kerajaan kutai kartanegara


BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.
Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Negara Kretagama, yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau Tanjungnegara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman.
Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Adji Mohamad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai pertama yang menggunakan nama Islami. Dan sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.
Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
B.     RUMUSAN MASALAH
Masalah adalah sesuatu hal yang menimbulkan pernyataan yang mendorong untuk mencarikan jawabannya atau suatu yang harus di pecahkan Poerwadarminta(1976:634).selanjutnya Surachmad (1980 :3)juga mengatakan bahwa masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya.
Berdasarkan uraian di atas ,maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1        Bagainama Perkembangan dan asal mula dari Kerajaan kutai di kalimantan timur khususnya kerajaan Kutai Karta Negara
2        Siapa saja kah kesultanan yang pernah memimpin di kerajaan Kutai Kartanegara dan bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan baik dari segi budaya,ekonomi,dan sosial.


C.     TUJUAN
Adapun tujuan penyusun membuat makalah  ini adalah untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat di kemukakan sebagai berikut:
1.       Agar dapat mengetahui bagainama Perkembangan dan asal mula dari Kerajaan kutai di kalimantan timur khususnya kerajaan Kutai Karta Negara
3        Agar dapat Memahami serta Mengetahui Siapa saja kah kesultanan yang pernah memimpin di kerajaan Kutai Kartanegara dan bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan baik dari segi budaya,ekonomi,dan sosial.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian
1)      Definisi Kerajaan
Menurut Wikipedia, Kerajaan (juga disebut "pemerintah") ialah badan dalam suatu pertubuhan yang mempunyai kuasa untuk membuat dan melaksanakan undang-undang dan peraturan dalam sesebuah kawasan tertentu.
Lazimnya, kerajaan merujuk kepada kerajaan awam sama ada pada peringkat tempatan, kebangsaan atau antarabangsa. Bagaimanapun, pertubuhan komersial, akademik, keagamaan dan lain-lain sepertinya juga mempunyai pemerintah dalaman. Saiz kerajaan berbeza mengikut kawasan dan tujuannya.
Kepentingan Kerajaan Sebagai Pemerintah
"Kerajaan bukan lagi terhad kepada "maintenance of law and order" dan memungut hasil. Tetapi peranan Kerajaan sudah diperluaskan sehingga terlibat dengan semua gerak-geri ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah negara yang merdeka". (Tun Dr. Mahathir Bin Mohamad).
Secara umumnya kerajaan berfungsi sebagai pengatur kehidupan dalam sesebuah negara untuk mencapai tujuan berikut:
1. Ketertiban dan keamanan negara
2. Kebajikan rakyat
3. Mengeratkan perpaduan dan keharmonian
4. Pertahanan dan keamanan
5. Perhubungan antarabangsa
2)      Kutai adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia, yang diperkirakan muncul pada abad 5 M atau ± 400 M, keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan sumber berita yang ditemukan yaitu berupa prasasti yang berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7 buah.
B.  Kerajaan Kutai Kartanegara




BENDERA                               LAMBANG







Ibu kota
Kutai Lama (1300-1732) Pemarangan,Jembayan (1732-1782) Tepian Pandan/Tangga Arung/Tenggarong (1782-kini)


Bahasa
Bahasa Melayu (dialek Kutai)
 - 1300-1325
 - 1920-1960
Sejarah

 - Didirikan
1300
 - Menjadi kesultanan
 - Dileburkan ke dalam RI
1960
Kini bagian dari




Pendirian
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1635), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
1. Sejarah
Sejarah mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi Tiga fase fase yaitu di antaranya:Pertama  fase era Kutai Martadipura, Kedua fase era Kutai Kartanegaradan fase era Kolonial eropa. Berikut ini sekilas sejarah dari masing masing fase tersebut:
a. Kutai Martadipura
Berdasarkan data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M. Keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan prasasti  berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7 buah, yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut menceritakan tentang seorang raja bernama Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan Kutai Martadipura. Raja Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja Kudungga. Pengetahuan mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim. Selama ini, para arkeologi amat bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada prasasti dan Salasilah Kutai.

b. Kutai Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama.
Dalam perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut dinamakannya Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu, berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan. Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin. 
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara. Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan mengalami kesulitan untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini. kemudian Aji Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, Aji Imbut berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya) dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambat laun, Tangga Arung disebut orang dengan Tenggarong. Nama  tersebut tetap bertahan hingga saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin.
c. Era Kolonial Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali dengan datangnya dua buah kapal dagang Inggris pimpinan James Erskine Murray pada tahun 1844. Inggris datang untuk meminta tanah tempat mereka mendirikan pos dagang. Inggris juga menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Permintaan Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan hanya mengizinkan Murray berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas dengan keputusan Sultan ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan meriam ke arah istana. Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga mereka berhasil mengalahkan Inggris. Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam pertempuran tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa Kutai adalah salah satu bagian wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi tanggungjawab Belanda. Sebagai tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya untuk menyerang Kutai. Dalam pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima Kutai Awang Lor gugur di medan pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Sejak saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan Belanda.
Sebagai tindak lanjut, tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan ketundukan pada Belanda. Perwakilan Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945.  Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula Dewan Kesultanan. Pada 27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
2. Silsilah Kerajaan Kutai
Hingga saat ini, para arkeolog belum mengetahui secara lengkap silsilah para raja di era Kutai Martadipura. Tapi diyakini bahwa, pendiri keluarga atau dinasti kerajaan ini adalah Aswawarman. Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga raja. Ini menunjukkan bahwa, Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang sebagai pendiri keluarga atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang berkuasa di Kutai Martadipura adalah Maharaja Kudungga.
Berbeda dengan Kutai Martadipura, silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di abad ke-13 bisa dilacak secara lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa hingga saat ini.
  1. Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
  2. Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
  3. Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
  4. Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
  5. Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
  6. Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
  7. Aji Dilanggar (1610-1635)
  8. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
  9. Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
  10. Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
  11. Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)
  12. Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)
  13. Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)
  14. Aji Muhammad Idris (1732-1778)
  15. Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
  16. Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
  17. Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
  18. Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
  19. Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
  20. Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
  21. H. Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini)
3. Periode Pemerintahan Kerajaan Kutai
Jika dirunut, masa pemerintahan Kutai Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga pada abad ke-5 hingga digabungnya kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai Kartanegara akibat kalah perang. Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak abad ke-13 hingga saat ini.

4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura mencakup wilayah Kalimantan Timur saat ini, terutama daerah aliran Sungai Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura, mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Bontang , Samarinda dan Balikpapan.
5. Struktur Pemerintahan
Belum didapat data arkeologis yang lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan di Kerajaan Kutai. Dari data arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka bisa disimpulkan bahwa Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa dilacak lebih lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali bukti-bukti arkeologis yang ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti tersebut terlalu bersadnar pada penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai. Namun, dari data yang masih sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang kehidupan sosial budaya di masa lalu.
a. Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi persembahan emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara.
Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.
b. Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa dilihat dari prosesi penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga upacara Vratyastoma yang telah dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan pertama kalinya di era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut para ahli adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman, kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana mensyaratkan penguasaan bahasa Sanskerta.
Selain itu, dari berbagai benda purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur, menunjukkan di kawasan tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban yang cukup tinggi. Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarik adalah goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer utara Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas tembikar dan sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga dilengkapi dengan hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman prasejarah yang telah berusia 10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju. Dalam penggalian lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak, seperti reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan keramik yang sangat indah.
c.       Kehidupan Sosial-Ekonomi Kerajaan Kutai
Dilihat dari letak Kerajaan Kutai pada jalur perdagangan dan pelayaran antara Barat dan Timur maka aktivitas perdagangan tampaknya menjadi mata pencaharian yang utama. Rakyat Kutai sudah aktif terlibat dalam perdagangan internasional dan tentu saja mereka berdagang pula sampai ke perairan Laut Jawa dan Indonesia Timur untuk mencari barang-barang dagangan yang laku di pasaran Internasional. Dengan demikian, Kutai telah termasuk daerah persinggahan perdagangan internasional, yaitu Selat Malaka–Laut Jawa–Selat Makasar–Kutai-–Cina, atau sebaliknya.
Kehidupan ekonomi di kerajaan Kutai tergambar dalam salah satu prasasti, yang isinya, seperti berikut ini. (Tugu ini ditulis untuk (peringatan) dua (perkara) yang telah
disedekahkan oleh sang Mulawarman yakni segunung minyak, dengan lampu dan malai bunga) Dari Isi Yupa di atas, kita dapat menemukan beberapa benda yang
disedekahkan yaitu minyak, lampu, dan malai bunga. Sedekah dari raja kepada
Brahmana pasti dalam jumlah yang besar. Untuk itu, diperlukan jumlah minyak,
lampu dan malai bunga yang banyak. Benda-benda itu didapatkan dalam
jumlah yang banyak jika ada upaya untuk memperbanyaknya. Adanya minyak
dan bunga malai, kita dapat menyimpulkan bahwa sudah ada usaha dalam
bidang pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kutai. Sementara itu, lampulampu
tersebut dihasilkan dari usaha dibidang kerajinan dan pertukangan.
Hal ini menunjukkan bahwa kedua bidang usaha tersebut sudah berkembang
di lingkungan masyarakat Kutai. Begitu pula pada prasasti yang lain, berisikan sebagai berikut. Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka telah memberi sedekah
20.000 ekor sapi kepada para Brahmana yang seperti api. Bertempat
didalam tanah yang sangat suci Waprakeswara, buat peringatan akan kebaikan didirikan Tugu ini) Kehidupan ekonomi yang dapat disimpulkan dari prasasti tersebut adalah
keberadaan sapi yang dipersembahkan oleh Raja Mulawarman kepada Brahmana.
Keberadaan sapi menunjukkan adanya usaha peternakan yang dilakukan oleh
rakyat Kutai. Arca-arca yang ditemukan oleh para arkeolog menunjukkan
bahwa arca tersebut bukan berasal dari Kalimantan, tetapi berasal dari India.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sudah ada hubungan antara Kutai
dan India, terutama hubungan dagang.
d.      Kebudayaan & Kepercayaan Kerajaan Kutai
Kehidupan kebudayaan masyarakat Kutai erat kaitannya dengan kepercayaan/agama yang dianut.  Yupa merupakan salah satu hasil budaya masyarakat Kutai, yaitu tugu batu yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia dari zaman Megalitikum, yakni bentuk menhir.  Salah satu yupa itu menyebutkan suatu tempat suci dengan nama Waprakeswara (tempat pemujaan Dewa Siwa). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kutai adalah pemeluk agama Siwa (hindu).
e.        Kehidupan politik
Kerajaan Kutai terletak di dekat Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Keberadaan kerajaan ini dapat diketahui dari tujuh buah prasasti (Yupa) yang
ditemukan di Muarakaman, tepi Sungai Mahakam. Prasasti yang berbentuk yupa
itu menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Menurut para ahli, diperkirakan
kerajaan Kutai dipengaruhi oleh kerajaan Hindu di India Selatan. Perkiraan itu
didasarkan dengan membandingkan huruf di Yupa dengan prasasti-prasasti di India.
Dari bentuk hurufnya, prasasti itu diperkirakan berasal dari abad ke-5 M. Apabila
dibandingkan dengan prasasti di Tarumanegara, maka bentuk huruf di kerajaan
Kutai jauh lebih tua. Berdasarkan salah satu isi prasasti Yupa,
kita dapat mengetahui nama-nama raja yang pernah memerintah di Kutai, yaitu Kundungga,Aswawarman dan Mulawarman. Prasasti tersebut adalah: “Srinatah sri-narendrasya, kundungasya mahatmanah, putro svavarmmo vikhyatah, vansakartta yathansuman, Tasya putra mahatmanah, tryas traya ivagnayah, tesn traynam prvrah, tapobala- damanvitah, sri mulavarmma rajendro,yastva bahusuvarunakam, tasya yjnasya yupo ‘yam, dvijendarais samprakalpitah. (Sang maharaja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang masyhur , sang Aswawarman yang seperti ansuman, sang Aswawarman mempunyai tiga putra yang seperti api yang suci. Yang paling terkemuka ialah sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Dia melaksanakan selamatan dengan emas yang banyak. Untuk itulah Tugu batu ini didirikan).
7.      Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara
Kerajaan Kutai Ing Martadipura berdiri pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-17 Masehi dan berpusat di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri tahun 1300 sampai dengan tahun 1959 mengalami dua kali perpindahan pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tahun 1735-1959 tidak disebutkan dalam cerita. Tahun 1300-1734 berpusat di Kutai Lama atau Tepian Batu. Raja pertama bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti dan permaisurinya bernama Putri Karang Melenu.
Pada waktu itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara meliputi daerah yang luas, mulai daerah pantai, daerah kiri kanan Sungai Mahakam, sampai batas wilayah Muara Kaman ke udik. Daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Ing Martadipura sampai masa runtuh kerajaan itu pada abad ke-17.
Wilayah Samarinda termasuk pula ke dalam wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Akan tetapi saat itu, belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.
Berdirinya kota Samarinda tidak terlepas dari hijrah orang-orang Bugis Wajo, Sulawesi Selatan. Merekalah yang membangun Samarinda. Menurut lontara atau silsilah kedatangan suku Bugis menyebar ke seluruh Nusantara bermula pada tahun 1668.
Penyebaran itu terjadi karena kerusuhan di Kerajaan Bone Sulawesi Selatan pada tahun 1665. Ketika itu diadakan perhelatan besar pernikahan putra Goa dengan putri Bone. Kemudian terjadi perkelahian antara putra-putra Bone dan putra-putra bangsawan Wajo karena acara sabung ayam. Saat itu putra bangsawan Bone tewas tertikam keris sakti putra Wajo.

Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

1.Sejarah

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura merupakan sebuah kesultanan yang terletak di daerah yang kini kita kenal dengan nama Tenggarong, Provinsi Kalimantan Timur. Kesultanan Kutai Kartanegara diperkirakan berdiri pada tahun 1300-an Masehi (abad ke-14) dan sempat dihapus pada tahun 1960. Akan tetapi, Kesultanan Kutai Kartanegara kembali eksis pada tahun 2001 dengan mengangkat seorang sultan bergelar gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.

a.Sejarah Awal dan Interaksi dengan Kerajaan Majapahit

Sejarah berdirinya Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura tidak bisa dipisahkan dari berdirinya Kerajaan Kutai. Keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan dengan ditemukan tujuh prasasti (tiang batu) yang disebut yupa di Kalimantan Timur. Ketujuh yupa tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta dan menggunakan huruf Pallawa yang lazim dipakai pada abad ke-5 M atas titah seorang raja bernama Mulawarman. Jika membandingkan huruf yang dipakai dalam prasasti di Kerajaan Kutai dengan huruf Pallawa yang berasal dari India, maka diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4-5 M.
Sampai saat ini, kajian secara ilmiah dan komprehensif yang menyoroti hubungan antara Kerajaan Kutai dengan Kerajaan Kutai Kartanegara -- yang merupakan cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura -- belum pernah dilakukan. Adanya missing link antara pendirian dua kerajaan yang mempunyai lokasi berdekatan ini masih menjadi problematika tersendiri di kalangan para arkeolog maupun sejarawan. Hanya saja, baik para arkeolog maupun sejarawan sampai saat ini masih sepakat bahwa pada dasarnya antara Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara masih mempunyai hubungan sejarah.
Kerajaan Kutai berlokasi di tepi sungai Mahakam, tepatnya di Muara Kaman, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara berada lebih ke muara atau kini dikenal dengan nama Kutai Lama. Kutai Lama merupakan sebuah daerah yang dekat dengan kota Samarinda sekarang. Pemilihan lokasi Kutai Lama sebenarnya lebih disebabkan karena pilihan pragmatis sekaligus logis. Pertama, Kutai Lama adalah sebuah daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam yang juga berfungsi sebagai jalur perdagangan. Kedua, daerah Muara Kaman (Kutai Lama) terkenal akan kesuburan tanah yang sesuai untuk pertanian.
Waktu pendirian Kerajaan Kutai Kartanegara sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Catatan sejarah yang sempat teridentifikasi menyebutkan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai Kartanegara memerintah pada tahun 1300–1325 M. Eiseuberger dalam buku Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sejarah Kalimantan dalam Soetoen (1975), menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai Kartanegara memerintah pada tahun 1380–1410 M. Di sisi lain, nama Kerajaan Kutai Kartanegara telah tercatat di buku Negarakretagama pada tahun 1365 M. Terakhir, Ibn Batuta dalam catatannya telah menulis bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara telah ada pada tahun 1304–1378. Sehingga dilihat dari berbagai data di atas, maka besar kemungkinan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara telah berdiri pada abad ke-14 M.
Nama Kutai berasal dari bahasa Cina “Kho Thay” yang “berarti negara yang besar”. Sedang Kartanegara berarti “mempunyai peraturan”. Jadi arti nama Kutai Kartanegara adalah “negara besar yang mempunyai peraturan”. Pada awal berdiri, nama Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura adalah Kerajaan Kutai Kartanegara. Nama Kerajaan Kutai Kartanegara ini digunakan sebagai pembeda dengan Kerajaan Kutai. Pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang pemuda dari daerah bernama Jaitan Layar.
Aji Batara Agung Dewa Sakti memerintah hingga tahun 1320 M. Setelah wafat, pemimpin Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Paduka Nira (1320-1370 M). Aji Batara Agung Nira mempunyai 7 orang anak, 5 laki-laki dan 2 perempuan. Dari kelima anak laki-laki tersebut, hanya dua orang yang tampak paling menonjol dibandingkan dengan para saudaranya, yaitu Maharaja Sakti (anak sulung) dan Maharaja Sultan (anak kelima).
Ketika Aji Batara Agung Paduka Nira mangkat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara tidak diserahkan kepada putra sulungnya, Maharaja Sakti, tetapi jatuh ke tangan Maharaja Sultan. Keputusan untuk menempatkan Maharaja Sultan sebagai pewaris tahta memang menjadi keputusan bersama di antara ketujuh bersaudara tersebut. Di sisi lain, para saudara Maharaja Sultan tetap mendampingi sebagai menteri.
Maharaja Sultan memerintah di Kerajaan Kutai Kartanegara antara tahun 1370–1420 M. Pada masa pemerintahan Maharaja Sultan dijalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Salah satu bentuk hubungan tersebut adalah kunjungan Maharaja Sultan bersama dengan Maharaja Sakti ke Kerajaan Majapahit untuk belajar tentang adat istiadat dan tatacara pemerintahan.
Kerajaan Majapahit yang waktu itu diperintah oleh Hayam Wuruk menyambut baik kedatangan Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti. Kedua putra Borneo ini kemudian diperlakukan layaknya tamu dan diajarkan tentang adat istiadat dan tatacara mengelola pemerintahan kerajaan. Setelah selesai menimba ilmu di Kerajaan Majapahit, dua saudara kandung ini kembali ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk menerapkan ilmu yang didapatkan di Kerajaan Majapahit.
Interaksi antara dua kerajaan tersebut berujung pada hubungan saling mempengaruhi. Di satu sisi Kerajaan Kutai Kartanegara mendapat pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit. Di sisi lain, Kerajaan Majapahit mendapatkan tempat tersendiri di Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kedudukan Majapahit sebagai negara induk, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara adalah negara taklukan. Sebagai cara untuk mempertegas pengakuan tersebut, maka Kerajaan Majapahit menempatkan seorang patih sebagai representasi pengakuan kekuasaan di Kerajaan Kutai Kartanegara. Mulai dari sini pengaruh agama Hindu masuk dan menjadi agama negara di Kerajaan Kutai Kartanegara.

b.Masuknya Islam di Kerajaan Kutai

Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525–600 M) Kerajaan Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu Tuan Ri Bandang dan Tunggang Pararang. Seperti dikisahkan dalam Salasilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama tersebut adalah menyebarkan agama Islam dengan cara mengajak Aji Raja Mahkota untuk memeluk Islam. Pada awalnya ajakan kedua ulama ini ditolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa agama negara di Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu.
Langkah diplomasi kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota ditolak oleh sang raja. Bahkan karena langkah diplomasi buntu, Tuan Ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan Tunggang Pararang di Kerajaan Kutai Kartanegara. Sebagai jalan akhir, Tunggang Pararang menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji Raja Mahkota kalah, maka sang raja bersedia untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota menang maka Tunggang Pararang akan mengabdikan hidupnya untuk Kerajaan Kutai Kartanegara.
Solusi dari Tunggang Pararang disetujui oleh Aji Raja Mahkota. Adu kesaktian akhirnya digelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja Mahkota. Sebagai konsekuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota akhirnya masuk Islam. Sejak Aji Raja Mahkota masuk Islam maka pengaruh Hindu yang telah tertular lewat interaksi dengan Kerajaan Majapahit lambat laun luntur dan berganti dengan pengaruh Islam. Sebagian rakyat yang masih memilih untuk memeluk agama Hindu kemudian tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran kerajaan.  

c.Dari Kerajaan Kutai Kartanegara Menuju Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura

Perkembangan Kerajaan Kutai Kartanegara yang mempunyai lokasi berdekatan dengan Kerajaan Kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman pada awalnya tidak menimbulkan friksi yang berarti. Hanya saja ketika Kerajaan Kutai Kartanegara diperintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605–1635 M) terjadi perang besar antara dua kerajaan ini. Di akhir perang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara dilebur menjadi satu dengan nama Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Raja pertama dari penggabungan dua kerajaan ini adalah Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605–1635 M). 
Pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura, pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525–1600 M) telah mengakar kuat. Islam sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Indikator dari pengaruh Islam terlihat pada pemakaian Undang-Undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Salaten” yang terdiri dari 39 pasal dan memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang-Undang Beraja Nanti” yang memuat 164 pasal peraturan. Kedua undang-undang tersebut berisi tentang peraturan yang disandarkan pada Hukum Islam.
Pemimpin pertama yang memakai gelar “sultan” adalah Aji Sultan Muhammad Idris. Beliau merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis di Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie), Sultan Wajo La Madukelleng meminta bantuan Aji Sultan Muhammad Idris. Permintaan bantuan dipenuhi oleh Aji Sultan Muhammad Idris. Berangkatlah rombongan Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi Selatan untuk membantu Sultan Wajo La Madukelleng. Dalam upaya memberikan bantuan tersebut, Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dunia.
Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi, kursi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dipegang oleh dewan perwalian. Tetapi ketika Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dalam pertempuran di Sulawesi, timbul perebutan tahta tentang pengganti sultan. Perebutan tahta terjadi antara kedua anak Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu Putera Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado.
Pada awal perebutan tahta, Aji Imbut terdesak oleh Aji Kado dan lari ke Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La Madukelleng. Aji Imbut menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado yang kini menduduki ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang terletak di Pemarangan, karena ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara telah berpindah dari Kutai Lama ke Pemarangan sejak tahun 1732.
Aji Imbut akhirnya menyerang Aji Kado di Pemarangan. Didukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis, Aji Imbut berhasil mengalahkan Aji Kado dan menduduki singgasana Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Aji Marhum Muhammad Muslihudin (1739–1782 M). Sedangkan Aji Imbut dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

d.Masuknya Pengaruh Kolonial

Sekitar abad ke-16 Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi taklukan Kesultanan Banjar yang kala itu dipimpin oleh Pangeran Samudera (1526–1545 M). Status sebagai daerah taklukan Kesultanan Banjar ternyata mengantarkan Kesultanan Kutai Kartanegara masuk menjadi daerah vasal Pemerintah Hindia Belanda. Pengalihan kekuasaan ini terjadi pada tahun 1787 setelah Sultan Tamjidillah II menandatangani pengalihan kekuasaan atas daerah taklukan Kesultanan Banjar sebagai kompensasi atas bantuan Pemerintah Hindia Belanda ketika membantu untuk memerangi Pangeran Amir.
Isi perjanjian antara Sultan Tamjidillah II dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda berbunyi, “Sultan  Banjar menyerahkan segala tanah kerajaannya kepada Pemerintah Belanda, di antaranya itu sebagian besar akan diterimanya kembali sebagai pinjaman. Yang tetap diserahkan kepada Pemerintah Belanda yaitu: Tanah Bumbu, Pagatan, Pasir, Kutai, Berau, Bulongan, dan Kotawaringin.” Lewat perjanjian tersebut, maka sejak tahun 1787 secara de facto Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura menjadi daerah taklukan Belanda. Pengalihan kekuasaan dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda terjadi ketika Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782–1845 M).
Pengalihan kekuasaan atas Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda, pada dasarnya masih bersifat de facto (belum de jure) mengingat para sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura tidak pernah dilibatkan atau menandatangani perjanjian pengalihan kekuasaan  secara langsung. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura hanya menerima pengalihan fungsi kewenangan sebagai konsekuensi negara taklukan Kesultanan Banjar.
Pada tahun 1825, atas usaha dari G. Muller, Residen Banjarmasin, Pemerintah Hindia Belanda mengikat secara resmi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan menandatangani sebuah perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Aji Sultan Muhammad Salehudin (1782–1845 M). Isi perjanjian tersebut, secara garis besar, berbunyi bahwa Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura mengakui Pemerintah Hindia Belanda sebagai yang dipertuan, sultan menyerahkan urusan pengadilan, bea cukai, pajak orang-orang Cina, pajak tambang emas, dan sebagainya. Sebagai kompensasi, Pemerintah Hindia Belanda memberikan santunan kepada sultan sebesar 8.000 gulden pertahun. Sejak ditandatangani perjanjian ini, Pemerintah Hindia Belanda kemudian menempatkan seorang civiel gezaghebber (penguasa sipil) di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura bernama H. van Dewall.
Pada tahun 1871 pusat pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara berpindah dari Pemarangan ke Tenggarong ketika diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Muslihuddin. Salah satu alasan perpindahan pusat pemerintahan adalah gangguan keamanan karena adanya bajak laut dari Sulu yang mulai mengacau di wilayah perairan Kesultanan Kutai Kartanegara.
Pengaruh Belanda bertahan hingga Jepang datang pada tahun 1942. Selama penjajahan Jepang tidak terlihat perubahan yang signifikan dalam sistem pemerintahan. Jepang tetap mempertahankan bentuk swapraja bagi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang waktu itu diperintah oleh Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920–1960) memilih sikap untuk bekerjasama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang. Sikap ini didasari atas tindakan brutal yang dilakukan Jepang dengan cara membunuh sekitar 300 orang keluarga Kesultanan Pontianak dengan alasan tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang.

e.Penghapusan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura

Akhir penjajahan Jepang ditandai oleh Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pada tahun 1947, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang notabene berstatus daerah swapraja dimasukkan ke dalam wilayah Federasi Kalimantan Timur bersama dengan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Pada tanggal 27 Desember 1949, Dewan Kesultanan tergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat. Lalu pada tahun 1953, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai melalui UU Darurat No.3 Th.1953 menjadi daerah otonomi tingkat kabupaten.
Berdasarkan UU No. 27 tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yaitu:
  1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
  2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
  3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda.
Pada tanggal 20 Januari 1960, APT Pranoto selaku Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri Dalam Negeri melantik ketiga kepala Daerah Tingkat II, salah satunya adalah Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai. Sehari kemudian, 21 Januari 1960, bertempat di Balairung Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda), dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Dengan serah terima pemerintahan tersebut berarti Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Aji Sultan Muhammad Parikesit berakhir.

f.Era Kebangkitan

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais melakukan upaya untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara. Upaya ini ditempuh dengan alasan untuk menggalakkan pariwisata sekaligus sebagai penjaga cagar budaya. Upaya tersebut menuai hasil karena pada tahun 2001, Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan dan mengakui pendirian kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan pengangkatan Putra Mahkota, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat. Pada tanggal 22 September 2001, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.
G.Era Kemerdekaan
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni: 1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong 2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan 3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni: 1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai 2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda 3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR, MM berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:
1.      Kabupaten Kutai Kartanegara
2.      Kabupaten Kutai Barat
3.      Kabupaten Kutai Timur
4.      Kota Balikpapan
5.      Kota Bontang
6.      Kota Samarinda
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.
Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.
Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, diantaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini diantaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami’ Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
2.Pemindahan ibukota kerajaan
Peta Perpindahan Ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara antara tahun 1300-1960.
Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].
Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
3.Pembukaan tambang batubara pertama
Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[5].
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
4.Diangkatnya Aji Kaget menjadi Sultan (Sultan Terakhir)
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
 Sultan A.M. Parikesit
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.
5.Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.
6.Keraton Kesultanan
Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang sekarang menjadi Museum Mulawarman.
Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
  Sultan A.M. Sulaiman
Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian
dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.


7.Beberapa koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara :
  KALUNG UNCAL
SINGGASANA ( KURSI RAJA )
MAHKOTA
MANDAU( Peralatan )
                    ALAT MUSIK KECAPI            
                  KURSI SANTAI SULTAN
        KURA KURA PENJELMAAN DEWA WISNU
    KURSI KEMENTERIAN KESULTANAN
     TEMPAT TIDUR 
  BAJU /JUBAH
   BAJU /JUBAH
LEMBUSUANA
   IKAT PINGGANG                   
  KALUNG WISNU
                                     Minirama ini menggmbarkan munculnya bayi puteri.
Minirama ini menggambarkan munculnya bayi Puteri Minirama ini menceritakan bagaimana Karang Melenu di S.Mahakam dgn di junjung oleh naga                       turunnya Aji Batara Agung Dewa Sakti  dan lembusuana di dlm sbuah gong,berbantal keris  dari kayangan ke bumi menggunakan buritkang,tangan kanannya memegang sebutir telur.
kelangkang besi di Tepian Batu yang Kelak setelah dewasa P.Karang Melenu menjadi permaisuri sekarang dikenal dengan Kutai Lama Aji Batara Dewa Sakti , mereka inilah cikal bakal raja”kecamatan Anggana. Aji Batara DewaKutai Kartanegara.    Sakti adalah raja Kutai yang pertama.






BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Sebagai penutup dari tulisan ini penulis memberikan beberapa kesimpulan bahwa:
Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.
Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Adji Mohamad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai pertama yang menggunakan nama Islami. Dan sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Sejarah mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi Tiga fase fase yaitu di antaranya:Pertama  fase era Kutai Martadipura, Kedua fase era Kutai Kartanegaradan fase era Kolonial eropa.

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura merupakan sebuah kesultanan yang terletak di daerah yang kini kita kenal dengan nama Tenggarong, Provinsi Kalimantan Timur. Kesultanan Kutai Kartanegara diperkirakan berdiri pada tahun 1300-an Masehi (abad ke-14) dan sempat dihapus pada tahun 1960.

Nama-Nama Raja/Sultan Kutai Kartanegara
No.
Masa
Nama Raja/Sultan
K e t e r a n g a n
1
*Raja pertama Kutai Kartanegara yang mendirikan kerajaannya di Kutai Lama
2

3

4

5

6
* Raja Kutai Kartanegara pertama yang memeluk agama Islam
7

8
* Raja yang menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

9


10


11
*Ratu pertama yang memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara

12


13


14




15
*Pewaris tahta yang sah dari Sultan Aji Muhammad Idris dan berhasil menggulingkan pemerintahan Aji Kado

16


17


18


19
*Sultan terakhir setelah pemerintahan kesultanan berakhir pada tahun 1960

20
1999-kini
*Ditetapkan sebagai Sultan Kutai pada tahun 1999 setelah Kesultanan Kutai dihidupkan kembali. Namun upacara penobatan baru dilaksanakan pada 22 September 2001

Demikian makalah yang dapat kami sajikan, mudah-mudahan bisa bermanpaat, khususnya bagi kami penulis, umumnya bagi para pembaca sekalian. Kami menyadari dalam penulisan ini masih banyak kesalahan dan kekurangannya, kritik yang sipatnya membangun sangat kami harapkan untuk kemajuan kea rah yang lebih baik.



Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kemiskinan(Sosiologi)

contoh sosiometri(non tes )

makalah perkawinan adat