulkan pertentangan dan radikalisme di masyarakat atau segmen tertentu dalam masyarakat.
3)      Mempermalukan aparat pemerintah dan memancing mereka bertindak represif kemudian mendiskreditkan pemerintah dan menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris.
4)      Menggunakan media massa sebagai alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris.

Sacara spesifik sasaran teroris meliputi :
1)      Militer. Senjata yang sensitif, lembaga pendidikan, senjata, amunisi, fasilitas komando dan pengendalian, fasilitas logistik, fasilitas komputer, bahan peledak, fasilitas rekreasi, sekolah dan bus sekolah.
2)      Bangunan dan sistem energi. Pembangkit tenaga listrik, kilang minyak lepas pantai, fasilitas nuklir, pipa gas, bendungan dan jaringan listrik.
3)      Sarana komunikasi dan dukungan. Fasilitas dan jaringan komunikasi, tempat penimbunan bahan kimia, fasilitas dok, gudang peralatan, fasilitas komputer, tempat penyimpanan senjata khusus dan konvensional.
4)      Sarana transportasi. Jaringan kereta api dan jalan raya, dipo kendaraan, lapangan terbang dan pesawat terbang, fasilitas angkutan truk dan galangan kapal laut.
Manusia. Personil kedutaan besar, pegawai pemerintah, pelaku bisnis, personil polisi dan personil anggota angkatan perang
D.    Dampak Terorisme
Dampak Terorisme Sebagai akibat dari teroris memanfaatkan dan menggunakan perkembangan teknologi mutakhir yang sangat maju di bidang alat peralatan, komunikasi, transportasi, bahan peledak dan senjata (termasuk potensi Nubika) dalam kegiatan operasinya maka dampak aksi terorisme berskala sangat besar, luas dan kompleks dalam bentuk kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik.
1.      Bidang politik, hukum, pemerintahan, antara lain :
a)      Gangguan terhadap kehidupan demokrasi;
b)      Hukum dan tata tertib terganggu;
c)      Roda Pemerintahan tidak berjalan lancar;
d)     Pada tahap tertentu isu terjadi vaccum of power;
e)       Suatu pemerintahan yang lemah bisa jatuh.
2.      Bidang ekonomi, antara lain :
a)      Gangguan terhadap mekanisme ekonomi: kegiatan produksi, distribusi barang dan jasa, harga saham jatuh;
b)      Investasi/penanaman modal menurun drastis;
c)       Kehancuran sarana prasarana ekonomi;
d)     Timbul pengangguran dalam jumlah besar.
3.      Bidang psikologi, antara lain:
a)      Timbul rasa takut dalam masyarakat;
b)      Akibat trauma, masyarakat bersikap apatis dan bereaksi tidak wajar.
4.      Bidang sosial, antara lain:
a)      Law and order dalam masyarakat terganggu;
b)      Bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat;
c)      Bisa menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan pergeseran norma dalam masyarakat.
5.      Bidang keamanan, diantaranya:
a)      Kemanan dan ketertiban masyarakat terganggu;
b)      Ruang gerak anggota masyarakat terganggu.
6.      Bidang hubungan internasional, yaitu: - Hubungan antar negara bisa terganggu.
E.     Cara menangani terorisme di Indonesia.
Terorisme dapat dipahami secara sederhana adalah sebuah gerakan baik secara perorangan maupun kelompok/organisasi yang melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan dan tindakan dalam bentuk kekerasan baik fisik maupun mental dengan tujuan menciptakan suatu kondisi teror di suatu tempat dan waktu tertentu. Pada hakekatnya, teror bertujuan “penciptaan kondisi” di suatu wilayah dan waktu tertentu sehingga menguntungkan bagi pihaknya (Teroris) guna pencapaian tujuannya yang lebih besar. Dalam hal ini. terror merupakan salah satu cara/metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Latar belakang/motif terorisme bermacam-macam, yaitu kepentingan politik, idiologi dan ekonomi. Dari ketiga motif tersebut, latar belakang idiologi adalah bentuk terorisme yang paling berbahaya, karena pelaku-pelaku terror memiliki militansi yang sangat tinggi hingga mau melakukan bom bunuh diri, kamikaze dan sebagainya.
Terorisme dapat dipandang sebagai gerakan intelijen lawan karena bergerak secara klandestin dan membentuk jaringan bawah tanah secara terorganisir rapi. Sehingga untuk menghadapi teorisme tersebut harus dengan kekuatan dan kemampuan anti terror (counter intelligent). Cara kerja badan anti terror dengan badan penanggulangan terror sangat jauh berbeda. Indikator keberhasilan sebuah badan anti terror adalah “terror tidak pernah terjadi”, sedangkan indikator keberhasilan badan penanggulangan terror salah satunya adalah “tertangkapnya para pelaku terror”. Hal inilah yang harus dipahami bersama.
Kita memiliki POLRI yang pada saat ini bertindak sebagai garda depan dalam menangani terorisme di Indonesia. Namun perlu kita ingat, bahwa POLRI adalah badan penegak hukum yang bekerja lebih sebagai penanggulangan terror. Kepolisian tidak bisa menangkap dan menahan seseorang yang belum terbukti melakukan tindak kejahatan/criminal. Artinya, Kepolisian baru akan mencari dan menangkap teroris setelah teoris tersebut terbukti “telah” melakukan tindakan terror. Artinya kita akan selalu ketinggalan beberapa langkah dengan pihak teroris. Kita dalam keadaan selalu menunggu terror terjadi barulah kita beraksi dengan cara mengejar dan memburu pelaku peledakan bom, pembunuhan, penculikan dan lain sebagainya. Menangani teorisme seharusnya tidak demikian.
Bangsa ini seharunya memiliki badan anti terror sekaligus badan penanggulangan terror secara proporsional dan tepat. Badan anti terror saharusnya diserahkan kepada badan kontra intelijen yang dilengkapi dengan system perundang-undangan yang memadai. Permasalahannya, saat ini Indonesia belum memiliki badan kontra intelijen. Kalau kita lihat di setiap Negara di dunia mamiliki dua perangkat badan intelijen dan badan kontra intelijen, seperti AS dengan CIA sebagai badan intelijen dan FBI sebagai badan kontra intelijen, Inggris dengan MI5 dan MI6, Israel dengan Mossad dan Shin Bet sedangan Indonesia hanya memiliki badan intelijen yaitu BIN sedang badan kontra intelijen tidak ada. Disinilah kunci kesalahannya. Badan kontra mutlak harus dimiliki setiap Negara karena acaman berupa kegiatan intelijen pihak musuh selalu ada baik pada masa damai maupun perang. Kegiatan intelijen lawan seperti halnya terorisme tidak akan mampu ditangani hanya oleh badan intelijen saja, tetapi harus ditangani oleh badan kontra intelijen.
Kita sebenarnya telah memiliki banyak personel intelijen yang berkualifikasi kontra intelijen. Sekolah kontra intelijen BAIS TNI telah mencetak dan meluluskan personel-personel kontra intelijen yang siap pakai, namun karena badan kontra intelijen tidak ada, personel-personel berkemampuan kontra intelijen tersebut sampai saat ini belum terwadahi dan diberdayakan dengan baik.
Inilah salah satu jawaban bagaimana menghadapi terorisme di wilayah NKRI saat ini dan masa mendantang, yaitu dengan membentuk badan kontra intelijen nasional. Dengan demikian, dalam badan kontra intelijen tersebut sudah terwadahi adanya badan anti terror secara tepat.
1.      Kebijakan Dasar dalam Pembrantasan Terorisme.
a.       Perang melawan teror ialah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
b.       Bahwa kebijakan dan langkah pemerintah untuk menyusun undang-undang tentang pemberantasan terorisme bukan karena tekanan negara-negara maju.
c.        Langkah-langkah pemberantasan terorisme tidak melanggar HAM tapi justru untuk melindungi HAM. Adanya Undang-undang Pemberantasan Terorisme untuk memberikan kepastian hukum dan memberi batas-batas yang jelas tentang tindakan yang dapat dilakukan dan tidakan yang tidak boleh dilakukan oleh aparat.
d.      Bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak diskriminatif. Undang-undang terorisme tidak ditujukan pada suatu kelompok manapun. Siapapun yang melakukan perbuatan teror akan diperlakukan sama sesuai perbuatannya dan tanpa melihat latar belakang etnis maupun agamanya.
e.        Bahwa undang-undang terorisme didasarkan pada 3 paradigma, yaitu :
1)      Melindungi bangsa dan kedaulatan NKRI;
2)      Melindungi hak azasi korban dan saksi-saksi;
3)      Melindungi hak azasi pelaku terorisme.
f.       Bahwa kerjasama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan karena gerakan terorisme mempunyai jaringan global dan hal ini merupakan perwujudan upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, yaitu “turut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi”.
g.      Bahwa terorisme internasional ataupun terorisme lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional merupakan ancaman bagi kemanusiaan dan sangat membahayakan ketertiban dan kemanan dunia termasuk bangsa dan negara RI.
h.       Bahwa untuk mencegah dan mendorong agar tidak timbul korban-korban masal yang tidak berdosa akibat tindakan terorisme, maka diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan jika menemukan kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan-tindakan terorisme.
i.        Bahwa dalam perang melawan terorisme, perlu dilakukan upaya secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan dilakukan langkah-langkah yang bersifat represif, preventif, preemptif maupun rehabilitasi.
Dengan tertangkapnya para pelaku teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana teroris lokal telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan teroris global. Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan terorisme mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komperhensif dengan pendekatan lintas sektoral dan lintas negara.
Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme. Misi nasional dalam pemberantasan terorisme adalah menghentikan aksi teroris yang mengancam kehidupan bangsa, warga negara dan kepentingan nasional serta menciptakan lingkungan internasional yang menyuburkan terorisme. Untuk memenuhi misi ini harus dilaksanakan upaya-upaya strategis sebagai berikut :
a.       Mengalahkan teroris dan organisasinya dengan menghancurkan persembunyiannya, kepemimpinan, komando, kontrol, komunikasi, dukungan materiil dan keuangan. Kita harus bekerja sama dan mengembangkan kemitraan baik luar negeri maupun dalam negeri untuk mengisolasi teroris. Mendorong instansi terkait lainnya serta mengembangkan mekanisme penanganan aksi teror dalam suatu sistem keterpaduan dan koordinasi yang efektif.
b.      Meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa terhadap ancaman terorisme untuk mencegah dijadikannya wilayah tanah air Indonesia sebagai tempat persembunyian para teroris dan tempat tumbuh suburnya ideologi terorisme.
c.       Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat di eksploitasi menjadi alasan pembenaran aksi teroris seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik politik dan SARA.
d.      Melindungi bangsa, warga negara dan kepentingan nasional. Kemenangan perang melawan terorisme dapat dicapai melalui upaya yang berkelanjutan menekan ruang lingkup dan kapabilitas organisasi teroris, mengisolasi teroris serta menghancurkannya.
Kemenangan hanya dapat dicapai selama pemerintah dan rakyat memelihara kesiap-siagaan dan bekerja tanpa mengenal lelah untuk mencegah teroris melakukan tindakan yang akan membawa bencana.
2.      Metode dan Teknik Mengatasi Terorisme.
a.       Kelompok teroris dalam upaya mencapai tujuannya melaksanakan taktik bombing, arson, hijacking, assassination, ambush, kidnapping, hostage taking and robberies/expropriations. Kegiatan teroris tidak semua dilakukan oleh hard-core political terrorist (crusaders), banyak juga yang dilakukan oleh criminal (seeking personal tather than political gain) atau oleh crazies (individual who are mentally ill).
b.      Strategi, kebijakan, taktik, metoda, pendekatan dan taktik mengatasi terorisme yang diterapkan berbeda dari satu negara dibanding negara lainnya, mengingat adanya perbedaan bentuk (variants) atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh perbedaan motif, seperti: kelompok sparatis, anarchists, dissidents, nationalists, marxist revolutionaries or religius true beliviers. Disamping itu, perbedaan penanganan teroris disebabkan juga karena adanya perbedaan kondisi daerah, budaya/adat istiadat, hukum dan sumber daya serta kemampuan lembaga/satuan anti teror yang tersedia.
c.       Beberapa negara menganut program antiterorisme yang mengaplikasikan
d.      metoda dasar, yaitu :
1)      Prevention. Menggunakan inisiatif internasional dan diplomasi untuk membujuk negara pendukung terorisme, dan membuat konsensus bahwa kegiatan teroris bertentangan dengan hukum internasional.
2)       Deterrence. Dilakukan tindakan atau upaya perlindungan dan keamanan oleh masyarakat dan sektor swasta untuk mencegah kegiatan teroris.
3)      Reaction. Melaksanakan operasi counter terrorism, menjawab kegiatan terorisme yang besar dan khusus.
4)      Prediction. Melakukan tindakan intellegence dan counterintelligence secara terus menerus mendukung ke-3 metoda lainnya.
F.     Hambatan dalam Pemberantasan Terorisme.
1.      Adanya mispersepsi dan tudingan bahwa perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam;
2.      Adanya kesan bahwa negara maju menerapkan standar ganda dalam menghadapi terorisme. Pandangan ini merujuk pada sikap negara maju dalam penanganan konflik berlarut-larut di Timur Tengah. Persepsi terhadap kondisi ini sekaligus merupakan motif paling signifikan bagi maraknya aksi teror yang berbasis pada fundamentalis garis keras serta kelompok-kelompok radikal militan di berbagai negara.
3.      Adanya kesan yang cukup kuat bahwa langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Dan oleh karenanya setiap hasil investigasi hanya sekedar upaya pembenaran skenario asing dan proses peradilannyapun dipaksakan menuruti ketentuan hukum yang telah didesain untuk melindungi kepentingan negara maju.
4.      Adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum yang berlaku untuk menangani terorisme hanya merupakan alat kekuasaan otoriter militeristik untuk kepentingan mempertahanakan kekuasaan yang anti demokrasi dan melanggar hak azasi manusia, serta membungkam hak-hak sipil, hak-hak politik masyarakat dan memasung kreatifitas serta menimbulkan keengganaan masyarakat untuk berpartisaipasi dalam proses politik.



G.    Apakah kasus teroris di indonesia rekayasa atau sungguhan
Bak Sinetron kejadian-kejadian mengejutkan silih berganti dilakoni oleh polisi, mulai dari [me]manipulasi kasus, [m]enyergap teroris, sampai kejadian terbaru markasnya diserbu oleh ‘teroris.’
Hal ini cukup menarik untuk kita analisis. Menarik karena unik dan karena banyaknya keganjilan disana-sini. Jika mengacu pada teori Kriminalitas, maka disini hanya ada dua kemungkinan, Pertama, Kepolisian menjadi Subjek kasus, dalam artian polisi mengetahui bahkan terlibat didalamnya. Kedua, Kepolisian menjadi Objek kasus dalam artian polisi tidak mengetahui sebelumnya bahkan dalam situasi tertentu menjadi korban.
Maraknya kriminalitas (termasuk korupsi dan aksi terorisme) tidak bisa dipungkiri merupakan bukti anjloknya kinerja dan mentalitas aparat hukum ini. Maka wajar jika kita berani menyimpulkan bahwa sedikit banyak polisi sepertinya terlibat didalamnya. Saya berpendapat baik dalam kasus mafia hukum maupun dalam kasus terorisme sangat kental keterlibatan polisi didalamnya.
Memang kalau terkait dengan kasus-kasus mafia hukum (melakukan korupsi atau melindungi para koruptor) sudah tak terhitung bukti dan saksi yang menunjukkan hal tersebut, mulai dari terbongkarnya kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK (Bibit-Candra), kasus Gayus, Laporan Susno, dan lain lain. Akan tetapi berkaitan dengan keterlibatan polisi dalam aksi terorisme tidak banyak orang yang tahu.
Rekayasa dalam kasus-kasus terorisme ini nampaknya semakin hari semakin kental terasa. Misalnya banyaknya keganjilan-keganjilan dalam kasus penggerebekan tersangka perampokan Bank CIMB Niaga di Tanjung Balai, Sumatera Utara.  Kenapa Densus 88 harus sampai menembak mati secara brutal para (terduga) teroris tersebut? padahal orang-orang itu belum tentu juga bersalah. Prinsipnya kan kalau ada orang yang dianggap terlibat, harus dibuktikan secara yuridis. Bukan dengan tembak-tembakan ala perang.
Terlebih ada sinyalemen bahwa polisi telah merekayasa Identitas korban yang dianggap teroris tersebut. Salah satu tersangka teroris Perampok Bank Niaga (versi polisi) yang mati ditembak Densus 88 adalah seorang pemuda bernama Yuki Wantoro. Faktanya waktu kejadian perampokan bank CIMB Niaga pada tanggal 18 Agustus lalu Yuki sedang berada di Solo. Lalu atas dasar apa polisi menuduh Tuki sebagai salah satu teroris pelaku perampokan dan atas dasar apa Yuki sertamerta ditembak mati pada saat penggerebekan beberapa hari yang lalu. Tidakkah ini menunjukkan adanya Rekayasa?
Terjadi dugaan Perubahan status kasus perampokan Bank CIMB Niaga dari yang awalnya kasus kriminalitas biasa menjadi bagian dari kasus terorisme, dikarenakan ketidakmampuan polisi membokar pelaku sebenarnya. Untuk melindungi muka polisi dari rasa malu maka dihubung-hubungkanlah kasus ini dengan kasus terorisme. Makanya pada awalnya Mabes Polri sama sekali tidak menyinggung dan tidak mengaitkan kasus perampokan ini dengan terorisme. Akan tetapi belakangan ini kasus tersebut dianggap bagian dari terorisme yang berujung diturunkannya -Datasemen Maut- Densus 88 dalam aksi penggerebekan teroris pelaku perampokan Bank CIMB Niaga.
Seperti yang sama-sama telah kita ketahui, jika Densus 88 turun maka alamat yang terjadi adalah sapu bersih alias tembak di tempat. Sepertinya menurut polisi ini lebih aman, cepat, dan lebih mudah dipercaya oleh masyarakat. Dengan menurunkan Densus 88 (yang hobinya menembak orang yang belum tentu bersalah), maka polisi tidak usah capek-capek melakukan penyelidikan. Selain itu dengan mengaitkan aksi perampokan Bank Niaga dengan terorisme maka polisi merasa punya tema baru untuk mengalihkan perhatian publik, dan yang terpenting merasa punya amunisi baru untuk mengintimidasi dan menangkapi aktivis Islam.
Oleh polisi, kasus terakhir kemarin berupa penyerbuan terhadap Markas Polisi sektor Hamparan Pasir, Sumatra Utara, dikaitkan dengan aksi balas dendam para teroris. Menurut polisi, para teroris ini melakukan balas dendam karena rekan-rekan mereka dibunuh dan ditangkap oleh Densus 88 dalam penggerebekan sebelumnya. Ada banyak keanehan besar disini.
Pertama, Sepanjang sejarah kampanye perburuan teroris oleh Polisi, orang-orang yang disebut ‘teroris’ ini tidak pernah secara gegabah dan emosional langsung melakukan aksi balas dendam secara membabi buta manakala rekan-rekan mereka digrebek atau dibunuh oleh Densus 88. Tidak rasional mereka langsung balas dendam menyerbu markas polisi ketika 3 orang rekan mereka dibunuh oleh Densus 88, sedangkan tatkala para pemimpin mereka semisal Dr Azhari dan Nurdin M Top terbunuh sama sekali tidak ada aksi balas dendam langsung.
Kedua, seperti yang telah sama-sama diketahui, dalam pekan ini kota Medan dan sekitarnya merupakan daerah operasi perburuan terorisme, saat ini Kota Medan dan Sekitarnya sedang dipenuhi’ oleh polisi terutama Densus 88. Logika sederhanaya mana mungkin para teroris ‘sisa-sisa’ penggerebekan ini bisa leluasa menenteng senjata Ak-47 kemudian dengan penuh gaya menyerbu markas polisi yang ada di kawasan yang dipenuhi polisi dan Densus 88. Ini kan sesuatu yang aneh.
Ketiga, kenapa baru sekarang teroris ini membalas dendam dan kenapa yang diserang Markas Polsek tidak langsung markas Brimob atau Markas Densus 88 sekalian. Jika mereka terlatih dan memiliki senjata lengkap seperti yang disampaikan oleh Kadiv Humas Polri, kenapa mereka tidak sekalian saja menyerbu Mako Brimob Kelapa Gading untuk membebaskan ‘pemimpin-pemimpin’ mereka yang sedang ditahan polisi disana?Jadi, tidakkah kita memiliki dugaan kuat bahwa aksi penyerbuan terhadap Markas Polsek Hamparan Perak dilakukan oleh Polisi sendiri?.
Bisa jadi ini dilakukan supaya Polisi mendapatkan simpati publik dan supaya kampanye besar “Perang Melawan Teroris” semakin mendapat tempat di hati masyarakat.Berdasarkan fakta yang diapparkan disana , tentunya masih mengelitik di pikiran kita , apa sebenarna faktor pemacu tindakan terorisme yang terjadi berlakangan ini .



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Terorisme merupakan tindakan kekerasan yang didorong motivasi politik, yang tindakannya diarahkan kepada sasaran noncombatant, untuk mencapai tujuan politik (menghancurkan kebebasan dan demokrasi), tujuan keagamaan atau tujuan idiologi dengan cara penciptaan rasa ketakutan atau kekerasan. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban.
Teroris dengan jeli memanfaatkan kemajuan pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir di bidang komunikasi, transportasi, informasi, persenjataan dan bahan peledak termasuk pemanfaatan potensi NBC. Keadaan ini menjadikan ancaman terorisme akan semakin meningkat dampaknya di masa yang akan datang.
Upaya pengangulangan terorisme baik yang berskala lokal maupun internasional/global mempersyaratkan pemerintah dan masyarakat melakukan sinergi upaya secara komperhensif dengan pendekatan multi-dimensial termasuk di dalamnya kerjasama dan koordinasi internasional, menghormati hukum internasional, serta melaksanakan resolusi DK PBB dan menghormati konvensi PBB untuk melawan terorisme.
Penguasaan bidang intelijen, penegakkan hukum, pembuatan kebijakan pemerintah yang populer, sikap pemerintah yang tegas, adil dan bijaksana merupakan faktor dominan dalam mendukung keberhasilan kegiatan pencegahan terorisme. The prefered method of reducing the incidenceof terrorism iswithproactive, rather thanreactive measures.
B.     Saran
Untuk memerangi tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan Agama maupun Budaya. Karma Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya penanganan tindak pidana terorisme tidak akan memadai jika hanya mengandalakan undang-undang saja.
 Tampa di dukung oleh kinerja aparat penegak hukum yang professional dalam menegakan peraturan yg ada dan perlu dilakukanya Revisi UU anti terorisme yang harus di sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM.












DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada Nama, 2006, ”Kumpulan Peraturan Perundangan Anti Terorisme”,  
Pustaka Yustisia , cet-1, Jakarta.

Tidak ada Nama, 2006, ”Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan  
Terorisme”, Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, Jakarta.

Menko Polhukam RI, 2006, “Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi 
Terorisme”, Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, Jakarta.

Saktiman,2011,Di balik Terorisme,Http//google.blogerspot//Terorisme indonesia
.//.com, di unduh tanggal 28 mei 2011.Samarinda

Tidak ada nama,2009,Artikel Terorisme di Indonesia dan   pembahasannya. 
Http//google/welcom/?wepress/mulyadi/kumpulan artikel.com.di unduh  
tanggal 28 Mei 2011 .Samarinda

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

contoh sosiometri(non tes )

makalah perkawinan adat